MOJOK.CO – Dari sedikitnya para perokok muda, saya menjadi khawatir apabila kelak di kemudian hari, negara kehilangan sumber pendapatan yang begitu besar.
Hari Sabtu pagi, rumah kami yang sangat suwung karena ditinggal oleh beberapa penghuninya, tiba-tiba didatangi oleh strangers. Saya sebagai satu-satunya penghuni yang masih tinggal, sempat tak mendengar suara ketukan pintu karena sedang asyik menonton film Fantastic Beasts (versi bajakan tentunya—mohon jangan ditiru).
Setelah ngeh ada suara ketukan pintu, saya buru-buru memakai baju dan membukakan pintu. Ternyata tamu saya adalah seorang mbak-mbak dan wanita paruh baya utusan puskesmas setempat. Mereka datang dengan tujuan mulia: melakukan survei pengaruh rokok.
Saya mulai dicecar dengan beberapa pertanyaan terkait pola hidup saya, termasuk pertanyaan tentang merokok. Karena gugup ditanyai oleh mbak-mbak, saya akhirnya terpaksa berkata jujur. Dengan kesadaran penuh, saya mengakui bahwa saya adalah perokok, walau usia saya masih di bawah 18 tahun, walau konsumsi rokok saya sangat sedikit—mungkin hanya satu atau dua batang saja setiap minggunya, itu pun kalau lagi kumpul sama temen-temen saja.
Tapi, tetap saja, saya jujur!
Di akhir sesi survei, si mbak-mbak berpesan pada saya, “Kalau bisa rokoknya dikurangi, Mas. Malah, kalau bisa, ya, berhenti.” Mendengar pernyataan mbak-mbak ini, saya hanya tersenyum. Setelahnya, mbak-mbak dan ibu paruh baya berpamit.
Saya memang masih sangat muda dan sudah merokok. Awal perkenalan saya dengan rokok adalah saat sedang berkumpul (di luar sekolah) bersama mas-mas pembimbing ekstrakurikuler. Saat itu, ia sedang sibuk memberi materi ekskul. Saya yang bosan mendengarnya lalu pergi dan melihat sebungkus rokok milik mas-mas pembimbing yang tergeletak, lengkap bersama pemantiknya. Iseng, saya ambil satu batang dan membakarnya tanpa mengisapnya—tentu saja rokoknya tidak menyala. Ternyata, si pembimbing eskul melihat tingkah saya dan tertawa terbahak-bahak. Baru setelahnya, saya diajarkan cara menyalakan rokok dan menikmatinya.
Jujur saja, saya tidak terlalu suka saat pertama kali mencoba rokok. Tapi entah kenapa, beberapa waktu setelah itu, saya ingin mencoba rokok lagi. Tanpa basa basi, saya pergi ke warung dan menyalakan sebatang nikotin. Itu rokok kedua saya, tapi tetap masih saja belum saya rasakan nikmatnya tembakau. Walau begitu, entah karena dorongan apa, saya tetap merokok (walau sangat jarang) hingga sekarang. Perlu diingat, saya merokok karena beberapa alasan yang sekiranya perlu saya jelaskan di sini. Yaaaah, itung-itung biar kayak konferensi pers, gitu.
Pertama, tentu saya berprinsip bahwa merokok sama saja membangun Indonesia. Sudah tahu kan kalau pendapatan negara kita disokong oleh rokok? Bahkan, defisit BPJS kemarin juga ditanggung oleh cukai rokok.
Kedua, karena semua idola saya merokok. Para tokoh revolusioner di dunia kebanyakan adalah perokok. Lihat saja Fidel Castro, Che, Tan Malaka, dan Soekarno. Selain itu, tokoh agama yang jadi panutan saya pun juga perokok. Dengan banyaknya para pemikir hebat di dunia ini yang menjadi perokok, bisa dikatakan rokok sangatlah berbahaya, karena yang paling bahaya dari manusia adalah pikirannya.
Ketiga, dengan rokok, saya merasa tenang. Pernah, suatu ketika, sebelum ekskul saya akan perform, mas-mas pembimbing menawarkan sebatang rokok pada saya. Efeknya, saya jadi merasa tenang dan siap untuk perform.
Sebenarnya, masih ada beberapa alasan kenapa saya merokok, tapi mungkin lain kali akan saya tulis sendiri. Sekarang, sih, saya tidak mau terlalu membahas itu karena pokok tulisan saya kali ini adalah kekhawatiran saya terhadap jumlah perokok yang menurun drastis. Gawat!
