Project-syndicate.org merilis fakta bahwa delapan orang terkaya di dunia kekayaannya setara dengan 3,5 miliar orang miskin di seluruh dunia. Korporatokrasi, sistem terpusatnya kekayaan pada para korporat itu ternyata bukan dongeng kerajaan opera sabun atau sekadar mitos, tapi nyata! Ah, biasa saja, kenapa sok kaget begitu sih, dik? Toh 1.248 stasiun radio, 1.706 media cetak, dan 76 stasiun televisi di Indonesia juga hanya dimiliki oleh 12 orang Konglomerat.
Dua belas orang ini juga yang memainkan semua bisnis terkait Sumber Daya Alam, bahan baku, properti, saham, makanan dan lain-lain, dan lain-lain. Mereka juga yang mengendalikan gerak para pejabat Negara, memastikan semua perijinan beres dan lancar jaya, baik secara terang-terangan dengan bikin Mars Partai hingga yang sebatas sutradara buat menggalang aksi bela agama. Eh, iya bukan sih?
Sementara, di belahan dunia lain, Donald Trump dilantik menjadi Presiden Amerika, para penduduknya melawan dengan memakai kaos “Make Amerika Great Britain Again”. Ya, Negara yang menggaungkan rasionalisme dan Hak Asasi Manusia itu. Dilantiknya Trump menjadi penanda bahwa sekuat apapun manusia berusaha menggunakan akal sehat, jika Tuhan berkehendak untuk menjadikan pemimpin seseorang yang rasis, misoginis dan gagal logika akut, kita bisa apa? Mungkin itulah sebabnya, Indonesia, negeri yang diberkahi pemeluk umat Islam terbesar di dunia ini, sama sekali tidak terpengaruh dengan isu-isu global nan genting tersebut.
Bagi umat Islam Indonesia, isu pemusatan kekayaan yang berdampak kemiskinan global itu tentu saja perkara duniawi. Sedangkan di Negara Indonesia yang barokah ini, tentu saja lebih penting untuk memikirkan perkara-perkara yang beyond limit, yang tidak sia-sia, yakni perkara akhirat. Kita harus memikirkan perkara-perkara yang krusial, seperti logo alexis yang ternyata diam-diam membentuk kata PKI, dan logo palu arit pada uang kertas baru, yang jelas-jelas merupakan merasuknya propaganda para komunis gaya baru. Akidah umat Islam harus diselamatkan agar tidak goyah dan Umat Islam harus selalu rajin aksi pada tanggal-tanggal cantik seperti 212 dan 161 agar senantiasa bersatu dan tidak terpecah belah. Kalau perlu, frekuensi aksi dinaikkan setiap hari, seperti berkeliling membangunkan umat sahur setiap pagi serta menambah jumlah pengeras suara di masjid-masjid agar umat tidak lalai.
Pokoknya segala sesuatu yang tujuannya untuk menguatkan akidah umat Islam harus didukung dan diusahakan, seperti usaha segelintir Umat Islam di Semarang berjuang membatalkan acara Festival Masakan Babi dalam rangka perayaan Imlek, misalnya. Usaha yang harus kita dukung penuh, tentunya. Sebab bukan hanya menyangkut soal akidah, ia juga punya potensi untuk akan menjadi tonggak bersejarah bagi dunia razia kuliner Indonesia.
Besok-besok, umat Islam bakal lebih jeli dengan merazia kodok, ular dan hewan-hewan haram di areal persawahan. Kalau perlu, kita razia pasangan-pasangan doggy style, sebab dapat mengingatkan kita kepada hewan haram yang najis liurnya saja mesti kita basuh tujuh kali, sungguh sangat berbahaya bagi akidah Umat Islam.
Nah, Adapun Tuntutan Ormas Islam di Semarang yang begitu membanggakan itu antara lain adalah:
1. Penggagalan pork festival atau pembatalan festival makanan babi
Festival masakan babi yang berubah namanya menjadi Pork Festival konon katanya berhasil digagalkan, Kabar batalnya salah satu agenda di Kota Semarang itu disampaikan pengguna akun Facebook Aditya Suseno di dinding grup Kuliner Semarang yang mengunggah foto surat pernyataan yang mengatasnamakan ketua penyelenggara Pork Festival, Firdaus Adi Negoro, yang membatalkan acara tersebut. Ada juga kabar lain yang mengatakan bahwa acara ini tidak dibatalkan, melainkan diubah namanya, dari ‘Festival Masakan Babi’ menjadi ‘Festival Kuliner Imlek’.
