Lewat akun fesbuknya, Arman Dhani menulis status–semacam kritik tersamar–kepada HMI terkait jiwa korsa kader-kader mereka. Secara implisit Dhani menyebut, kader-kader HMI lebih sering bangkit bukan sebab keberpihakan pada minoritas tetapi sebab perintah kanda dan abangda.
Dengan maqom selebtwatnya, status Dhani tadi mestinya mencapai 1000 likes, meski angka tersebut tak mencapai 0,0004 % dari jumlah likes dan share status nasehat Tere Liye kepada para anak-anak gadis. Tapi tak apalah. Saya pun terhegemoni juga untuk ikut memikirkan keresahan Dhani.
Saya ingat sebuah cerita. Dalam kongres HMI tahun 1995 di Surabaya, HMI melalui Komisi Ekstern merekomendasikan dibentuknya sebuah lembaga independen tempat bagi pelaporan kekayaan pejabat–semacam embrio KPK. Rekomendasi itu dirumuskan oleh HMI Badko Jateng dan diusulkan ke SC Kongres, hingga kemudian masuk draft rekomendasi Kongres dan gol di paripurna.
Ketika itu, Kompas, Suara Pembangunan, Jawa Pos, MI, Republika, Jakarta Post, mengangkat usul HMI dalam tajuk rencana atau editorial mereka. Koran-koran itu mengapresiasi dan mendukung usul HMI.
Sayangnya cerita tersebut tidak pernah diarsipkan, sebab budaya arsip organisasi yang banyak mencetak kader besi karatan ini–meminjam istilah Cak Nur pada HUT ke 50 HMI–memang buruk. Sayang pula, catatan sejarawan HMI, Agus Salim Sitompul hingga Azyumardi Azra, juga kebanyakan hanya monumen pikiran-pikiran Nurcholis Madjid dan belum sempat merangkum daftar alumni-alumni koruptor.
Hal ini cukup ironis. Sebab PKI saja, partai yang dianggap begitu berbahaya hingga arwahnya pun ditakuti hingga hari ini itu, memiliki budaya literer dan pengarsipan yang jauh lebih baik. Tak percaya? Silakan pergi ke Sewon, Mbantul, dan minta datanya langsung ke Gus Muhidin M Dahlan.
Tapi pertanyaan mengenai “apakah ada peran HMI dalam kelahiran embrio KPK” hanyalah nostalgia yang tidak banyak manfaatnya dalam mengurai persoalan saat ini. Saya cuma mau sedikit ngomong, bahwa organisasi ini toh juga punya tradisi intelektual yang lebih lumayan, setidaknya dibanding organisasi yang memperjuangkan khilafah dengan kampanye poligami.
Hanya saja, lebih baik Anda tak perlu mempertanyakan hal lain seperti, misalnya, mengapa dulu pergerakan mahasiswa kerap menjadi media darling sementara sekarang tidak lagi. Saking putus asanya demi mendapatkan liputan ekslusif dari media, para mahasiswa sering caper dengan melakukan aksi vandalisme setiap demonstrasi.
Mungkin mereka berpikir, kalau demonya cuma berdiri, orasi, damai-damaian macam Aksi Kamisan di depan Istana Negara yang sudah digelar ratusan kali itu, media bakal ogah meliput dan pemerintah tak akan resah. Sungguh sebuah pemikiran yang ultra-tolol jika betul demikian. Meski begitu, saya kira hiburan menjijikkan itu lebih baik dibiarkan saja.
Saya justru lebih tertarik untuk menjawab pertanyaan Dhani tentang di mana posisi mahasiswa saat kaum minoritas seperti Ahmadiyah, Syiah, Gafatar dan para penyintas 65 dikebiri haknya?
Di mana mahasiswa ketika nelayan Teluk Banoa menolak reklamasi, ibu-ibu Rembang memasung kaki di depan istana, atau saat petani di Urut Sewu, Takalar, Batang, mati-matian menghadapi korporasi dan centeng-centengnya?
Mari kita tengok sepenggal kejadian pada akhir 2014, tepatnya sepanjang Agustus, September, Oktober, November.
Kala itu, kita baru saja lepas dari sejarah pemilu paling riuh dan melelahkan sepanjang zaman yang diakhiri terbitnya maklumat dari Iqbal Aji Daryono berjudul “Surat Terbuka untuk Pemilih Jokowi Sedunia”. Jokowi dilantik, dan ia langsung mengeluarkan kebijakan cabut-celup-cabut lagi untuk subsidi BBM. Sepanjang bulan itu, wacana perdebatan riuh.
Tetapi yang paling saya ingat adalah ketika pada 23 November 2014, Mata Najwa mendatangkan Jokowi dan seorang mahasiswa Universitas Merdeka Madiun bernama Tori Andromeda dalam acaranya. Tori pun berkesempatan mewancarai Jokowi secara singkat terkait kenaikan harga BBM.
Kira-kira, begini transkrip dialog itu.
Tori: Apa yang menyebabkan Pemerintah akhirnya menaikkan harga BBM pada saat harga minyak dunia justru turun?
Jokowi: Anggaran Subsidi BBM itu terlalu besar. Tahun depan mencapai 700 trililyun. Subsidi BBM ini 72% dinikmati oleh orang yang memakai mobil plus motor. Kurang lebih 10% saja masuk ke yang kurang mampu. Subsidi akan dialihkan dari sektor konsumtif ke sektor produktif.
Dialog basa-basi itu kemudian tiba-tiba diakhiri dengan pertanyaan jayus khas infotainment semacam “Apakah Bapak tidak takut popularitas Bapak menurun?”, “Apa Pak Jokowi masih suka Metallica?”, atau “Seberapa besar musik mempengaruhi Bapak Presiden hingga jadi seperti sekarang?”.
Di akhir acara, dagelan itu ditutup oleh Najwa Shihab yang berucap: ”Hebat ya mahasiswa kita berani bertanya langsung kepada Bapak Jokowi.”
Elaaaaah. Mbak Najwa, mahasiswa zaman dulu itu mulai dari nyulik Soekarno sampai berkorban nyawa di Peristiwa Trisakti aja berani. Dipenjara minimal 6 bulan dengan wajib lapor tiap hari ke kejaksaan selama setahun juga hal biasa agar idealismenya tak terbeli. Mosok nyali begitu disamakan dengan mahasiswa katrok yang baca pertanyaan skenario di depan sorot kamera?
Kejadian esok harinya (24/11/2014) lebih buruk lagi. Mulanya tersiar kabar organisasi pergerakan mahasiswa se-Indonesia janjian buat aksi menolak pencabutan subsidi BBM. Tiba-tiba saja, beberapa BEM di kampus negeri, termasuk salah satunya kampus yang melahirkan Soe Hok Gie, mendadak batal aksi.
Ketika ditanya alasannya, mereka menjawab dengan penuh kebanggaan: “Kami ikut sikap Mata Najwa.”
Modyar!
Setahu saya sih, apapun hitung-hitungan negara dalam setiap isu pencabutan BBM, posisi mahasiswa akan selalu jelas: Menolak! Termasuk apapun kibul-kibulan Ahok soal reklamasi dan tata kota, jika posisi kita mahasiswa, selamanya penggusuran itu salah. Tapi, perempuan cerdas plus ayu macam Najwa memang kadang bikin kita khilaf. Yah apa daya…
Tapi, ah, apa pentingnya sih mengorganisir di zaman sekarang ini? Capek, enggak dapet hepeng kalo lurus-lurus aja, belum lagi kalau dapet tuduhan dari Goenawan Mohamad cuma manfaatin sub-altern. Ditambah, kalau nggak ikhlas beneran, ya jadi kayak senior-senior organisasi yang akhirnya manfaatin bocah-bocah lugu buat bubar-bubarin acara publik itu. Susah, kan?
Sekarang itu zamannya melakukan perubahan lewat diri sendiri. Bikin taman baca keliling, tulis di blog, nanti masuk Kick Andy sebagai tokoh inspiratif. Terima beasiswa dari Foundation Meneketehe, berprestasi, masukin profil di koran buat pertanggung jawaban, itu konkret. Bikin event motivasional, undang seleb blog yang tiba-tiba bergelar jurnalis karena nerbitin buku indie tentang motivasi cinta suci dan pribadi sukses, itu barokah.
Daftar ke workshop-workshop forum anak muda populis, forum anak muda yang enggak perlu mengorganisir massa, enggak susah ngadvokasi buruh, tani, mahasiswa, rakyat miskin kota, enggak ribet belajar ideolohi Marxisma, Komunisma, yang penting banyak sponsor sehingga acaranya sukses besar. Enggak usah peduli juga dapat tadahan dari perusahaan-perusahaan yang menginjak-injak hajat hidup mereka yang marjinal.
Yang paling keren sih, masuk jurusan teknik, ikut organisasi keagamaan yang bikin saleh, lalu kerja di perusahaan minyak dan tambang. Kaya, dan jadi gampang dapet jodoh. Itu lebih penting ‘kan daripada slogan “Anti Amerika dan Wahyudi” yang dulu diperjuangkan dengan teriakan “Allahu Akbar”. Enggak usah lagi mikirin nasib ketahanan lingkungan, terlebih nasib rakyat yang kehilangan lahan, dalilnya enggak ada kok itu.
Yang penting ‘kan keren dan sukses. Yang ngomongin Nilai Dasar Perjuangan itu memang sudah enggak konkret, enggak sesuai zaman. Buktinya cuma bisa demo dan bikin rusuh aja. Kita ini kan generasi milenial. Bingung mau berpihak ke isu yang mana, saking banyaknya.
Sudah. Enggak perlu kritis aset pajak mau dibikin apa. Jadi pribadi unggul aja. Enggak ada kok kebijakan negara yang perlu dikawal. Enggak ada kok perusahaan-perusahaan yang mengangkangi hajat hidup orang miskin sampai bikin Rendra pusing dan mengiba buat termangu-mangu di bawah Dewi Kesenian.
Sudah.
Bubarin aja Negaranya.