Satu tahun sudah Pak Jokowi memerintah, satu tahun pula usia Pak Prabowo bertambah. Apa kabar kuda-kuda Pak Prabowo? Bagaimana pula cerita dari kodok-kodok Pak Jokowi?
Yoi, Bray, sudah setahun sejak Jokowi memindahkan koleksi kodok-kodoknya ke Istana Negara. Berarti sudah setahun lebih keriuhan pemilu, yang ditengarai sebagai pemilu terlama di dunia ini, berlalu. Bagaimana tidak, lha wong setelah satu tahun dihelat, suasana kampanyenya masih begitu terasa, terutama di media sosial, lebih khusus lagi di dinding fesbuk Abangda Jonru.
Beberapa orang bahkan dengan lebay menyebut bahwa Indonesia 2014 sangat mirip dengan Indonesia 1965. Mendaur ulang kata-kata Mahfud Ikhwan yang juga dikutip Iqbal Aji Daryono ketika membahas soal PKI, “sejak 2014, buat pendukung Jokowi, sejarah dituliskan oleh Jokowi kecuali yang jelek-jelek; sementara buat pendukung Prabowo –atau sederhananya, pengikut Jonru–, sejarah memang ditulis oleh Jokowi, kecuali yang bagus-bagus.”
Usaha apa pun untuk memberi penilaian pada pemerintahan Jokowi, brengseknya, akan terjebak pada dikotomi ini. Memuji prestasi Jokowi dianggap Jokower, mengkritisi kebijakannya dituduh Prabower atau Jonruer. Uniknya, kedua pihak ini kemudian ngeles dengan cara yang sama, dengan mencari sosok idola baru.
Syaratnya ada tiga: presiden, berprestasi warbiyasa, dan bukan orang Indonesia.
Daripada dituduh ini-itu, maka sebaiknya kita semua move-on saja, melupakan Jokowi, dan memikirkan pemilu yang akan datang. Walaupun ada ungkapan yang mengatakan bahwa “negarawan memikirkan generasi berikutnya sementara politikus memikirkan pemilu yang akan datang”, tapi kalau tidak direncanakan dengan matang, Indonesia di tahun 2019 bisa jadi seperti yang ditakutkan orang banyak. Seperti sinetron Tukang Bubur Naik Haji yang sudah tidak ada tukang buburnya, Indonesia 2019 bisa benar-benar menjadi seperti Indonesia 1965, seperti zaman PKI, minus PKI tentu saja. Lha wong sudah lama bubar.
Jadi, saya rangkum lima kandidat capres yang kurang-lebih disukai baik oleh Jokower maupun Prabower atau Jonruer. Lupakan tokoh-tokoh tua seperti Surya Paloh, Aburizal Bakrie, Megawati, atau bahkan Prabowo. Lupakan juga tokoh-tokoh muda penuh harapan seperti Ahok yang rajin nguras sungai-sungai di Jakarta, Ridwan Kamil yang keranjingan bikin taman di Bandung, atau Tri Risma yang suka menanam bunga dan menutup Gang Dolly. Persaingan bintang-bintang politik Indonesia inilah yang justru bisa menggiring kita gagal move-on dari pemilu seperti sekarang.
Dan inilah kelima capres usulan saya, sekaligus idola para pegiat media sosial:
Mas Mahmoud sudah tersohor sebagai aktivis anti-Amerika. Kita bisa menambahkan Yahudi, illuminati, sekularisme, pluralisme, liberalisme, dan sebagainya, tapi satu kata ‘Amerika’ itu saja rasanya sudah mewakili semuanya. Inilah presiden idaman seluruh rakyat Indonesia yang merindukan pemimpin yang tidak mudah didikte oleh asing dan aseng. Di tangannya, saya yakin kontrak kerja Freeport juga akan langsung ditinjau ulang di hari pertamanya menjabat.
Nilai plus lain adalah kesederhanaannya. Siapa yang tidak terpesona dengan kemeja robek dan sepatu bututnya? Alih-alih menyebutnya ndeso atau bikin malu negara, orang menyebutnya sebagai ‘presiden yang asli merakyat’. Kebijakannya yang mengubah pesawat terbang kepresidenan menjadi pesawat kargo, dan hanya mau terbang dengan pesawat kelas ekonomi, juga asli datang dari lubuk hatinya, bukan pencitraan. Tidak mungkin Mas Mahmoud ini mau naik pesawat kepresidenan khusus, sekalipun dengan dalih pesawat tersebut sudah dibeli oleh pendahulunya.
Kekurangan Mas Mahmoud ini cuma satu: Syiah.
