Jejak Makam yang “Berceceran” di Gang-gang Kampung Peneleh Surabaya

Makam-makam di Kampung Peneleh Surabaya. MOJOK.CO

ilustrasi - makam-makam di Kampung Peneleh Surabaya. (Mojok.co/Ega Fansuri)

Kampung Peneleh di Kota Surabaya menyimpan ciri khas tersendiri sebagai kawasan bersejarah. Kawasan itu terkenal dengan tempat lahirnya para tokoh seperti H.O.S Tjokroaminoto, Roeslan Abdul Gani, dan tempat Bung Karno menghabiskan masa kecilnya.  

Tak hanya itu, Kampung Peneleh juga menyimpan keunikan yang jarang dijumpai di tempat lain. Yakni makam-makam yang berceceran di tengah gang kampung. Makam itu masih dirawat hingga sekarang. 

Sebagai warga asli Peneleh, saya sudah tidak kaget dengan makam-makam tersebut. Malah menganggap sebagai hal yang wajar. Baik dulu maupun sekarang, warga masih bisa hidup berdampingan dengan makam.

Saya pun penasaran, kenapa pusara itu tidak dibongkar saja? 

Bagi saya pusara itu cukup mengganggu karena ada yang melintang di tengah jalan. Jarak satu gang saja, saya sudah bisa menjumpai tiga makam yang terpisah dan tak jauh jaraknya. Bahkan saya menjumpai salah satu rumah, di mana dapurnya terdapat makam.

Rasa penasaran itu kemudian membawa saya ke Achmad Dahlan Ali (58), seorang sesepuh di sana. Saya juga mewawancarai Ketua RW 4 Peneleh Windrianto.

Kampung Peneleh Surabaya memang pemukiman sejak dulu

Dahlan tak seberapa tahu sejarah Kampung Peneleh. Yang jelas dia sudah tinggal di sana sejak tahun 1976. Dia mengklaim kampung itu sudah berbentuk pemukiman dan bukan tempat pemakaman yang kemudian berubah menjadi kampung.

Achmad Dahlan Ali, sesepuh di Kampung Peneleh Surabaya. (Aisyah Amira Wakang/Mojok.co)

“Sebenarnya bukan tempat makam. Ya ada hunian rumah. Para sahabat wali yang dari Ampel Denta itu sudah dikubur di sini. Mungkin ya, mereka punya tanah masih luas. Ya sudah dikebumikan di tempat itu juga,” jelas Dahlan.

Saat remaja dia pernah tinggal di Peneleh gang 9, rumah ayah dan ibunya. Namun, revolusi tahun 1945 mengakibatkan keluarganya harus terpisah. Mereka harus mengungsi dan menyebar ke kota lain.

November tahun 1956, keluarga Dahlan kembali pulang ke tempat asalnya. Setelah itu, dia menikah. Ibunya memberikan warisan atau sertifikat tanah eigendom kepadanya di Peneleh gang 11. Eigendom adalah hak milik mutlak kepemilikan tanah menggunakan hukum zaman Kolonial Belanda. 

Mempertahankan makam di Kampung Peneleh agar tak kena sial

Setiap pergantian pemimpin atau RT/RW di Kampung Peneleh, wacana untuk membongkar makam sudah banyak beredar. Namun, Dahlan termasuk orang yang keukeuh mempertahankan makam tersebut. Meskipun dia sendiri tidak tahu kejelasan makam itu milik siapa.

Menurutnya, warga kampung tetap harus menghormati orang yang sudah meninggal. Sebagai manusia, masyarakat tidak bisa sampai hati untuk meratakan atau membumihanguskan. Justru karena ketidaktahuan itu, makam harus dijaga agar tidak kena sial.

“Kalau memang orang-orang yang ngerti Islam, ya harus menghargai. Bukan berarti itu syirik, dipuja,” jelas Dahlan.

Makam di Kampung Peneleh Surabaya gang 1. (Aisyah Amira Wakang/Mojok.co)

“Kalau memang dibumihanguskan, ya ada cara-cara ritual, ya diambil secara Islami lah. Diambil tulangnya terus dipindahkan itu nggak papa,” lanjutnya.

Dahlan dan Ketua RT/RW akhirnya sepakat untuk mempertahankan makam, sekaligus mengawasi agar tidak dijadikan tempat syirik. Makam itu mendapatkan perawatan setiap tahun. Misalnya dengan memberikan batok, keramik, dan dicat. 

Bahkan ada salah satu makam yang diberi pagar di tengah pemukiman. Sejumlah pegiat sejarah memang sering meneliti Kampung Peneleh. 

Dahlan mengatakan para peneliti mengklaim bahwa makam itu milik Nyai Rokaya Cempo. Nyai yang masih berkerabat dengan Sunan Ampel. Oleh karena itu, diberi pagar oleh masyarakat sekitar.

Budaya menghormati makam mulai luntur

Akhir-akhir ini, Dahlan merasa resah karena perilaku anak-anak zaman sekarang berbeda dengan dulu. Semasa kecil, Dahlan dan teman-temannya sering melewati makam dengan mengucapkan salam. 

“Dulu pas kecil ketika saya dan teman-teman pergi ke langgar untuk mengaji di sore hari, saya selalu bilang ‘Assalamu’alaikum, ya ahli kubur,’” ucapnya.

Ketika ada hajatan yang diselenggarakan oleh warga kampung seperti sunatan, pernikahan, selametan, mereka akan ziarah dulu ke makam-makam yang ada di gang kampung. Namun, semakin ke sini budaya itu mulai ditinggalkan.

Makam di Kampung Peneleh Surabaya yang melintang. (Aisyah Amira Wakang/Mojok.co)

Para orang tua, kata Dahlan, lebih memprioritaskan pendidikan formal. Sudah jauh dari pendidikan spiritual. Dia sudah jarang mendengar antusias anak-anak mengaji saat sore, tapi justru sibuk bermain dengan gawainya.

Cerita mistis di Kampung Peneleh Surabaya

Kampung Peneleh khususnya gang daerah rumah saya memang terlihat horor saat malam. Jika dibandingkan dengan gang-gang lain, gang rumah saya termasuk yang paling sepi.

Menurut cerita Windrianto, pernah ada pedagang tahu tek yang sering jualan lewat gang Peneleh. Saat dini hari, sekitar pukul 01.30. Win tidak sengaja bertemu dengan pedagang tersebut. 

Saat itu, Win melihat rombong pedagang tahu tek tersebut menyenggol salah satu pusara makam. Dia pun mengingatkan pedagang untuk berhati-hati dan meminta maaf ke pusara tersebut.

Makam Nyai Cempo. (Aisyah Amira Wakang/Mojok.co)

“Saya panggil ‘Mas, ayo minta maaf. Percaya tidak percaya.’ nah orangnya menjawab ‘sudah, Bapak ini kayak apa saja, begini kok diberikan maaf.’ Bahasanya orang itu gitu. Kira-kira 10 meter, rombongnya meledak terbakar,” cerita Win.

Selain pedagang yang dianggapnya terkena bala, ada juga tamu dari luar yang bisa melihat sosok halus di Kampung Peneleh. Tamu itu adalah teman perempuan dari anaknya. Kata anak perempuan itu, ada yang mengikuti dirinya di siang bolong.

Kini, Kampung Peneleh Surabaya sudah menjadi tempat wisata bersejarah untuk penduduk lokal maupun mancanegara.

Penulis: Aisyah Amira Wakang

Editor: Ahmad Effendi

BACA JUGA: Pengakuan Penjaga Makam Belanda Peneleh dan Jin Berambut Gimbal yang Bersayap

Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News

Exit mobile version