MOJOK.CO – Juru Supit Bogem adalah tempat sunat paling legendaris di Jogja. Mulai buka praktik sejak 1939, Bogem sudah membantu banyak lelaki melewati satu fase penting dalam hidupnya.
Lokasi praktiknya terletak di Jalan Raya Solo-Yogyakarta KM 16, Kalasan, Sleman. Mereka yang sunat di sini datang dari beragam kalangan. Mulai anak PAUD sampai lelaki paruh baya yang usianya sudah 80 tahun.
Saking legendarisnya, banyak mitos yang berkembang di kalangan orang yang sunat di Bogem. Salah satunya anggapan bahwa kalau sunat di Bogem, kelak, ketika dewasa bisa jadi pegawai.
“Ada semacam sugesti dan mitos juga, orang yang sunat di sini rata-rata nantinya jadi pegawai. Saya dan kakak saya sudah membuktikan itu,” ujar Gatot Suharto, lelaki asal Wonogiri yang Mojok temui saat sedang mengantar anaknya sunat di Bogem.
Hampir semua lelaki di keluarga Gatot sunat di tempat yang dirintis oleh sosok bernama R. Ng. Notopandoyo ini. Ada semacam kepercayaan di keluarganya, kalau tidak sunat di sini rasanya kurang afdal.
Sebenarnya dulu, ia mengaku heran, kenapa orang tuanya memilih tempat sunat jauh-jauh dari Wonogiri ke Jogja. Tapi akhirnya ia merasakan sendiri buah manfaat hasil dari Bogem.
“Setelah sunat, kemudian punya istri, saya jadi merasakan sendiri manfaatnya. Luar biasa,” ujarnya terkekeh.
Di sela-sela kesibukannya menemui pasien seperti Gatot dan keluarganya, Bardo Djumeno sang pengelola Juru Supit Bogem menyempatkan diri menemui kru Mojok yang berkunjung. Mojok melakukan kunjungan pada Juli 2018 silam untuk membuat konten video.
Bardo merupakan anak kelima dari pendiri Bogem. Dari sembilan bersaudara, empat di antaranya laki-laki. Semua anak laki-laki di keluarga ini diajari seni menyunat oleh sang ayah. Sehingga warisan Bogem pun, bisa diteruskan sampai sekarang.
“Kalau bapak saya dulu itu belajar kepada juru supit Sutardi Hardiyoto. Beliau merupakan bong supit dari Keraton Yogyakarta,” jelasnya.
Urusan nama, Bardo bercerita kalau Bogem sendiri sebenarnya nama kampung di sekitar tempat praktiknya. Namun, ada sejumlah versi tentang makna dari kata tersebut. Mulai dari alat untuk memukul sampai alat menyimpan perhasan.
“Ada alat pemukul namanya bodem, seperti palu tapi besar. Agar memudahkan orang banyak menyebutnya bodem, bukan bogem. Terus ada lagi, bogem itu artinya tempat perhiasan mas milik raja atau putri raja. Barang itu ada di Museum Sonobudoyo,” paparnya detail.
Beda musim sunat anak-anak dengan orang dewasa
Saat Mojok berkunjung, suasana tempat praktik ini sedang ramai. Banyak orang dari berbagai daerah di luar Jogja yang sedang menyunatkan anaknya. Kebanyakan dari kabupaten-kabupaten di Jawa Tengah.
Anak-anak, direbahkan di deretan kasur dengan seprai berwarna putih. Di ujungnya ada satu kasur dengan tirai yang menutupi. Tempat praktik sunat dilangsungkan dengan khidmat sekaligus cepat.
Pertengahan tahun, musim liburan sekolah, kebanyakan pasien yang datang merupakan keluarga yang menyunatkan anaknya. Kalau dulu, masa ramainya bisa berbeda. Sebagai daerah agraris, biasanya orang tua menyunatkan anaknya saat musim panen.
“Soalnya saat sunatan juga sepaket dengan buat hajatan orang Jawa itu. Kalau dulu hajatannya sekalian diisi ketoprak atau wayangan. Kalau sekarang, bisa organ tunggal atau dangdutan,” jelasnya.
Belakangan Bardo juga mengamati kalau tren usia sunat semakin hari semakin dini. Paling sering, anak yang disunat itu umur-umur akhir Sekolah Dasar adan awal SMP. Namun belakangan, usia TK bahkan PAUD sudah banyak yang disunat.
Selain itu, di kota besar seperti Jabodetabek, tren usia sunat yang semakin muda juga terjadi. Menurutnya, hal itu terjadi lantaran kawasan itu dekat dengan Jawa Barat yang punya masyarakat dengan keislaman yang kuat.
“Daerah yang Islam-nya kuat, biasanya kecil-kecil sudah disunat,” cetusnya.
Selepas masa liburan sekolah, Bogem bukan berarti jadi sepi. Di saat-saat itulah justru, lelaki dewasa mulai berdatangan untuk melakukan prosesi sakral di alat kelaminnya.
