MOJOK.CO – Kasus bunuh diri akhir-akhir ini banyak terjadi di Jogja. Berhubungan dengan generasi stroberi?
Belakangan, kasus bunuh diri sedang banyak terjadi di Yogyakarta. Jika memantau akun X @merapi_uncover, dalam dua pekan terakhir saja sudah ada empat kasus yang menimpa warga kota gudeg.
Menurut Guru Besar Fakultas Psikologi UGM Koentjoro, pola asuh orang tua yang telah menciptakan “generasi stroberi” adalah salah satu penyebabnya.
“Saya kira, kelihatannya kita harus waspada bahwa orang tua pada zaman perubahan sekarang ini telah menciptakan apa yang dinamakan ‘generasi stroberi’,” kata Koentjoro kepada wartawan, dikutip Selasa (10/10/2023).
Lantas, apa yang dimaksud dengan ‘generasi stroberi’?
Generasi yang dianggap lembek
Strawberry generation atau generasi stroberi adalah generasi muda yang kreatif dan memiliki banyak ide cemerlang, tapi mudah hancur ketika mendapat tekanan sosial.Â
Mereka, banyak diklaim jadi kelompok sosial yang tidak mau bekerja keras karena menyerah dengan tekanan yang ada.
Jika merujuk asal katanya, generasi stroberi merupakan neologisme bahasa Tionghoa untuk orang Taiwan yang lahir setelah 1990. Mereka dianalogikan sebagai stroberi yang gampang mengerut karena tak dapat menghadapi tekanan sosial atau kerja keras seperti generasi orang tua mereka.Â
Alhasil, mereka dianggap menjadi manja, penyendiri, arogan, dan malas kerja.
Istilah tersebut akhirnya berkembang dari sudut pandang bahwa para anggota generasi ini dibesarkan dengan orang tua terlalu melindungi mereka. Dan dalam sebuah lingkungan yang mapan secara ekonomi. Sehingga, banyak yang menganggap mereka jadi lembek.
Perlakuan tersebut selayaknya bagaimana stroberi tumbuh di rumah kaca yang terlindungi dan dihargai lebih tinggi ketimbang buah-buahan lainnya.
Orang tua banyak membentuk generasi stroberi
Terkait maraknya kasus bunuh diri di Yogyakarta, Koentjoro menilai bahwa kebanyakan orang tua hari ini mendidik anak dengan perintah dan memarahi, tapi tidak pernah memuji.Â
Akibatnya, anak bergaul dengan dirinya sendiri. Dia pun jarang berbaur dengan lingkungannya. Faktor tidak adanya teman juga menyebabkan seseorang mudah melakukan bunuh diri.Â
Hal ini makin parah jika anak tersebut punya kepribadian yang introvert, sehingga tidak pernah atau tidak bisa mengungkapkan isi pikiran dan perasaannya pada orang lain.Â
“Orang tua isinya perintah dan memarahi tidak pernah memuji. Akibatnya anak bergaul dengan dirinya sendiri jarang dia baur dengan lingkungannya, hanya tertentu saja,” ucapnya.
“Pada waktu menyendiri itu, dalam bahasa psikologi tadi, dia sedang terkena ‘obsesif kompulsif’, selalu mencari celah mencari kesempatan untuk bunuh diri,” sambung Koentjoro.
Lebih lanjut, saat ini para orang tua juga cenderung mengajarkan anaknya tentang angka numerik dan logika. Tapi tidak pernah diajarkan rasional. Oleh karena itu, lanjut Koentjoro, peran pendidikan orang tua menjadi sangat penting untuk mencegah seorang anak melakukan bunuh diri. Orang tua dinilai perlu mengajarkan anaknya tentang rasa dan intuisi.Â
Dalam momentum peringatan Hari Kesehatan Mental Sedunia pada 10 Oktober 2023, sangat miris melihat fakta bahwa angka bunuh diri di Indonesia masih cukup tinggi.
Melansir laman Goodstats, per Januari hingga Juli 2023 saja sudah ada sekitar 663 kasus bunuh diri. Artinya, ini meningkat 36,4 persen sejak periode 2021 lalu. Jawa Tengah dan DI Yogyakarta, menjadi provinsi yang secara angka masuk ke dalam lima besar tertinggi.
Informasi berikut ini tidak ditujukan untuk menginspirasi siapa pun untuk melakukan tindakan serupa. Bila Anda merasakan gejala depresi dengan kecenderungan berupa pemikiran untuk bunuh diri, segera konsultasikan persoalan Anda ke pihak-pihak yang dapat membantu, seperti psikolog, psikiater, ataupun klinik kesehatan mental.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Kronologi Mahasiswi Baru UMY Bunuh Diri
Cek berita dan artikel lainnya di Google News