Tidak perlu membangkitkan harian Obor Rakyat untuk menyerang Mas Mahmoud sebagai Syiah. Tagar #SyiahbukanIslam pun saya yakin akan nangkring bertahun-tahun sebagai trending topic di media sosial. Tapi menangkal ini gampang kok, bagikan saja foto-foto Mas Mahmoud ketika menunaikan ibadah haji disertai pertanyaan retoris ‘kalau bukan Islam kenapa boleh naik haji?’. Kali ini saya yakin ihramnya tidak akan terbalik.
Di sisi lain, status Syiah-nya justru sangat mungkin mendorong Mas Mahmoud menyelesaikan kemelut pengungsi Syiah di Sampang yang berlarut-larut. Lebih baik lagi kalau bisa merembet menuntaskan kasus GKI Yasmin, menyeret pembunuh Munir dan wartawan Udin, atau sekalian menemukan Wiji Thukul. Soal dukungan partai, saya rasa partai-partai Islam tidak akan berani secara terbuka mendukung beliau, kecuali PKB. Menyokong tokoh kontroversial sepertinya adalah keahlian partai ini, sebut saja nama Muhaimin atau Rhoma Irama yang pernah diajukan sebagai capres, walaupun gak jadi dan mendorong Bang Haji bikin partai sendiri.
Terlepas dari semua itu, fakta bahwa Mas Mahmoud seorang Syiah membuat Abangnda Jonru terpaksa harus memperpanjang masa jabatan kritikus presidennya selama lima tahun lagi.
Kalau ada tokoh Islam yang begitu dielu-elukan di media sosial belakangan ini, maka Erdoganlah orangnya. Nama Bang Tayyip meroket seiring dengan merebaknya sinetron Shehrajat, eh, maksud saya; krisis pengungsi Rohingya dari Myanmar.
Adalah kapal-kapal angkatan laut Turki yang konon dikirim Bang Tayyip ke perairan Aceh untuk menyelamatkan para pengungsi. Sikap yang jauh berbeda dengan yang diambil Moeldoko, jenderal dengan arloji KW itu. Ditambah cucuran air mata sang ibu negara ketika mengunjungi Rohingya, mau tidak mau nama Bang Tayyip semakin harum di mata ikhwan dan akhwat PKS.
Dukungan dari partai-partai Islam saya yakin akan segera digenggam Bang Tayyip seandainya beliau sudi berhenti jadi presiden Turki dan nyapres di sini. Dimotori oleh PKS, partai-partai seperti PPP, PBB, bahkan PAN sekalipun, saya yakin akan segera merapatkan barisan. Tuduhan bahwa Bang Tayyip tidak pro penegakan HAM, hobi memenjarakan orang yang tidak sependapat dengannya, paling-paling hanya akan dinyinyiri oleh para penulis Mojok. Tapi mereka bisa apa, sih?
Lagipula, pasal penghinaan presiden kan dihidupkan lagi oleh Jokowi. Bang Tayyip bisa berlindung di balik pasal tersebut, dan bisa menyalahkan presiden sebelumnya. Persis seperti para pembantu Jokowi yang suka menyebut nama SBY kalau tertimpa masalah.
3. Jose Mujica
Presiden pro-rakyat, merakyat, dan sederhana –nyaris miskin– sepertinya akan tetap menjadi jargon paling laris semua pemilu sampai kiamat. Dan untuk urusan itu, Papa Jose adalah jawaranya.
Mobilnya masih Volkswagen Beetle produksi tahun 1987, tinggal di rumah sederhana berdua bersama istrinya, bahkan mendonasikan 90% gajinya sebagai presiden kepada kaum papa. Benar-benar kandidat capres idola partai wong cilik, PDI-P. Melihat pilihan kendaraan Papa Jose, mobil Esemka bisa kembali naik daun, bukan sekadar jadi kendaraan politik pencitraan.
Papa Jose bisa dijadikan alternatif oleh PDI-P seandainya Jokowi tidak lagi loyal kepada partai. Kalau Jokowi, misalnya, sampai berani mengganti Mbak Puan sebagai Menko. Kendalanya cuma satu, Papa Jose sudah terlalu uzur, umurnya sudah 80. Tapi jangan khawatir, PDI-P juga sudah lama tidak mengganti ketua partai, yang menjadikan Megawati sebagai ketua partai tertua di Indonesia. Makin tua makin putih moncongnya, mungkin ini bisa dipertimbangkan jadi jargon baru PDI-P.
Nilai tambah Papa Jose, mungkin, adalah sikap antinya pada rokok dan tembakau. Tidak tanggung-tanggung, Papa Jose yang mantan perokok ini pernah menyebut bahwa tembakau adalah pembunuh dan peredarannya harus dikontrol. Sikapnya ini bisa menarik simpati para pegiat antirokok di negeri ini, selain mencegah dosa tak termaafkan Menteri Sosial Khofifah yang membagikan rokok kepada Suku Anak Dalam terulang kembali.
