MOJOK.CO –Â Cendekiawan Muslim Indonesia yang juga Ketua Dewan Pers 2022-2026, Prof. Dr. Azyumardi Azra meninggal dunia, Minggu (18/9/2022). Prof Azra meninggal usai menjalani perawatan intensif di Rumah Sakit (RS) Serdang, Selangor, Malaysia, setelah mengalami sesak nafas dalam penerbangan dari Jakarta menuju Kuala Lumpur pada Jumat (16/9).
Kabar meninggalnya Prof Azra dibenarkan Anggota Dewan Pers Arif Zulkifli yang mendapatkan informasi dari pihak keluarga. Rektor Islam Negeri atau UIN Syarif Hidayatullah Jakarta periode 1998-2006 meninggal dunia usai dirawat akibat terpapar Covid-19. Â
Sebelumnya Azyumardi Azra datang ke Malaysia dalam rangka menghadiri Konferensi Internasional Kosmopolitan Islam di Selangor, Malaysia yang diselenggarakan Angkatan Belia Islam Malaysia (ABIM). Ia direncanakan menjadi salah satu narasumber dalam acara yang berlangsung 17 September.Â
Namun, usai pesawat yang membawanya mendarat di Bandara Internasional Kuala Lumpur, Malaysia Azyumardi Azra langsung dilarikan ke rumah sakit. Duta Besar Indonesia untuk Malaysia, Hermono mengatakan Azyumardi Azra sempat mendapatkan perawatan di ICU.Â
Sementara itu, Wakil Presiden ABIM Muhammad Shazni yang bertugas menjemput Azyumardi di Bandara Kuala Lumpur seperti dikutip dari Antara mengatakan bahwa pada pukul 15.33 waktu setempat ia masih sempat berkomunikasi lewat WhatsApp.
Shazni mengatakan setelah sampai di Rumah Sakit Serdang dan menjalani tes, dokter menyampaikan bahwa Azyumardi positif Covid-19. Sehingga, Azyumardi segera mendapat perawatan dengan ventilator di ruang ICU.
Dikenal sebagai cendekiawan muslim
Prof. Dr. H. Azyumardi Azra atau yang akrab disapa Prof Azra mengenyam bangku pendidikan sebagai mahasiswa di Fakultas Tarbiyah IAIN Jakarta pada 1982.
Suami dari Ipah Farihah itu juga pernah menjadi wartawan Panji Masyarakat pada 1979-1985. Gelar Master of Art (MA) dari Departemen Bahasa dan Budaya Timur Tengah, Universitas Columbia Amerika Serikat diraihnya pada 1988 setelah mendapatkan beasiswa Fullbright.
Di kampus yang sama dia kembali meraih gelar MA dari Departemen Sejarah pada 1989 setelah memenangkan beasiswa Columbia President Fellowship. Gelar Master of Philosophy (MPhil) dari Departemen Sejarah, Columbia University diraihnya pada 1990 dan Doctor of Philosophy Degree pada 1992.
Ia kemudian mendirikan dan menjadi pemimpin redaksi Studia Islamika, sebuah jurnal Indonesia untuk studi Islam, pada 1993.
Pria kelahiran Padang Pariaman, Sumatera Barat pada 4 Maret 1955 itu juga pernah menjadi profesor tamu Southeast Asian Studies di Oxford Centre for Islamic Studies.
Ayah dari empat anak itu juga pernah menjadi profesor tamu di Universitas Filipina dan Universitas Malaya, Malaysia pada 1997.
Azyumardi menjabat sebagai Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada periode 1998 sampai 2006, sebelum digantikan oleh Komaruddin Hidayat. Sejak Desember 2006, dia menjabat Direktur Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, selain menjadi Guru Besar Sejarah Fakultas Adab.
Sejumlah prestasi lain yang pernah digoreskan almarhum adalah menjadi orang Asia Tenggara pertama yang diangkat sebagai Professor Fellow di Universitas Melbourne, Australia (2004-2009) dan anggota Dewan Penyantun (Board of Trustees) International Islamic University Islamabad Pakistan (2004-2009).
Pesan untuk insan pers di Indonesia
Azyumardi terpilih untuk memimpin Dewan Pers menggantikan Muhammad Nuh pada Mei 2022 dengan acara serah terima yang dilakukan di Jakarta pada 18 Mei 2022.
Dalam salah satu pesannya sebagai Ketua Dewan Pers, dia mengimbau kepada insan pers di berbagai platform untuk bekerja sesuai dengan kode etik jurnalistik.
Selain bekerja sesuai dengan kode etik, dia juga meminta kepada pers di Indonesia untuk melakukan pemberitaan dengan penuh tanggung jawab dan berdampak positif bagi publik.
Pernyataan itu dia keluarkan pada 29 Mei 2022 berkaitan dengan pemberitaan tentang hanyutnya Emmeril Khan Mumtadz, putra dari Gubernur Jabar Ridwan Kamil, di Sungai Aare, Swiss.
Dalam pernyataan itu dia menyampaikan harapan agar media tidak membuat berita dengan isi ramalan atau prediksi terkait peristiwa tragedi kemanusiaan.
Sebaliknya, pers didorong untuk menampilkan karya jurnalistik berdampak positif bagi kemanusiaan. Dibuat sesuai dengan etik dan tidak melakukan glorifikasi.
Dia juga mengajak seluruh jajaran redaksi di seluruh platform media untuk bersama mengedepankan jurnalisme empati dan tetap berpegang teguh pada kode etik jurnalistik.
Sumber: Antara
Editor: Agung Purwandono