Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Kilas

Sejarah Kampung Ketandan: Pecinan yang Dipakai Belanda Buat untuk “Mendisiplinkan” Komunitas Tionghoa

Ahmad Effendi oleh Ahmad Effendi
17 Oktober 2023
A A
Sejarah Kampung Ketandan: Pecinan yang Dipakai Belanda Buat untuk "Mendisiplinkan" Komunitas Tionghoa MOJOK.CO

Atraksi barongsai di Kampung Ketandan. (jogjakota.go.id)

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Saat berkunjung ke kawasan wisata Jalan Malioboro, kita akan menemui gapura besar dengan tiang berukiran naga. Tingginya sekitar tujuh meter, tulisan “Kampung Ketandan” terukir jelas lengkap dengan arsitektur khas Tionghoa.

Ya, kawasan ini merupakan kawasan pecinan Kampung Ketandan. Lokasinya tak jauh dari Keraton Yogyakarta, tepatnya di sebelah utara Pasar Beringharjo.

Cakupan kawasan Kampung Ketandan cukup luas. Ia melingkupi sepanjang Jalan Ahmad Yani, Jalan Suryatmajan, Jalan Suryotomo dan Jalan Los Pasar Beringharjo. Selain luas, ia juga cukup terkenal karena menjadi titik pusat perayaan Tahun Baru Imlek tiap tahunnya.

Kendati demikian, yang perlu kita ketahui, Ketandan bukan satu-satunya kampung pecinan di Yogyakarta. Selain Ketandan, ada kawasan pecinan lain yakni Beskalan, Pajeksan, dan Kranggan

Lantas, sejak kapan komunitas Tionghoa mulai masuk dan tinggal di Yogyakarta, serta seperti apa sejarah awal terbentuknya Kampung Ketandan?

Masuknya kelompok Tionghoa ke Yogyakarta

Eksistensi komunitas etnis Tionghoa di Yogyakarta sudah ada sejak berdirinya Kesultanan Yogyakarta. Mereka, yang sebagian besar adalah pedagang, sudah hidup menetap dan berdampingan dengan masyarakat setempat.

Sejak permulaan abad ke-17, komunitas Tionghoa memang sudah berbondong memasuki Hindia Belanda. Bahkan, pemerintah sampai membentuk Kapitan Cina (Kapitein der Chinezen) yang bertugas untuk mengatur kawasan pecinan di penjuru Hindia Belanda.

Misalnya, ada Tjong Yong Hian yang jadi Kapitan Cina di Medan, kemudian Oey Dji San di Tangerang, hingga Khouw Kim An di Batavia. Sementara di kawasan Yogyakarta, jabatan kapten diisi To In.

Bahkan, kalau mau menelusuri lebih jauh lagi, keberadaan etnis Tionghoa di Hindia Belanda juga tak main-main. Menurut Thomas B Ataladjar dalam Toko Merah (2003), pada 1740 mereka bahkan melawan VOC karena merasa kecewa dengan kebijakan yang merugikan mereka. 

Alhasil, terjadilah peristiwa berdarah “Geger Pecinan” yang menewaskan 10 ribu orang Tionghoa di Surabaya, Banyumas, Pacitan, Madiun, Malang, Surakarta, hingga Yogyakarta.

Sejarah terbentuknya Kampung Ketandan

Akibat peristiwa berdarah tersebut, pemerintah kolonial Hindia Belanda mulai memantau dengan serius gerak-gerik orang-orang Tionghoa. Pemerintah menerapkan kebijakan pembatasan pergerakan (passenstelsel) untuk membatasi wilayah tinggal Tionghoa (wijkertelsel).

Alhasil, di suatu kawasan, orang-orang Tionghoa harus disatukan dalam tempat tertentu agar mudah mereka awasi. Pada 4 September 1916, Residen Yogyakarta Cornelis Canne menetapkan pembagian perkampungan Tionghoa di Yogyakarta menjadi empat: Kranggan, Malioboro, Ngabeyan, dan Ketandan.

Salah satu alasan mengapa empat wilayah ini dipilih sebagai kawasan pecinan karena sejak masa Sri Sultan HB III, daerah itu merupakan tempat tinggal “tondo”. Tondo sendiri merupakan sebutan untuk pegawai yang menarik pajak etnis Tionghoa untuk diserahkan pada Keraton Yogyakarta.

Pedagang mulai memadati jalanan Malioboro

Seiring berjalannya waktu, Kampung Ketandan semakin ramai dengan orang-orang Tionghoa. Sejak 1920-an, jalanan Malioboro memang mulai dipadati dengan aktivitas-aktivitas perekonomian. 

Iklan

Kala itu, ruas jalanan ini terbagi menjadi tiga: Residentielaan (sebagian Jalan Margo Mulyo ke arah selatan), Patjinan (Jalan Margo Mulyo ke arah Malioboro) dan Jalan Malioboro. Patjinan, kala itu, dipakai untuk mengidentifikasi kawasan pecinan.

Hingga 1925, di kawasan pecinan sudah ada sekitar 55 lapak/toko pedagang Tionghoa. Mulai dari yang menjual makanan, candu, hingga membuka jasa barbershop. 

