MOJOK.CO – Acara malam Munajat 212 penuh kontroversi. Acara doa bersama ini dituduh hanya kampanye belaka untuk mendukung pasangan Prabowo dan Sandiaga Uno.
“Alih-alih berdoa, kegiatan ini seperti mobilisasi massa, tapi dalam versi santun mendukung Prabowo. Jelas ini bukan untuk kepentingan agama dan umat, tapi politik praktis,” kata Wasisto Raharjo Jati, peneliti gerakan politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), kepada reporter Tirto.
Yang dipertanyakan oleh Wasisto di atas adalah tujuan sebenarnya dari acara Munajat 212 yang diadakan di Monas pada Kamis (21/2). Acara yang terselenggara berkat “saran” dari Iman Besar FPI, Habib Rizieq Shihab tersebut memang menuai banyak kontroversi.
Selain soal dituduh memuat politik praktis, malam Munajat 212 juga diwarnai oleh kekerasan kepada peliput acara. Sejumlah jurnalis menjadi korban kekerasan dan intimidasi massa yang menggunakan atribut Front Pembela Islam (FPI) saat kegiatan Munajat 212. Kronologisnya bisa kamu baca di sini.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta mengutuk aksi kekerasan dan intimidasi massa terhadap jurnalis yang sedang bekerja.
“Kami menilai tindakan laskar FPI menghapus rekaman video maupun foto dari kamera jurnalis CNN Indonesia TV dan Detik.com adalah perbuatan melawan hukum. Mereka telah menghalang-halangi kerja jurnalis untuk memenuhi hak publik dalam memperoleh informasi,” tulis AJI Jakarta dalam keterangan tertulis.
Kembali ke tuduhan politik praktis.
Bawaslu sendiri dikabarkan tengah mengkaji ada-tidaknya unsur kampanye di malam Munajat 212. Beberapa fakta di lapangan yang membuat acara Munajat 212 ini dituduh sebagai ajang kampanye adalah ketika Ketua MPR Zulkifli Hasan berpidato.
Zulkifli, yang diberi kesempatan menyampaikan sambutan, berbicara mengenai kedaulatan negara dipegang rakyat. Zulkifli menyinggung soal persatuan dan presiden. Teriakan 02 menggema ketika Ketua Zulkifli Hasan, bilang: “Persatuan nomor satu, soal presiden…,” yang ditimpati “Nomor dua!” oleh massa.
Indikasi kedua adalah adanya pose jari yang menunjukkan dukungan kepada salah satu pasangan calon yang berlaga di Pilpres 2019. Selain itu, panitia juga memutar rekaman suara Habib Rizieq Shihab yang menganjurkan massa untuk “menggulingkan rezim”.
Rizieq bilang pemerintahan saat ini tak adil. Ia pun, secara tidak langsung, menyerukan peserta untuk memilih Prabowo-Sandi saja. “Kami siap tumbangkan rezim,” kata Rizieq.
Teriakan “Prabowo” juga kerap menggema, tanda bahwa peserta Munajat 212 pada dasarnya punya preferensi politik yang sama. Namun, tuduhan semacam itu dibantah oleh Nanda Khairiyah, Sekretaris Infokom MUI Jakarta. Menurutnya, malam Munajat 212 hanya punya satu tujuan, yaitu menyatukan umat.
“Kalau ada yang bilang dikaitkan dengan politik, kami katakan tidak ada. MUI sebagai organisasi netral, kemudian melihat hal ini harus dinetralkan, untuk kemudian bisa menyatukan masyarakat, menyejukkan masyarakat. Daripada nantinya diributkan pihak lain, digunakan pihak lain, jadi MUI mencoba untuk menyatukan umatnya,” kata Nanda.
Memang, tuduhan-tuduhan politik praktis ini harus dibuktikkan dulu. Jangan sampai, pameran kekompakan dan seiya sekata sebuah golongan ini terlukai oleh sebuah tuduhan yang punya bukti kuat. Kita rindu Munajat, yang bisa bikin sejuk masyarakat dan menyatukan umat. (yms)