MOJOK.CO – Jaring Kesehatan Nasional dinilai belum efektif dalam memenuhi prinsip Universal Health Coverage (UHC). Masih terjadi kelemahan validasi data peserta yang membuka peluang praktik pemalsuan data bagi Penerima Bantuan Iuran (PBI) BPJS Kesehatan.
Hal itu mengemuka dalam hasil riset dari International NGO Forum on Indonesia Development (INFID) terkait JKN dan riset tentang penguatan sistem kesehatan di Indonesia pasca-pandemi Covid-19.
“BPJS Kesehatan perlu menentukan formula terbaik dalam menentukan pembayaran iuran, khususnya dari sektor pemberi kerja. BPJS misalnya perlu melakukan koordinasi dengan pemerintah (kementerian lembaga terkait) untuk memberikan peringatan/sanksi bagi perusahaan-perusahaan yang melanggar. Selain itu BPJS perlu melakukan pengawasan berkala regional pada saat dan untuk re-credentialing, khususnya bagi faskes yang potensi melakukan fraud,” kata peneliti riset INFID, Ari Wibowo, dalam siaran pers yang diterima Mojok.co.
Bona Tua, Senior Program Officer SDGs INFID mengatakan, dana abadi iuran bagi peserta PBI diperlukan untuk mencapai cakupan peserta JKN BPJS Kesehatan. Dana ini bisa melalui optimalisasi sin tax, Silpa atau alokasi khusus APBN untuk Sovereign Wealth Fund. “Dana abadi yang dipupuk ditujukan untuk jaminan iuran untuk UHC, bukan untuk peningkatan kualitas atau perluasan layanan kesehatan BPJS kesehatan,” katanya.
Riset juga menemukan, penanganan dan sistem kesehatan di era Covid-19 tidak berjalan secara efektif saat pencegahan (testing, tracing, dan tracking) dan penanganan lonjakan kasus. Riset menemukan Puskesmas sebagai Fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) belum berfungsi optimal khususnya dalam upaya promotif-preventif, sehingga memberi beban berlebih terhadap Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL).
Selain itu sistem kesehatan belum mampu merespon health seeking behavior, dimana warga cenderung melakukan perawatan di rumah. Hal ini dibuktikan dari tingginya angka korban meninggal Covid-19 yang berada di rumah, yaitu mencapai 80%.
Hal yang perlu diapresiasi adalah peringkat Indonesia dalam UHC antar ASEAN menurut WHO, yaitu Indonesia (skor 92) berada di atas Thailand (83) dan Malaysia (77). Namun, demikian, Indonesia (48,7) masih jauh dibawah Thailand (71,6) dan Malaysia (66,6) berdasarkan UHC perhitungan efektivitas belanja per kapita terhadap pengeluaran kesehatan (UHC IHME).
Praktek baik di Filipina dapat diadopsi untuk tata kelola JKN Indonesia, yaitu di Filipina hanya diidentifikasi dua kelompok peserta JKN, yaitu pekerja formal dan penduduk miskin.
Menanggapi paparan riset, Brian Sri Prahastuti dari Kantor Staf Presiden menilai cara mengkaji penelitian sangat menarik karena sudah melakukan komparasi antar negara. “Harus dilihat juga perbandingan manfaat JKN di masing-masing negara tersebut, apakah sama dengan manfaat di sistem JKN kita. Hal ini, karena sejauh ini kita belum mengatur dari sisi manfaat. Masih ada kecenderungan bahwa manfaat ini unlimited. Contohnya untuk korban Kekerasan Seksual, maunya juga ditanggung oleh BPJS. Saya juga ingin tahu, di negara-negara lain itu sifatnya unlimited atau limited.”.
Brian Sri Prahastuti melanjutkan dengan menanggapi skema pendanaan JKN BPJS Kesehatan di luar hasil iuran atau premi peserta. “Contoh co-funding yang sudah pasti berjalan adalah jaminan persalinan (jampersal). Dananya bukan dari hasil premi atau iuran. Dimungkinkan juga untuk diimplementasikan ke program nasional lain seperti penanggulangan tuberkulosis, HIV dan lainnya,” katanya.
Timboel Siregar dari BPJS Watch menyatakan riset ini dapat menjadi masukan atau bagian dari naskah akademik untuk pemerintah, khususnya dalam merevisi Perpres 64 dan Perpres 82/2018. Ia juga memandang bahwa kepesertaan menjadi salah satu core dalam problem BPJS.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Agung Purwandono