Sebagai informasi, pada masa itu area jualan memang dibagi berdasarkan kelompok etnis. Orang-orang Tionghoa dapat jatah jualan di kawasan Petjinan, sedangkan golongan Eropa buka toko di sepanjang Jalan Malioboro hingga Toegoe Weg (Jalan Sudirman). Adapun orang-orang-orang pribumi, India dan Arab berjualan di sekitar Toegoe Weg.

Selain itu, pengusaha Tionghoa juga mulai membuka bisnis hotel untuk menandingi penginapan kelas wahid semacam Hotel Tugu, Hotel Mataram, Hotel Centrum maupun Grand Hotel de Djokdja (Grand Inna Malioboro).

Dua hotel milik orang Tionghoa yang paling terkenal saat itu antara lain Hotel Trio di ruas Toegoe Weg No. 8 (sekitaran Bank Mandiri Cabang Sudirman) milik Tjoa Boen Hian; dan Hotel Hwa Kiauw di ruas Patjinan No. 502 (sekitar Ramayana Mall Selatan).

Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Menelusuri Sejarah Kelenteng Liong Hok Bio, Bangunan Indah di Jantung Kota Magelang

Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News

 

Terakhir diperbarui pada 17 Oktober 2023 oleh

Tags: ketandanpecinantionghoa
Ahmad Effendi

Ahmad Effendi

Reporter Mojok.co

Artikel Terkait

Rahasia di Balik “Chindo Pelit” Sebagai Kecerdasan Finansial MOJOK.CO
Esai

Membongkar Stigma “Chindo Pelit” yang Sebetulnya Berbahaya dan Menimbulkan Prasangka

29 Oktober 2025
Kampung Ketandan, dulu jadi tempat tinggal Kapitan Cina Tan Jing Sing.
Memori

Bangsawan Jawa Ini Pernah Jadi Kapitan Cina, Jejak Rumahnya Masih Kokoh di Kampung Ketandan Jogja

8 November 2023
Tugu Pagoda dan Kisah Membaurnya Etnis Tionghoa dan Jawa di Wates MOJOK.CO
Kilas

Tugu Pagoda Wates dan Kisah Membaurnya Etnis Tionghoa dan Jawa di Kulon Progo

19 September 2023
Rahasia di Balik Gedung Setan Surabaya. MOJOK.CO
Sosok

Asal Usul Nama Gedung Setan di Surabaya yang Nggak Banyak Orang Tahu

27 Maret 2023
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Slipknot hingga Metallica Menemani Latihan Memanah hingga Menyabet Medali Emas Panahan MOJOK

Slipknot hingga Metallica Menemani Latihan Memanah hingga Menyabet Medali Emas Panahan

21 Desember 2025
Jogja Macet Dosa Pemerintah, tapi Mari Salahkan Wisatawan Saja MOJOK.CO

Jogja Mulai Macet, Mari Kita Mulai Menyalahkan 7 Juta Wisatawan yang Datang Berlibur padahal Dosa Ada di Tangan Pemerintah

23 Desember 2025
Pasar Petamburan di Jakarta Barat jadi siksu perjuangan gen Z lulusan SMA. MOJOK.CO

Pasar Petamburan Jadi Saksi Bisu Perjuangan Saya Jualan Sejak Usia 8 Tahun demi Bertahan Hidup di Jakarta usai Orang Tua Berpisah

19 Desember 2025
ugm.mojok.co

UGM Dorong Kewirausahaan dan Riset Kehalalan Produk, Jadikan Kemandirian sebagai Pilar

20 Desember 2025
Bagian terberat orang tua baru saat hadapi anak pertama (new born) bukan bergadang, tapi perasaan tak tega MOJOK.CO

Katanya Bagian Terberat bagi Bapak Baru saat Hadapi New Born adalah Jam Tidur Tak Teratur. Ternyata Sepele, Yang Berat Itu Rasa Tak Tega

18 Desember 2025
Pasar Kolaboraya tak sekadar kenduri sehari-dua hari. Tapi pandora, lentera, dan pesan krusial tanpa ndakik-ndakik MOJOK.CO

Kolaboraya Bukan Sekadar Kenduri: Ia Pandora, Lentera, dan Pesan Krusial Warga Sipil Tanpa Ndakik-ndakik

23 Desember 2025

Video Terbaru

Petung Jawa dan Seni Berdamai dengan Hidup

Petung Jawa dan Seni Berdamai dengan Hidup

23 Desember 2025
Sepak Bola Putri SD Negeri 3 Imogiri dan Upaya Membangun Karakter Anak

Sepak Bola Putri SD Negeri 3 Imogiri dan Upaya Membangun Karakter Anak

20 Desember 2025
SD Negeri 3 Imogiri Bantul: Belajar Bergerak dan Bertumbuh lewat Sepak Bola Putri

SD Negeri 3 Imogiri Bantul: Belajar Bergerak dan Bertumbuh lewat Sepak Bola Putri

18 Desember 2025

Konten Promosi



Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.