MOJOK.CO – Jauh sebelum menjadi Kapolri, Jendral Polisi Hoegeng Iman Santoso sudah membuktikan intregritasnya sebagai polisi. Dari Surabaya, ia khusus dikirim ke Medan untuk memberantas judi, penyelundupan, polisi hedon, dan korupsi. Ia bahkan dikirim santet atas perintah dari polisi hedon yang sakit hati.
Peristiwa ini terjadi sekitar akhir tahun 1955 dan awal 1956. Saat itu Hoegeng masih berpangkat Komisaris Polisi I dan bertugas di bidang intelejen di Jawa Timur.
Suatu hari, sebuah telegram tiba di Surabaya. Isinya perintah dari Kepala Kepolisian Negara, R.S. Soekanto agar Kepala Direktorat Dinas Pengawasan Keamanan Negara di Jawatan Kepolisian Provinsi Jawa Timur, Komisari Polisi I Hoegeng Iman Santoso menghadap ke Jakarta. Sampai di Jakarta, Hoegeng menghadap Soekanto. Namun, ia justru diminta langsung menemui Jaksa Agung R. Soeprapto.
“Berangkat ke Medan. Hoegeng diangkat menjadi Kepala Direktorat (Kadit) Reserse Kriminal Provinsi Sumatra Utara,” kata R. Soeprapto seperti dikutip dalam tayangan Jas Merah di YouTube Mojok yang dibawakan Muhidin M. Dahlan.
Hoegeng yang di Surabaya bertugas dibidang intelejen, tentu heran mengapa ia ditugaskan di bagian kriminal. “Situasi Medan ruwet. Judi, korupsi, smokel (penyelundupan) menjadi-jadi. Pemberontakan Darul Islam juga marak,” kata R. Soeprapto memberi alasan.
Hoegeng tahu, kata “Medan” itu punya arti gak enak, tak selalu baik untuk karier seorang anggota polisi. Tahu akan bertugas ke Medan, Om Hoegeng yang bernama Abdul Kadir Wijoyoatmojo memangilnya. Saat itu ada tamu dari Medan bernama Tengku Aziz.
Tamu Omnya itu berpesan agar hati-hati dengan Orang Kaya Medan (OKM). Tengku Aziz menyebutnya Cina-cina. “Mereka nekad, tidak bisa masuk lewat Pak Hoegeng, mereka bakal menembus relasi-relasi yang bisa mempengaruhi kebijakan,” pesan Tengku Aziz.
Jimat ayah, modal Hoegeng ke Medan
Tengku Aziz kemudian memberikan trik atau petuah untuk menghadapi OKM. “Kalau ditawari macem-macam, ya, rumah, mobil, perhiasan, jangan ditolak mentah-mentah. Bilang saja, ‘Terima kasih, tapi jangan sekarang. Nanti kalau perlu akan saya hubungi!”
Usai pulang dari kediaman Omnya, Hoegeng ingat jimat dari ayahnya. “Jimat” yang selalu diingatnya. “Geng! Hoegeng. Kita sudah kehilangan harta dan sega-galanya. Yang tertinggal di kita hanya nama baik. Itu saja yang perlu dipelihara.” Kata-kata ayahnya itu ibarat jimat yang selalu ia pegana.
Ayahnya adalah Bupati Pekalongan, yang karena memilih menjadi republiken, semuanya habis. Kecuali, nama baik. Pesan yang menjadi jimat itu yang selalu dipegang oleh Hoegeng.
Sesaat setelah kapal dari Tanjung Priok yang dinaiki Hoeg itu berlabuh di dermaga Belawan ia dijemput sekelompok pimpinan kepolisian. Di tengah mereka mengaso di dermaga, ujug-ujug, muncul seorang yang berbadan gemuk, matanya sipit. Ia memperkenalkan diri sebagai, ketua panitia selamat datang untuk kepala Reskrim Jawatan Kepolisian Sumatra Utara yang baru.
