MOJOK – Prabowo dan Puan Maharani punya senjata rahasia untuk menghadapi Pilpres 2024. Keduanya sama-sama pernah dizalimi oleh orang yang pernah didukungnya.
Salah satu hal yang dianggap merupakan kekhasan politik di Indonesia adalah ‘dizalimi’. Setidaknya, dalam sejarah politik di Indonesia, ada yang biasanya dijadikan rujukan adalah beberapa momentum ini.
Pertama, adalah kemenangan besar-besaran PDIP saat Pemilu 1999, karena di sana ada sosok Megawati Sukarno Putri, yang selama pemerintahan Orde Baru, telah dilakukan upaya penzaliman terhadap dirinya sebagai trah Sukarno. Namun hal yang sama kemudian terjadi, saat SBY memenangkan kontestasi Pilpres pada tahun 2004, yang sebelumnya juga ada drama penzaliman yang dilakukan oleh pihak Megawati, persisnya almarhum Taufiq Kiemas kepada SBY, yang kala itu disebut sebagai sosok ‘jenderal yang kekanak-kanakan’.
Sementara itu, dalam kontestasi menjelang Pilpres 2024 yang mulai menghangat, setidaknya ada tiga nama yang selalu berada di 3 peringkat teratas: Ganjar Pranowo, Prabowo Subiyanto, dan Anies Baswedan. Anies bahkan sudah dideklarasikan oleh Partai Nasdem sebagai capres dari partai mereka, dan Prabowo juga sudah dideklarasikan sebagai capres dari Partai Gerindra.
Jika kelak kedua nama bertarung, sebetulnya Prabowo memiliki senjata sebagai sosok yang ‘dizalimi’. Hal itu disebabkan ketika Anies didepak oleh Presiden Jokowi dari Menteri Pendidikan, tidak lama kemudian justru dia ditarik dan dicalonkan oleh Prabowo sebagai calon gubernur DKI pada tahun 2017.
Padahal saat Anies menjabat sebagai timses Jokowi, dia dikenal vokal dalam mengkritik Prabowo. Namun di saat dia terpuruk, Prabowo mengulurkan tangan politiknya untuk menggaet Anies. Kisah selanjutnya kita tahu, Anies akhirnya memenangi laga Pilgub DKI bersama Sandiaga Uno.
Hal yang sama sebetulnya juga terjadi pada Puan Maharani dengan Ganjar Pranowo. Di luar dugaan banyak orang, saat Pilgub Jateng akan dihelat tahun 2013, Megawati menunjuk Ganjar Pranowo sebagai calon gubernur.
Kala itu, elektabilitasnya jauh di bawah Bibit Waluyo yang menjabat gubernur sebelumnya. Megawati bahkan menunjuk Puan Maharani sebagai ketua tim pemenangan Ganjar. Puan benar-benar all out membantu Ganjar untuk memenangi pertarungan tersebut, dan hasilnya memang di luar dugaan, Ganjar pun terpilih sebagai Gubernur Jateng.
Lima tahun kemudian, kembali Ganjar didapuk sebagai calon gubernur Jateng. Lagi-lagi Puan turun tangan untuk memenangkan Ganjar untuk kedua kalinya.
Ketika kemudian dalam bursa Pilpres tahun 2024, elektabilitas Ganjar jauh melampaui Puan, hubungan kedua tokoh penting tersebut disebut-sebut renggang. PDIP diduga ingin mencalonkan Puan sebagai capres, tapi elektabilitasnya lambat naik. Sementara Ganjar selalu masuk tiga besar dalam berbagai survei.
Sebetulnya, jika merujuk pada sejarah, maka Puan bisa menjadikan senjata ‘dizalimi’ itu untuk mendongkrak elektabilitasnya. Namun sementara ini yang terjadi justru sebaliknya. Ganjar-lah yang malah bisa memanen elektabilitas seolah-olah dizalimi oleh elite PDIP.
Memainkan strategi ‘penzaliman politik’ memang butuh strategi yang jitu. Prabowo misalnya, cukup dengan menyatakan kepada kadernya kurang-lebih seperti ini: Kita tidak dapat mengandalkan perbuatan baik kita akan dibalas oleh orang lain. Jelas pernyataan itu ditujukan kepada Anies.
Apalagi Anies pernah menyatakan kepada publik kalau dirinya tidak mungkin berkontestasi melawan Prabowo karena merasa sudah ditolong. Namun yang terjadi sekarang adalah sebaliknya, Anies menjadi bakal capres oleh Nasdem dan bahkan mungkin dia tidak memberitahu atau kula nuwun atau meminta restu kepada Prabowo, sosok yang membuka lagi kartu politik Anies saat sudah ditutup oleh Presiden Jokowi.
Dalam kasus Puan, timnya gagal membuat narasi penzaliman atas Puan jika Ganjar maju. Justru yang berhasil adalah tim Ganjar yang bisa meembalikkan kartu penzaliman.
Sebetulnya, strategi penzaliman seperti ini tidak terlalu kontributif pada kualitas Pilpres di Indonesia karena tidak ada hubungannya dengan visi dan program para bakal calon presiden. Namun bagi rakyat kebanyakan, hal seperti ini masih menjadi sesuatu yang penting.
Rasa kasihan, perasaan tidak terima jika tokoh tertentu diperlakukan dengan tidak adil, masih menjadi porsi subjektif yang besar bagi para calon pemilih. Itu seperti sinetron. Banyak orang yang mengkritiknya tapi jauh lebih banyak lagi yang justru menontonnya.
Penulis: Puthut EA
Editor: Purnawan Setyo Adi