MOJOK.CO – Dulu, Iksan Skuter mengira Jakarta adalah solusi dalam karier bermusiknya. Pandangannya berubah. Ia kembali ke Malang dan membuktikan ke dirinya sendiri bahwa bermusik bisa di mana saja.
“Saya pernah di fase itu, yang mengira Jakarta adalah solusi. Ternyata sampai sana engga juga,” kata Iksan dalam wawancara dengan Putcast di kanal YouTube Mojokdotco.
Delapan tahun Iksan merantau di ibu kota berakhir dengan pulang ke Malang di awal tahun 2014. Nasib baik menghampiri setelahnya, untung saja ia tidak merealisasikan niatnya “gantung gitar” saat itu. Melihat kembali ke belakang, Iksan Skuter menyadari karir bermusiknya memang penuh dengan rentetan kejutan.
Di Jakarta, memulai bersama band berujung sebagai solois
Perjalanannya di Jakarta diawali bersama Band Putih sebagai gitaris. Grup bandnya cukup menjanjikan hingga masuk dapur rekaman dan merilis tiga album. Akan tetapi, masing-masing personil mengalami syok industri musik profesional. Bermusik tidak sesederhana tampil di panggung dan membuat penonton senang.
“Kami menghadapi sistem yang cukup kompleks,” jelas dia.
Setelah menyelesaikan kontrak selama lima tahun dengan salah satu label, satu per satu personel mulai mlipir. Hingga saat ini, tidak ada pernyataan yang benar-benar menyatakan Band Putih bubar.
Band tidak berlanjut, Iksan kemudian memutuskan bersolo karir di tahun 2012. Di saat itulah “Seniman Kurang Terkenal” atau Skuter menempel sebagai nama belakangnya. Di samping ia memang pernah memiliki kendaraan scooter atau vespa.
Album perdana Iksan Skuter sebagai solois ia luncurkan di Pejaten, Pasar Minggu. Walau gagal, ia tetap menjajal membuat album baru di tahun 2013 yang ternyata tidak berhasil lagi. Tahun-tahun itu, musik folk yang tematik memang belum memiliki banyak penggemar.
Perjalanannya di Jakarta memang tidak mudah. Demi bertahan hidup, Iksan Skuter sempat mencoba melamar berbagai pekerjaan dengan mengandalkan curriculum vitae yang ia susun. Iksan juga pernah melamar menjadi kru Band Wali, tetapi ditolak.
Iksan sempat terpikir untuk mengakhiri karir sebagai musisi alias “gantung gitar”. Niatan itu urung ia wujudkan karena sang istri tidak mengizinkan. Selain itu ia menyadari, di saat-saat tersulit, rezeki di bidang musiklah yang selalu menolongnya.
Malang melahirkannya sebagai musisi
Setelah kurang lebih delapan tahun menjadi musisi ibu kota, di awal 2014 ia kembali ke Malang. Hidup yang kian berat kian berat saat ia kehilangan sepeda motor. Peristiwa itu semakin membulatkan tekadnya untuk pulang. Di momentum kehilangan itu Iksan merasa ia tidak cocok lagi di Jakarta.
Tidak lantas berhasil, baru di album keenam Iksan merasakan ada harapan lagi dari bermusik.
Ia mulai menerima undangan untuk tampil di kampus-kampus, bahkan di pentas seni (pensi) acara anak SMA. Pulang ke Malang menyadarkannya, masing-masing daerah idealnya memiliki seniman yang lahir dan beraktivitas kesenian di sana. Musisi tidak melulu musti ke Jakarta.
Secara lahiriah, Iksan Skuter memang berasal dari Blora. Akan tetapi, Malang lah yang melahirkannya sebagai musisi. Tidak heran jika ia kemudian memilih pulang ke kota yang telah memberanikannya mengambil jalan hidup sebagai musisi.
Ketika dahulu ia tinggal di Malang, Iksan aktif berkegiatan di unit kegiatan mahasiswa musik di universitas. Dari situ ia menjajal bermacam-macam alat musik, salah satunya gitar listrik. Tentu saja Iksan girang, mengingat selama di Blora ia hanya menjajal gitar yang digilir dari RT ke RT.
Dari situ pengalamannya bertemu banyak musisi dan bermusik terbuka lebar. Ia sempat tampil di kafe-kafe membawakan lagu-lagu musisi lain. Hingga di suatu titik, karena bosan menyanyikan lagu orang lain, terbentuklah grup musik yang membawakan lagu-lagunya sendiri.
Miripnya nasib petani dan musisi
Pengalaman-pengalaman itu menggiringnya pada pemahaman, bahwa memungkinkan bertahan hidup dari musik. Suatu hal yang sulit ia bayangkan ketika masih berada di Blora. Selain orang tua yang tidak mendukung, Iksan melihat secara geografis dan sosiologis sulit iklim bermusik tumbuh di daerahnya. Bahkan di saat ia kecil, satu-satunya akses ke alat musik berasal dari gitar temannya.
“Yang punya gitar bahkan ngga memegang gitarnya karena selalu digilir dari RT ke RT,” kenang dia. Pada saat itu, ia hanya menyaksikan senior yang lebih jago memainkan gitar. Walau hanya mengamati, Iksan mengaku punya insting lebih, sehingga ketika mencoba ia bisa memainkannya.
Asal muasal Iksan yang dari desa terbawa dalam lagu-lagu yang ia ciptakan. Lagu Petani misal, tidak jauh dari kehidupan masa kecilnya yang tak lepas dari sawah. Pengalaman menyaksikan para petani yang hidup ideal, berbeda dengan saat ini, juga terbawa dalam lirik lagu tersebut.
“Saya angkat kegelisahan pribadi, tidak ingin terlihat politis sebenarnya, dari bawah sadar dan pengamatan pribadi,” jelas Iksan Skuter. .
Apalagi, ia merasa ada kemiripan antara nasib musisi dan petani. Produknya dikonsumsi ataupun diakses hampir setiap saat, akan tetapi dalam kacamata sosial, musisi dan petani dianggap tidak ada perannya. Selain itu, penghargaan masyarakat yang sama-sama minim.
Itu baru Lagu Petani, karya Iksan Skuter yang lain juga menyimpan cerita dan pengalaman yang berkesan di baliknya. Penampilan Iksan menyanyikan lagu-lagunya dapat kalian saksikan di Festival Mojok (Fesmo) 2022 tanggal 28 Agustus 2022 mendatang. Klik di sini untuk mendapat tiketnya.
Kisah lengkap Iksan Skuter bisa disaksikan di tayangan YouTube Mojok berikut ini.
Sumber: Youtube Mojokdotco
Penulis: Kenia Intan