“Mas, sudah baca soal anggota dewan yang nyinyir sama KPK belum?” tanya Romlah pada Karjo suaminya saat menyiapkan sarapan pagi. Tangan Romlah begitu cekatan menata sayur dan lauk di atas meja dengan komposisi yang begitu ritmis.
“Wah, kalau anggota dewan nyinyir sama KPK bukannya sejak jaman dulu sudah ada, jadi anggota dewan yang mana ini?”
“Iya, tapi yang satu ini kebangeten banget lho, Mas. Seingatku namanya Johnny, dia anggota DPR sekaligus sekjen salah satu partai.” Kata Romlah, kali ini sembari mengambilkan nasi untuk suaminya. “Segini, cukup?”
“Yo tambah tho, jangan kaya orang susah, wong ngambil nasi buat suami sendiri kok cuma dua centong, kita ini negara agraris, Romlah!”
“Iyaaaaa, iyaaa. Biasanya kalau pagi juga makanmu cuma sedikit, Mas.” gerutu Romlah sambil menambah dua centong nasi ke piring Karjo.
“Yang soal anggota DPR itu, kebangetannya gimana?”
“Ya kebangetan, mosok dia bilang kalau semakin banyak OTT malah semakin bikin bangsa malu, lak yo kebangetan tho itu namanya?”
Seperti diketahui, keberhasilan OTT alias operasi tangkap tangan yang dilakukan oleh KPK ternyata tidak serta merta mendapat tanggapan yang bagus, ada saja pihak yang justru nyinyir dengan keberhasilan tersebut, salah satunya adalah anggota DPR sekaligus Sekjen Partai Nasdem, Johnny G Plate.
“Semakin banyak OTT ya, itu justru membuat bangsa ini malu. Justru menunjukkan bangsa ini lemah. Semakin banyak OTT menggambarkan kebangsaan ini lemah,” begitu kata Johnny.
Komentar Johnny ini tak pelak langsung menjadi bahan pemberitaan di berbagai media dan mengundang banyak tanggapan dari para netizen yang sebagian besar langsung membully Johnny habis-habisan. Betapa tidak, di saat banyak pihak berharap dan mengapresiasi kerja KPK dalam mencegah dan menanggulangi tindak korupsi, Johnny justru memberikan tanggapan bernada miring terhadap kinerja KPK.
“Tapi apa kata si Johnny itu ada benarnya juga lho, Lah.” Kata Karjo sambil menyantap nasi dan lauk di depannya dengan kunyahan yang begitu sporadis.
“Ada benarnya gimana? Wong katanya semakin banyak OTT justru bikin bangsa malu, kok, di mana bagian benarnya?”
“Lha yo itu, OTT kan memang bikin malu, sebab ketika tersangkanya tertangkap, beritanya soal penangkapannya langsung tersebar, orang-orang jadi tahu,” kata Karjo, “harusnya jangan begitu.”
“Lha harusnya, gimana?”
“Harusnya, itu tersangka yang tertangkap tangan terlibat dalam tindak korupsi atau suap diringkus diam-diam, nggak usah disebarin ke media. Nah, kalau sudah diringkus diam-diam, nanti diinterogasi diam-diam, diancam diam-diam, diadili diam-diam, dimiskinkan diam-diam, lalu disunat diam-diam, bahkan kalau perlu, dibunuh diam-diam.”
“Hahaha, lambemu, Mas,” Romlah terbahak, “tapi bener juga ya.”
“Lha yo bener, suaminya siapa dulu,” kata Karjo, “Tahun kemarin saja, KPK berhasil menetapkan lebih dari 50 tersangka. Kan sebenarnya lumayan kalo jumlah segitu bisa disunat dan dibunuh diam-diam setiap tahunnya, setidaknya bisa mengurangi tingkat kepadatan penduduk. Jadi nanti Indonesia bakal nggak kerasa kalau koruptornya hilang satu per satu, nanti bakal nggak terasa, tahu-tahu sudah bersih aja”
“Hayyaaaah, kamu ini ada-ada saja lho, Mas. Wis ah, sudah cepet habiskan nasinya, nanti telat kerjanya.”
“Nggak usah buru-buru, wong ya habis ini aku mau ketemuan sama Puthut di warungnya Mbak Minuk.”
“Heh, ngapain ke warungnya Mbak Minuk segala?” tanya Romlah sewot. Maklum, ia merasa insekyur, sebab Mbak Minuk memang seorang janda semok yang baru saja pindah ke kompleks tempat tinggal mereka. Mbak Minuk membuka warung kopi kecil di dekat jalan masuk ke kampung.
“Ya ketemuan sama Puthut”
“Kenapa harus di warung Mbak Minuk?”
“Lha memang janjiannya di sana.”
“Ya sudah, aku ikut.”
“Lho, ngapain ikut?”
“Biar bisa nge-OTT-in kamu kalau kamu macem-macem dan plirak-plirik sama Mbak Minuknya.”
“Aku ke sana itu nggak macem-macem, cuma studi banding,” pungkas Karjo sambil melirik menggoda Romlah.
“Studi banding, ndasmu…”