MOJOK.CO – Sejumlah seniman tradisi dari Yogyakarta menggelar pentas ketoprak “Mahkamah Kongkalikong”, Senin (06/11/2023). Pentas ini bentuk sindiran karena Mahkaham Konstitusi menetapkan batas usia capres/cawapres yang kontroversial.
“Pentas ketoprak ini untuk menyuarakan kegelisahan seniman akan kondisi Indonesia saat ini,” ujar penulis naskah sekaligus sutradara lakon ketoprak “Mahkamah Kongkalikong”, Nano Asmorodono.
Penggambaran desa antah berantah
Sejumlah pemain tampil dalam ketoprak ini. Sebut saja Miyanto, Hargi Sundari, Sumardiyanto Ketel, Bagong Tris, Novi Kalur, Aldo Iwak Kebo, Tuminten, Dalyanto, Supri, Patit, Sarwono, Rika Anggita dan Yanti Lemoe.
Sedangkan beberapa aktivis gerakan yang ikut tampil. Antara lain Hendro Plered, Noor Janis, Syafaat Noor Rochman, Dodo Alfaro, Bambang KSR dan Arya Yudha.
Para seniman memilih lakon tersebut melalui penggambaran situasi desa antah berantah yang semula aman tentram namun tiba-tiba gaduh karena dihempas badai nepotisme.
Menjelang akhir masa pensiunnya, Ki Lurah dan saudara iparnya bersekongkol Ki Usmani membuat keputusan kontroversial yang memicu keresahan dan konflik sesama warga desa.
“Oligarki politik telah bersekongkol sedemikian rupa dengan memaksakan perubahan konstitusi untuk melegitimasi agenda politik kekuasaannya,” jelasnya.
Mahkamah Kongkalikong untuk kritik untuk Mahkamah Konstitusi
Pentas ketoprak tobong yang baru pertama kali ini di DPRD DIY juga menjadi kritik pada pemerintah. Sebab ada konflik kepentingan dari Hakim Konstitusi sekaligus pimpinan Mahkamah Konstitusi Anwar Usman yang ikut mengadili perkara. Karena bagaimanapun keputusan itu menguntungkan keponakannya Gibran Rakabuming Raka yang dijadikan sebagai dalil legal standing oleh pemohon.
“Melalui pentas ini harapannya semakin membuka kesadaran dan sikap kritis masyarakat bahwa negara Indonesia sedang tidak baik-baik saja,” tandasnya.
Putusan MK itu, lanjut Nano bertentangan dengan The Bangalore Principle of Judicial Conduct, UU Kekuasaan Kehakiman, UU Mahkamah Konstitusi dan PMK tentang Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi. Khususnya terkait dengan Prinsip Ketakberpihakan (Imparsialitas). Karenanya keputusan tersebut menjadi tidak sah.
Mereka khawatir jika praktik politik kotor itu terus ada di Indonesia maka niscaya bangsa ini akan kembali mengulangi kesalahan politik di masa lalu. Saat Orde Baru (Orba) berkuasa, kekuasaan politik hanya dalam cengkeraman segelintir elit politik.
“Karenanya ketoprak ini menjadi kritik dan koreksi sebagai sarana majunya demokrasi disumpal dan dilibas dengan rekayasa kekuasaan,” paparnya.
Tak larut dalam opini tendensius
Sementara Ketua DPD Golkar yang merupakan anggota DPR RI asal DIY, Gandung Pardiman dalam keterangannya, meminta Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie tidak larut dan terjebak ikut berpolitik dengan mengembangkan opini yang tendensius. Sebab keputusan itu bersifat final dan mengikat dan telah memiliki kekuatan hukum tetap sejak dibacakan dalam persidangan MK.
“Kami minta Ketua MKMK tidak larut ikut berpolitik dengan opini-opini yang tendensius. Kami minta ketua MKMK bekerja sesuai tupoksinya tentang pelanggaran kode etik dan tidak melebar mempengaruhi putusan MK yang sudah final,” paparnya.
Bagi Gandung, keputusan itu sama sekali tidak ada keterkaitan dengan Gibran Rakabuming Raka. Namun keputusan itu berlaku untuk semuanya.
“NKRI ini terbentuk berkat gerakan generasi muda pada waktu itu. Jadi jangan ragukan kualitas generasi muda,” imbuhnya.
Reporter: Yvesta Ayu
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Harga Bahan Pangan di Jogja Melonjak Gara-gara Cuaca Ekstrem
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News