“Sebenarnya kami menyayangkan sikap Forum Umat Islam Semarang. Kami sebenarnya berusaha menerapkan aturan itu dengan menyebut secara jelas bahan makanan yang digunakan. Jika berubah begini, justru menjadi abu-abu. Nanti misal ada umat Muslim datang, baru tahu kalau itu daging babi sehingga merasa dijebak,” papar Firdaus Adinegoro, ketua panitia Festival.
Aduuuuh, Pak Firdaus ini belaga pilon apa gimana sih, masak Bapak tidak ingat? Lha jangankan stand masakan babi, lha wong warung-warung masakan tempe ayam, kalau ia buka siang hari saat Ramadan pun, bakal kita paksa tutup kok. Ya kecuali kayak tempat-tempat karaoke dan hiburan malam yang setorannya lancar sih…
2. Mendesak Komunitas kuliner Semarang supaya menghargai Semarang sebagai kota relijius
Pak Firdaus seharusnya mendengarkan seruan bahwa Pork Festival tidak layak diselenggarakan di Semarang sebab tidak sesuai norma etika dan kepantasan. Ingat, Pak, jumlah Muslim di Semarang ini mayoritas. Jemaat Tionghoa sebaiknya pergi saja ke Cina untuk merayakan Ibadah Imlek. Pak Firdaus tidak perlu berkelit bahwa tidak ada Perda yang mengatur makanan babi dan bersikukuh dengan pertimbangan agenda tahunan. Mau Perda kok, mau agenda tahunan yang Cuma seminggu kek, pokoknya Umat Islam selalu benar, sebab hanya kami agama yang Mulia di sisi Allah, Pak. Camkan itu.
Wong yang bisa Relijius itu kan cuma umat Islam. Umat Kristiani, umat Tionghoa, umat Buddha, dan umat-umat yang lain nggak bakal bisa. Pak Firdaus harusnya paham akan hal ini.
3. Meminta pihak kepolisian agar tidak gampang memberikan izin untuk kegitaan-kegiatan yang berpotensi menimbulkan gejolak di masyarakat seperti festival masakan babi yang mengganggu akidah umat Islam
Pak Firdaus juga harus mendengarkan seruan Forum Umat Islam bahwa perayaan ini akan berdampak negatif terhadap kerukunan umat di Kota Semarang. Umat yang diam-diam pemakan babi yang biasa membeli dan makan daging babi di pecinan akan ke sana dengan semakin sembunyi-sembunyi. Tentu saja Pak Firdaus mengganggu kerja dakwah kami. Pak Firdaus nggak sadar apa bahwa umat ini udah dikasih adzan lima kali sehari dengan speaker membahana aja tetep nggak pada solat? Apalagi ditambah dengan perayaan pengacau keimanan seperti acara babi-babian seperti ini.
4. Walikota Semarang harus konsekuen dan konsisten menjaga kota Semarang sebagai kota relijius
Betul. Kota Semarang ini betul-betul Kota yang relijius. Mal-mal megah di Simpang lima ke depan akan mencontoh Pak Sandiaga Uno yang menjanjikan hiburan malam bersyariah bagi warga Jakarta. Sunan Kuning di Semarang akan kita ubah namanya sebagai Sunan Hijau, sebab hijau nampak lebih relijius. Kalau perlu, nama kota Semarang akan kita ubah pakai “Syin” menjadi Syemarang, agar lebih meyakinkan identitas keislamannya.
Yah, begitulah, Pak.
Akhirul kalam, selamat bagi kaum Muslimin wal Mukminin di Indonesia atas perjuangannya. Kita awali hari-hari dengan semangat khilafah tegak di dada. Ingat, Islam pasti menang dan babi-babi di dunia pasti musnah. Kafir! Kafir!