11 Februari 2019, Minggu pagi yang seharusnya menjadi minggu yang adem dan tenang berubah menjadi minggu yang menyebalkan bagi Yogyakarta. Pasalnya, Gereja St Lidwina Bedhog Trihanggo, Sleman, Yogyakarta, tiba-tiba diserang oleh seorang pria bersenjata tajam.
Saat peristiwa penyerangan itu terjadi, jemaat di gereja sedang mengikuti kegiatan ibadah Misa Pagi.
Pelaku yang membawa pedang langsung masuk dan menuju altar sembari menyabetkan pedangnya ke arah para jemaat. Pelaku juga mengayunkan pedangnya ke sekeliling dan menghancurkan patung Yesus dan Bunda Maria yang ada di mimbar.
Serangan pria ini mengakibatkan lima orang terluka, termasuk Romo Karl Edmund Prier yang merupakan pemimpin acara misa serta Ajun Inspektur Satu Munir, personel Polsek Gamping yang datang untuk menangkap pelaku.
Dari keterangan polisi, belakangan diketahui bahwa pelaku penyerangan bernama Suliyono, asal Banyuwangi, Jawa Timur.
Saat ini, pelaku berhasil dilumpuhkan oleh polisi dan masih menjalani perawatan di RS Bhayangkara dan belum bisa dimintai keterangan.
Peristiwa penyerangan ini kembali menambah daftar panjang catatan peristiwa kekerasan yang terjadi di Yogyakarta.
Saat peristiwa penyerangan gereja itu terjadi, publik Jogja juga sedang disibukkan dengan maraknya insiden pelemparan batu yang sangat meresahkan masyarakat. Selain itu, tindak klitih juga sedang hangat-hangatnya. Di forum Info Cegatan Jogja, hampir setiap hari ada laporan soal tindak kekerasan ala klitih yang dilakukan oleh oknum-oknum remaja dan pelajar.
Acara-acara diskusi seputar beberapa isu yang dianggap sensitif juga tak jarang dibubarkan paksa baik oleh pihak aparat ataupun oleh organisasi masyarakat tertentu.
Jika hal ini terus dibiarkan, bukan tak mungkin, Jogja yang selama ini dikenal sebagai kota yang guyub, yang adem, yang tenteram, berubah menjadi Jogja yang panas dan rawan.
Narasi Jogja yang dibangun susah payah oleh KLa Project lewat lagunya “Yogyakarta” (Masih seperti dulu, tiap sudut menyapaku bersahabat, penuh selaksa makna) atau Geng Kobra melalui “Ngayogjakarta” (Ngayogjakarta, kuthane aman, berhati nyaman, kota seniman, kota pelajar, lan kabudayan) pun lama-lama menguap begitu saja.
Agaknya apa yang banyak ditulis oleh orang-orang di sosial media mulai terbukti benar: Jogja Berhenti Nyaman.