MOJOK.CO – Tragedi Kanjuruhan sudah menelan 125 korban jiwa sejauh ini. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mengungkap, ada 17 anak yang dinyatakan meninggal dunia dan 7 anak luka-luka. Angka-angka itu kemungkinan masih bisa bertambah.
Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA, Nahar menjelaskan, pihaknya masih melacak data anak-anak yang menjadi korban. Sejauh ini, kebanyakan anak yang menjadi korban berusia sekitar 12 tahun hingga 17 tahun. Pihaknya juga akan terus memastikan jumlah anak yang meninggal serta mengalami luka-luka yang memerlukan perawatan fisik dan psikis lanjutan.
Kepala Divisi Pengawasan dan Monitoring Evaluasi Komisi Perlindungan Anak indonesia (KPAI) Jasra Putra dalam keterangan persnya mengungkapkan, memang banyak anak-anak di tengah masa yang tidak terkendali Sabtu(1/10/2022) malam. Dari video yang diterima KPAI, terlihat orang tua sedang menggandeng maupun menggendong anaknya agar terhindar dari pemukulan, kekerasan, hingga perihnya asap gas air mata ketika mencari akses penyelamatan diri. Jasra menilai, Tragedi Kanjuruhan dapat menimbulkan dampak kejiwaan yang berat bagi anak. Apalagi jika disertai peristiwa kehilangan orang tua atau saudara.
Pemerintah pusat maupun daerah terkait didorong bertanggung jawab terhadap korban jiwa dan luka-luka. Komisioner KPAI Retno Listyarti menambahkan, bentuk pertanggungjawaban dapat berupa rehabilitasi psikis hingga santunan. Rehabilitasi psikis dibutuhkan terutama bagi anak-anak yang masih dirawat di rumah sakit.
Anak-anak yang orang tuanya meninggal dalam tragedi ini juga butuh dukungan negara. “Mereka mendadak menjadi yatim atau bahkan yatim piatu, tulang punggung keluarganya ikut menjadi korban tewas dalam peristiwa ini,” jelas dia, Senin (3/10/2022).
Retno menyebut Tragedi Kanjuruhan merupakan adalah tragedi kemanusiaan. Ia menyoroti penggunaan gas air mata di stadion sepakbola adalah hal yang membahayakan semua orang dalam kerumunan, termasuk anak-anak.
Gas air mata menimbulkan rasa terbakar pada kulit dan rasa perih di mata. Saluran pernapasan juga bisa terganggu berupa berair, batuk, dan rasa tercekik. Saluran pencernaan juga bisa terpengaruh seperti munculnya rasa terbakar di tenggorokan hingga muntah,
“Terlebih bila serbuk gas air mata masuk ke paru-paru maka napas bakal sesak,” imbuh dia.
Ia juga menyoroti pertandingan yang digelar di malam hari menjadikan situasi semakin tidak aman bagi anak-anak. Padahal, sebelumnya sudah ada rekomendasi dari panitia pelaksana agar pertandingan digelar sore hari.
“Membawa anak-anak dalam kerumunan massa sangat berisiko apalagi di malam hari, karena ada kerentanan bagi anak-anak saat berada dalam kerumunan, karena kita tidak bisa memprediksi apa yang akan terjadi dalam kerumunan tersebut,” kata Retno.
Mia Dasmawati atau lebih dikenal dengan nama Mia Beutik, salah satu pentolan suporter Persib Bandung, mengomentari, sudah seharusnya semua stadion memperhatikan penempatan perempuan dan anak yang menyaksikan langsung pertandingan sepakbola.
Ia menceritakan pengalamannya penempatan suporter perempuan dan anak-anak yang berbeda dengan suporter pria. Di Stadion Gelora Bandung Lautan Api jalur masuknya sudah dibedakan. Ketika masuk, pemeriksaannya pun dilakukan oleh polwan.
“Saya tidak tahu di daerah lain seperti apa, tetapi memang sudah seharusnya mendapat perhatian. Saya sempat berbincang dengan seluruh suporter saat menjadi narasumber untuk membahas soal itu,” kata Mia seperti dikutip dari Antara.
Olahraga yang idealnya bisa dinikmati oleh siapa saja dengan berbagai lapisan usia tampaknya memang belum bisa terwujud di Indonesia. KPAI pun merasa penting menghadirkan pertandingan sepakbola yang ramah anak. Ini perlu disertai dengan edukasi, mitigasi dan pengurangan risiko bagi orang tua yang membawa anak di stadion.
Sumber: detik.com, Antara, Kompas.com
Penulis: Kenia Intan