Beberapa waktu yang lalu, orang-orang, terutama yang punya keterkaitan dengan dunia tulis-menulis dibikin heboh karena salah satu penulis pop paling ngehits di Indonesia, Tere Liye menyatakan tak mau lagi menerbitkan bukunya sebagai bentuk protes terhadap kebijakan pajak yang terlalu tinggi untuk profesi penulis.
Belum reda sepenuhnya soal kehebohan pajak penulis tersebut, kini muncul lagi polemik baru soal pajak yaitu cuitan admin akun twitter Ditjen Pajak yang menyatakan agar masyarakat tidak lupa untuk memasukkan smartphone di lembar Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan.
Banyak komentar sinis yang muncul atas cuitan tersebut. “Sekarang hape, besok lama-lama, cawet, tamagochi, atau termos pasti bakal dikenakan pelaporan juga,” kata seorang pemilik akun yang tidak ingin disebutkan namanya.
Beruntung, pihak Ditjen Pajak langsung memberikan konfirmasi atas hal ini. Mereka menjelaskan bahwa pencantuman smartphone pada kolom pelaporan SPT tidak serta merta memunculkan pengenaan pajak tambahan untuk smartphone. Walaupun smartphone memiliki harga tinggi, namun ia hanya dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) ketika diperjualbelikan.
Tujuan pelaporan smartphone ini katanya hanya sebagai bahan verifikasi atas harta beserta penghasilan dari wajib pajak. Sehingga, nantinya akan ada sinkronisasi antara besarnya penghasilan dengan besarnya tambahan harta (plus konsumsi) yang terjadi dalam satu tahun.
Nah, konon katanya, walau sudah ada penjelasan seperti di atas, diprediksi akan tetap banyak orang yang enggan memasukkan smartphone di daftar harta pada pelaporan SPT, maklum, bagi banyak orang Indonesia, smartphone bukanlah harta, melainkan kawan baik bahkan sodara.
Hal ini menjadi wajar, sebab selama ini, definisi harta memang masih mengambang. Masing-masing punya versi sendiri-sendiri. Menurut Ditjen Pajak, harta berharga adalah kas atau setara kas, aset berupa transportasi, perhiasan, peralatan elektronik, furniture atau harta tak bergerak lain seperti tanah atau bangunan. Kalau menurut soundtrack lagu Keluarga Cemara, harta berharga adalah keluarga. Sedangkan kalau menurut Syech Abu Rambat Al Ngacengi, harta berharga adalah iman dan taqwa.
Hal ini kemudian memberikan tekanan pada Ditjen Pajak untuk lebih memberikan standar yang baku terhadap definisi harta pada pelaporan SPT, sebab akan aneh jadinya jika suatu saat, ketika pelaporan SPT, ada seseorang yang menuliskan dua kalimat syahadat di kolom harta.