Si “Ketua Panitia” itu kira-kira bilang begini setelah basa-basi pembuka: Mobil dan rumah siap sedia. Sekarang juga siap diantar ke mana pun dan siap diantar ke rumah. Hoegeng tiba-tiba ingat trik dari tamu Oom-nya sebelum berangkat ke Medan.
“Mobil dan rumah harap simpan dulu. Saya beritahu kapan saya butuh. Pokoknya, simpan saja dulu,” kata Hoegeng menirukan apa yang diucapkan oleh Tengku Aziz.
Si Ketua terkesiap. Mungkin berpikir, jangan-jangan Hoegeng malu di antara teman-temannya. Lalu, ia menjabat tangan Hoegeng kuat-kuat, membungkuk dalam, dan menyodorkan nomor telepon.
Sikat polisi hedon, Hoegeng disantet
Hoegeng dua bulan tinggal di Hotel De Boer. Karena, rumah dinas yang ada di Jl. Abdul Rivai belum siap. Barang-barang pemilik lama belum pindah semua. Sementara, barang-barang perabotan Hoegeng dititip di beberapa tempat.
Saat rumah sudah siap, betapa kagetnya Hoegeng mendengar laporan bawahannya bahwa Rumah di Jalan Rivai sudah berisi kembali. Yang mengisi panitia selamat datang. Rupanya, mereka mengikuti dengan saksama keadaan dan kondisi.
Hoegeng sangat berang. Ia pamit dari kantor dan bergegas ke Jalan Rivai. Sosok yang Hoegeng temui di Belawan tempo dulu ada di sana.
“Saudara masih ingat apa yang saya bilang. Saya yang memberitahu kapan barang-barang saya butuhkan. Lha, saya belum memberitahu, artinya saya belum memerlukannya.”
Semua diam. Sosok Si Ketua terkesiap. Mungkin tidak menyangka respon dari Hoegeng. “Barang-barang saya akan masuk sebentar lagi. Harap semua barang milik saudara yang ada di rumah itu bawa keluar. Angkat kembali. Bawa pulang. Sekarang sudah jam 11. Saya kasih waktu sampai jam 2.”
Ternyata, sampai jam dua, Si Ketua masih ada di sana. Hoegeng pun memberi aba-aba kepada polisi pengawalnya untuk menyingkirkan semua barang “Panitia Selamat Datang” itu di pinggir jalan. Piano, almari, meja-kursi tamu, bufet, meja makan, kulkas, radio, tape recorder, dipan jati. Semua teronggok di pinggir jalan.
Apa yang dilakukan Hoegeng sebagai Kepala Direktorat (Kadit) Reserse Kriminal Provinsi Sumatra Utara ibarat pernyataan perang untuk misi memberantas smokel atau penyelundupan, korupsi atau suap, dan judi.
Kasus penyelundupan. Sumatra Utara adalah daerah basah. Ini kasus yang laten. Semua tahu sama tahu. Waktu itu, Teluk Nibung dan Tanjung Balai adalah dermaga utama masuk-keluarnya barang-barang mewah secara ilegal.
Hoegeng melakukan bersih-bersih di tubuh kepolisian. Ia kemudian menyikat polisi yang berpangkat Komisaris Polisi Kelas II yang selama ini jadi beking penyelundupan Minyak Nilam. Tetapi polisi yang jadi beking penyelundupan dengan harta yang melimpah dan hedon tak sampai diseret ke pengadilan karena buru-buru minta pensiun.
Bahkan, saking dendamnya, Hoegeng diguna-gunai, ia disantet dengan ilmu hitam. Si dukun yang Jawa Deli Serdang berhasil diringkus dan mengaku Si Kompol Kelas II atau polisi hedon memintanya untuk mencelakai Hoegeng.
Selengkapnya di Jas Merah YouTube Mojok.
Sumber: Jas Merah
Editor: Agung Purwandono