Mereka datang bukan lagi diantar oleh orang tua. Ada banyak mahasiswa yang datang diantar pacarnya. Ada pula lelaki yang diantar calon istrinya.
“Kalau nikah belum sunat, kan istrinya bisa membandingkan, nih. Lebih nyaman mana, sebelum atau sesudah disunat,” katanya tertawa.
Ia pernah didatangi orang yang sudah punya dua anak lalu baru sunat. Setelah prosesi, ia menyarankan agar orang itu datang kembali untuk melakukan kontrol berkala. Setelah sembuh, ia lalu memberikan saran, “Silahkan, sudah boleh landing. Tapi nanti kabari saya, enak sebelum atau sesudah,” celetuknya.
“Benar, dia ngabarin lagi. Memang katanya lebih enak setelah sunat, lebih mantap dan bersih,” sambungnya terbahak.
Momen-momen yang mengocok perut memang sering ia jumpai di tempat praktik ini. Suatu hari pernah ada seorang bapak yang sedang mengantar anaknya sunat. Selesai prosesi, bapak itu bertanya memastikan kondisi anaknya.
“Sakit nggak, Nak?”
“Enggak Pak.”
Setelah itu, sang bapak tiba-tiba datang ke meja pendaftaran. Bukan untuk membayar tagihan. Melainkan minta disunat sekalian.
“Ada juga kejadian rombongan dari Temanggung,” kata Bardo.
Suatu ketika rombongan keluarga datang mengantarkan anaknya sunat. Ada orang tua hingga kakek sang anak yang turut serta menemani. Setelah itu sang kakek datang menghampiri Bardo.
“Cucu saya sudah to Pak. Sekarang gantian saya sekalian,” ujar Bardo menirukan ucapan sang kakek dulu. Sepengalaman Bardo, pasien tertua yang pernah ia tangani berusia 80 tahun.
Selain perkara usia, asal pasien yang datang ke Bogem juga beragam. Bukan hanya dari daerah sekitar Jogja, tapi juga sampai mancanegara. Mulai dari Hongkong, Taiwan, hingga Malaysia.
“Kebanyakan sih karena mereka menikah dengan TKW. Sebelum menikah, saat pulang kampung ke sini, sang calon suami disuruh sunat dulu,” jelasnya.
Sunat ada seninya
Menyunat orang dewasa, buat Bardo, tentu butuh perhatian yang sedikit lebih ekstra ketimbang anak-anak. Untuk orang dewasa, apalagi yang usianya sudah lanjut, Bardo mengharuskan mereka untuk cek gula darah.
“Kalau gula darah tinggi, saya nggak berani. Nanti susah sembuh kan lukanya,” katanya.
Selain itu, urusan sederhana seperti mencukur rambut juga perlu diperhatikan. Pasalnya, kalau keberadaan rambut yang lebat cukup mengganggu proses sunat.
Hal serupa juga berlaku buat anak-anak. Jika usianya masih terlalu dini, biasanya ada satu kendala yakni Fimosis. Kondisi ini terjadi saat kulup penis belum lepas sempurna dari kepalanya.
Biasanya, kalau sudah usia akhir SD, kondisi itu sudah hilang karena anak sudah mencoba untuk membuka kulupnya sendiri. Tapi ada juga yang masih dengan kondisi itu. Bagi Bardo, penis itu sepeti sidik jari, setiap orang punya keunikannya masing-masing.
Menyunat, buat Bardo memang punya nilai seni tersendiri. Ia menjalaskan kalau zaman dulu sunat di masing-masing daerah punya perbedaan tersendiri. Jogja dan Solo misalnya, dua daerah dengan kedekatan budaya dan sejarah ini ternyata punya perbedaan kentara.
“Kalau Solo, itu biasanya dibelah saja. Kalau Jogja dibelah lalu ditimpal,” paparnya.
Beda lagi kalau sunat medis yang biasanya menggunakan metode sirkumsisi. Metode ini membedah dan memotong keseluruhan kulup penis sehingga terbuka sempurna kepalanya.
“Nah kalau Bogem ini, istimewanya ada gendel (sisa kulup yang ditimpal) tapi sedikit. Kalau bersih sekali kan pas ereksi narik, agak sakit jadinya,” ujarnya bangga.
Ciri khas itu terus dipertahankan Bogem dari generasi ke generasi. Menjadi kepercayaan banyak orang dari berbagai daerah untuk melakukan prosesi sakral ini. Jika ingin sunat di Bogem, Anda perlu merogoh kocek sekitar Rp750 ribu. Jumlah itu tentu sepadan dengan rekam jejak dan kepercayaan yang sudah dibangun Bogem dari masa ke masa.
Oiya, jika sunat di sini, Anda juga boleh membawa potongan kulup ke rumah. Bogem akan membungkuskan dengan rapi, menuliskan nama dan asalnya, lalu dibungkus wadah khusus.
“Kami sebenarnya tidak menganjurkan untuk dibawa. Tapi kalau minta ya boleh-boleh saja,” kata Bardo sambil menunjukkan wadah potongan yang siap dibawa pulang ke Blora oleh keluarga pasien.
Penulis: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono