MOJOK.CO – Detik berlalu begitu lambat di rumah sakit. Rasanya seperti selamanya. Hal itu makin terasa di ruang isolasi Covid-19.
Sembilan hari menemani Bapak di ruang isolasi Covid-19 di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta, saya merasa tidak akan bisa bertahan jika tak menjumpai kehadiran mereka: para tenaga kesehatan perempuan.
Atau, dalam bahasa yang lebih umum di sosial media, merekalah para nakes yang disebut-sebut sebagai garda terdepan dalam pandemi berkepanjangan ini.
Belakangan heroisme istilah garda terdepan ini diperdebatkan, sebab alih-alih tampil sebagai apresiasi, istilah tersebut justru menjadi jargon yang mengalihkan tugas negara dalam pemenuhan hak para tenaga kesehatan yang sesungguhnya.
Ruang isolasi di rumah sakit sangat intimidatif. Sekali masuk, kamu tidak boleh keluar. Semua jendela tertutup dan pintu terbuka hanya jika nakes datang berkunjung. Nakes hanya berkunjung empat jam hingga enam jam sekali.
Terbayang betapa waktu terasa sangat panjang serta ngelangut dari detik ke detik jika kamu melewati waktu mencekam sendirian dalam ruangan ini.
Beruntung, Bapak boleh ditemani satu orang keluarga. Setiap orang yang pertama kali saya kabari tentang Bapak yang positif Covid-19 dan saya mesti menemaninya masuk ke ruang isolasi, menyampaikan hal yang sama: siap-siap ikhlas mulai dari sekarang.
Mendengar itu, hati siapa yang tak gentar?
Tapi, tangan kanan dan kaki kanan Bapak sudah tidak berfungsi. Serangan stroke yang terakhir membuat Bapak juga tak bisa bicara pula. Mau tak mau, saya mesti ada di ruang itu. Tugas saya adalah memastikan Bapak tetap makan, minum, dan tidak ketakutan.
Satu demi satu nakes perempuan itu datang. Lengkap dengan pakaian hazmat yang tak terbayangkan bikin risih dan bikin gerah itu.
“Halo, Pak… Pak Samuri… apa kabarnya hari ini, Pak?”
Perawat perempuan yang kira-kira sebaya dengan saya itu mengawali dengan menyapa Bapak secara hangat setiap kali masuk kamar perawatan.
“Saya injeksi dulu ya, Pak… obatnya Bapak banyak ini….”
Nakes lain silih berganti datang. Dan, tiap kali itulah pintu terbuka dan terasa ada kehidupan.
“Maaf ya, Pak, saya ambil darahnya dulu ya?”
“Alhamdulillah, saturasinya baik, denyut jantungnya juga baik.”
“Ada yang bisa dibantu lagi, Mbak?”
Sesungguhnya, saya betul-betul tak ingin menambah beban kerja para perawat itu. Tapi, badan Bapak besar sekali. Setiap subuh, Bapak buang air besar dalam popok yang lebih sering merembes hingga ke sprei. Saya sudah lebih lincah untuk mengganti popok Bapak. Namun untuk urusan ganti sprei, tentu saya tak bisa melakukannya.
“Mbak, minta bantuan lagi, ya? Bapak berak sampai sprei kotor lagi,” ucap saya meminta bantuan kepada perawat yang seluruh wajahnya hampir tak terlihat tapi kita bisa membaca nama-nama mereka tertulis dengan spidol hitam di faceshield.
Saya selalu bilang ke Bapak buat mendoakan nama-nama perawat yang tertulis di faceshield itu agar mereka terus diberi kesehatan.
“Bilang terima kasih dan doakan Mbaknya, ya, Pak.” Bapak mengangguk meski tak ada kata yang bisa ia ucapkan.
Lalu, dua perawat perempuan akan mengerahkan tenaga mereka untuk merapikan popok bapak dan mengganti sprei Bapak. Ada keterampilan khusus untuk memasang sprei hingga menaik-turunkan badan Bapak dengan cara ringkas sehingga dalam waktu beberapa menit, semua kekacauan di kasur Bapak itu bisa kembali rapi.
Terkadang ada pula yang sampai ngos-ngosan. Maklum, kelas berat. Begitu kelakar mereka untuk menyebut badan Bapak yang jumbo.
“Yang berjaga di bangsal Covid-19 ini usianya muda-muda ya, Mbak?” tanya saya.
“Ya memang sengaja dipilih yang masih muda, Mbak. Imun tubuh yang muda dianggap lebih baik.”
“Dapat libur berapa kali satu minggu, Mbak?”
“Belum tentu. Tergantung ketersediaan tenaga.”
Jadi, terkadang para nakes ini bisa memakai hazmat selama belasan jam. Mereka berlarian ke sana kemari ketika ada kondisi pasien yang tiba-tiba memburuk, maupun pasien yang memerlukan bantuan. Terbayang betapa letihnya. Pemandangan nakes tertunduk dan terkapar saking letihnya, akhirnya saya lihat secara langsung.
Saya menjadi saksi bahwa sentuhan tangan mereka serupa malaikat yang memberi kebaikan kepada tubuh-tubuh kesakitan yang tak mereka kenal.
Tengah malam ketika mengganti infus Bapak dan melihat saya masih terjaga, seorang perawat justru menyuruh saya untuk segera tidur mumpung Bapak juga sedang bisa tidur. Hati ini rasanya hangat. Ada banyak kecemasan dalam diri ini, tapi ada perasaan hangat yang menyelinap.
Bapak boleh pulang pada hari ke-9 perawatan di ruang isolasi. Saturasi oksigennya cukup stabil, tidak ada tambahan gejala baru dan CT Value-nya sudah mencapai > 0.56, menandakan virus dalam tubuhnya sudah terkalahkan oleh antibodi dan tak lagi infeksius.
Dari rumah, saya sangat bisa membayangkan situasi krisis yang ada di timeline sosial media. Salah satu situasi krisis yang makin sering terjadi adalah ibu hamil dengan positif Covid-19.
Seorang perempuan dengan kehamilan usia 35 minggu, harus melahirkan bayi dengan cara operasi sesegera mungkin karena dikhawatirkan kandungannya akan terus melemah akibat kerja virus. Upaya tersebut dilakukan untuk menyelamatkan bayi karena kondisi ibu yang makin kritis.
Seorang perempuan dengan kehamilan 32 minggu, berkeliling mencari bed RS, sudah hampir seminggu dan tetap tidak bisa mendapat perawatan dengan gejala yang terus memberat.
Seperti semua orang, saya dan kamu tak tahu kapan mimpi buruk ini akan berakhir. Semoga kita semua dapat melewatinya. Jika tak bisa sehari demi sehari, kita jalani senafas demi senafas.
Kamu bisa baca kolom Kelas-Kalis lainnya di sini. Rutin diisi oleh Kalis Mardiasih, tayang saban hari Minggu.