Tapi, ya itu, Papa Jose harus siap berhadapan dengan Pemimpin Besar Jokower Cabang Australia: Iqbal Aji Daryono.
Bintang lain yang tidak boleh tidak disebut adalah Kamerad Vladimir Vladimirovich Putin.
Nama Abang Putin baru-baru ini meroket setelah memborbardir ISIS di Suriah, hal yang tidak bisa dilakukan Obama Si Anak Menteng. Imej Abang Putin yang macho, ditambah latar belakangnya sebagai mantan agen KGB dengan pangkat terakhir letnan kolonel, akan mampu mewadahi aspirasi sebagian masyarakat kita yang belum bisa move-on dari pengandaian bahwa negara yang baik adalah negara yang sekaku barisan tentara.
Abang Putin adalah pengejawantahan dari jargon ‘kepemimpinan adalah ketegasan tanpa ragu’. Itu pengusaha sawit yang membakar hutan dan bikin kabut asap tiap tahun bisa kalang kabut kalau sampai Abang Putin meninjau langsung lokasi kebakaran tanpa masker sambil menunggangi beruang.
Abang Putin adalah macan yang lebih macan daripada Pak Prabowo dan akan membuat macan Asia kembali mengaum. Bahkan kambing pun bisa dibuatnya mengaum. Dengan begitu, mudah ditebak kalau Abang Putin akan langsung didukung oleh partai-partai mantan jenderal seperti Gerindra, Demokrat, PKPI, dan Hanura. Sekaligus mempersatukan pensiunan-pensiunan jenderal yang tercerai-berai itu pasca pemilu 2014.
Satu hal yang pasti, Abang Putin bisa mengajari Pak Prabowo cara naik kuda yang baik dan benar untuk lebih memancarkan aura maskulin (dengan telanjang dada, Pak Prab, bukan dengan seragam paskibra).
Satu-satunya hal yang mungkin bisa mengganjal Bang Putin adalah isu komunisme, entah itu sebagai agen, simpatisan, atau sekadar keturunan komunis. Mungkin Musso atau Alimin pernah kepincut cewek Rusia sebelumnya, kita tidak tahu. Tapi Bang Putin bisa membela diri kalau komunisme di Rusia sudah bangkrut, bahkan bendera Rusia sudah gak ada palu aritnya. Bendera Rusia sekarang cuma tiga warna: putih, biru, dan merah. (Lah, kok malah kayak Belanda?)
5. Donald Trump
Tidak sah rasanya kalau tidak menyebut nama Donald John Trump. Tuan Trump sudah didekati dari jauh-jauh hari oleh pejabat teras Partai Golkar, Setya Novanto. Bahkan Setya berani menjanjikan bahwa Tuan Trump disukai di Indonesia. Bukan sekadar disukai, tapi ‘highly’ disukai.
Walaupun Golkar sudah punya tradisi konvensi untuk menentukan ketua partai atau capresnya, tapi saya rasa ini bukan perkara sulit buat Tuan Trump. Hal ini bisa dilihat dari bagaimana Setya yang melingkari tangannya dengan arloji seharga 2 M saja bisa dibuat manggut-manggut di hadapan Tuan Trump. Aburizal Bakrie atau Jusuf Kalla jelas bukan tandingan Tuan Trump, apatah lagi Surya Paloh yang kalah melulu di konvensi. .
Keuntungan lain kalau Tuan Trump berhasil digaet Golkar adalah kemungkinan hijrahnya pentolan Partai Gerindra, Fadli Zon, ke Golkar. Ini bukan main-main. Fadli Zon adalah tokoh yang dikenal mampu meramal arah angin masa depan perpolitikan Indonesia. Sungguh sebuah keberuntungan bagi Golkar kalau sampai Fadli Zon benar-benar hijrah dari Gerindra.
Dengan Tuan Trump, rupiah pasti bisa lebih kuat terhadap dolar. Nilai tukarnya bisa stabil dan gak bikin kebat-kebit pebisnis nasional. Malah bisa meroket kalau semua bisnis Tuan Trump dijalankan menggunakan rupiah. Tidak perlu nunggu sampai Oktober. Dan tanpa adanya imigran hispanik di sini, ini bisa jadi win-win solution baik bagi Golkar maupun Tuan Trump. Yang satu butuh figur kuat untuk dicapreskan, satu lagi butuh partai buat nyapres.
Tapi bagaimana dengan sikap Tuan Trump yang disebut-sebut anti-Islam?
Tenang saja, kan masih ada Abangnda Jonru, penulis fenomenal, maskot Mojok, sekaligus pembela Islam garda terdepan.