Saya memang merokok, tapi kebanyakan teman-teman saya tidak. Di kelas saya saja, hanya ada dua siswa yang menjadi perokok (salah satunya saya). Kebetulan saya masuk di kelas IPA, dan memang jumlah perokok di kelas IPA sangatlah sedikit. Mungkin dari 170 anak, hanya ada 10 yang merokok—setidaknya yang saya tahu. Hehe.
Sebenarnya, pun dari kelas IPS juga tidak terlalu banyak perokok. Tapi jika dilihat dari persentasenya, anak IPS memang lebih unggul karena jumlah siswa keseluruhan kelas IPS hanya 60-an—kurang dari separuh anak IPA dijadikan satu.
Dari sedikitnya para perokok muda, saya menjadi khawatir apabila kelak di kemudian hari, negara kehilangan sumber pendapatan yang begitu besar. Saya juga khawatir apabila ribuan petani dan karyawan pabrik rokok kehilangan pekerjaannya. Kekhawatiran terbesar saya, sementara itu, adalah apabila kemungkinan bahwa Indonesia bisa saja kehilangan ribuan pemikir kritis. Soalnya, saya percaya kalau rokok membantu otak berpikir lebih baik.
Tidak percaya? Silakan saja lihat cara bicara orang yang tidak merokok, lalu bandingkan dengan perokok; akan terlihat jelas bahwa para perokok cenderung lebih dewasa dalam menyikapi suatu masalah. Itu pula salah satu alasan saya menjadi perokok. Tapi, kalau nggak setuju sama saya, ya nggak papa. Ini kan pandangan saya saja~
Sedikitnya jumlah perokok muda—balik lagi ke laptop topik utama—menurut saya disebabkan oleh beberapa faktor.
Pertama, adanya label ‘Rokok Berbahaya bagi Kesehatan’. Label ini benar, sih—saya juga setuju. Tapi, Ferguso, ada hal yang lebih berbahaya dari rokok dalam kehidupan kita sehari-hari, misalnya: ayam bermicin cepat saji, asap knalpot, bahkan gula sekalipun. Semua itu, apabila dikonsumsi berlebihan, akan menjadi sumber penyakit. Toh, kakek-kakek di daerah saya saja nyatanya bisa berumur hingga 80 tahun ke atas dengan rokoknya.
Lagi pula, nih, ya, percuma juga kalau Anda tidak merokok, tapi nggak pernah olahraga, makannya makanan cepat saji terus, dan gampang stres. Kayak gitu itu kok Anda berharap sehat-sehat saja???!!!
Sebuah penelitian menunjukkan informasi tambahan. Kabarnya, rokok yang berbahaya itu adalah rokok putih, bukan rokok kretek yang merupakan budaya asli Indonesia. Justru, rokok kretek diciptakan pertama kali sebagai obat asma. Nggak percaya? Silakan searching aja di Google, Saudara-saudara.
Kedua, banyak tokoh agama yang mengharamkan rokok. Saat saya menawari rokok pada teman saya, ia menolak dengan alasan keimanan. Baiklah, saya tidak akan memaksa kalau begitu. Toh, memang banyak tokoh agama yang mengharamkan rokok. Mereka berdalih pada ayat suci Al-Qur’an yang melarang kita untuk mendekati bahaya. Tapi sayangnya, saya tidak mengikuti tokoh agama yang seperti itu, tuh.
Apabila rokok diharamkan, maka segala yang berhubungan dengan rokok pun menjadi haram, mulai dari petani sembako, karyawan pelinting, bahkan hingga jalan umum yang dibangun dari pajak rokok. Padahal, nih, ya, banyak juga, kok. tokoh agama yang merokok, seperti Cak Nun, Gus Dur, bahkan para raja jawa yang menjadi panatagama di Tanah Mataram.
Ketiga, citra buruk yang dilakukan oleh perokok. Nyatanya, beberapa perokok sering berperilaku seenaknya sendiri saat merokok. Contohnya, banyak sekali orang yang merokok di tempat umum, parahnya lagi di deket anak-anak. Setelah habis, puntung rokoknya dibuang sembarangan. Siapa coba yang bakal respect dengan orang semacam ini???
Seharusnya, ada sebuah toleransi antara perokok dengan non perokok. Merokoklah di tempat yang sudah disediakan, sembari menjaga abu dan puntung rokok Anda masing-masing supaya tidak mengotori hati lingkungan.
Nah, demikian tadi faktor yang menurut saya menyebabkan para perokok muda berkurang. Jika pemerintah ingin tetap mendapatkan pendapatan negara yang begitu besarnya dari pajak rokok, pemerintah harus berperan tegas dalam mengontrol kampaye anti tembakau, bukannya malah ikut-ikutan melarang rokok dengan melabeli “Rokok Membunuhmu” tapi masih mengambil pajak darinya!