Belakangan ini, seiring berlayarnya waktu, kami Partai Gerindra, seperti penumpang kapal yang kian dekat menuju akhir hayat. Terakhir, di awal tahun, Ridwan Kamil, arsitek sekaligus walikota yang luas referensinya, salah satu pimpinan daerah dukungan partai kami, memberikan pernyataan menolak undangan kami untuk mengikuti kegiatan penjaringan bakal calon Gubernur DKI Jakarta 2017.
Pernyataan lebih lanjut Kamil ajukan: “Kalau enggak umroh ya mungkin datang. Pengen tahu saja. Kalau datang kan bukan berarti setuju. Cuma menghormati undangan saja.”
Faktor-faktor yang mendasari pernyataannya adalah kondisi yang niscaya sudah diketahui banyak orang, antara lain karena semakin banyaknya calon-calon pemimpin potensial yang bukan kader partai. Ini membawa konsekuensi politis. Kini konstituen lebih memilih untuk menyetorkan KTP dukungan kepada tokoh yang lebih gemebyar seperti Ahok—yang kata-katanya cespleng, berikut aksinya di lapangan yang militan, sampai kalau perlu mengabaikan tata krama.
Harus diakui, ormas, front, kebiasaan kumpul-kumpul dan pawai keliling kota yang mendasari tradisi terbentuknya demokrasi sampai penghujung milenium kedua, sebagian akan tinggal kenangan belaka. Termasuk partai politik.
Di mana pun di negara ini, partai politik berangkat dari semangat coba-coba, didasari kebutuhan untuk mengembangkan fondasi kultural bagi tercapainya kekuasaan. Semangat tersebut menyemaikan atmosfer kerja yang setengahnya ngapusi, menghalalkan segala cara, mengembangkan authority, mengeksplorasi will to power alias ambisi untuk memakan segala. Para pelakunya adalah figur-figur otodidak, yang pada perkembangannya sebagian memiliki kewibawaan intelektual melebihi doktor Fadli Zon.
Kalau kemudian muncul sekolah politik yang digagas oleh partai-partai politik, itu semata-mata reaksi pedagogis dari kesadaran akan kurangnya endorsement akademik pada bidang pekerjaan ini. Pada perkembangannya, politikus-politikus kita tidak selalu berasal dari partai politik, tapi pensiunan tentara, pengusaha, sarjana kehutanan, sarjana geologi, arsitek, dan lain-lain. Spektrum pendidikannya terus meluas.
Kini bahkan penulis buku, ibu rumah tangga, dan alay-alay di media sosial pun sudah jadi pengamat politik, atau di masa mendatang entah apa lagi—yang sekarang pun saya kurang begitu paham, apalagi yang akan datang.
Inilah era baru dunia politik, dengan sifat bergegas, serba cepat, tergopoh-gopoh. Mereka berilusi menampilkan tokoh yang “kerja, kerja, kerja“, yang tercepat, sekaligus lupa bahwa yang “kerja, kerja, kerja” itu belum tentu yang terbaik.
Seorang teman yang berkecimpung sejak lama di dunia media sosial menuturkan, enak menghadapi politikus sekarang. Tinggal sediakan tautan. Mereka melakukan copy paste dari tautan tadi apa adanya. Tidak perlu pusing-pusing berpikir, karena mereka memang enggak mikir. Dalam kunjungan ke luar negeri untuk studi banding masalah tertentu, pertanyaan mereka hanyalah kapan free time atau waktu senggang. Mereka ingin jalan-jalan dan foto selfie dengan bakal calon presiden negara lain.
Dalam konstelasi baru dunia politik, kegiatan partai politik disebut “politik konvensional”. Boleh jadi sekonvensional tokoh-tokohnya, yang kampanye keliling dunia, memegang mikrofon, membuat yel-yel dan jargon.
Politikus mutakhir tidak membuat jargon, tidak pula turba. Mereka khusyuk dengan gadget. Barangkali merekam, menggoda jomblo, update status, berkomentar, atau bisa saja tengah berhubungan entah dengan siapa. Istilahnya: multitask. Sambil mendengarkan yang di sini, berhubungan dengan teman yang di sana, pacar, saudara, dan lain-lain.
Sikap seperti itulah yang tidak bisa diikuti kami politikus konvensional.
Kami tidak mendelegasikan otak kami pada alat rekam. Kami sadar akan signifikansi kehadiran, being there. Internet menyediakan semua data, tapi dia tidak akan pernah bisa menggantikan proses pertemuan dan studi banding. Studi banding bukanlah penampungan omongan orang, melainkan konfrontasi kesadaran. Pada kesadaran ini terdapat dimensi lain dari politik, semacam dimensi nonteknis—taruhlah selfie bareng bakal calon presiden negara lain atau minta jatah pembagian saham.
Tahun sudah berganti. Inikah senjakala partai politik kami?
Sekadar mengingatkan rekan-rekan sesama juragan seperti Pak Hary Tanoe dan Pak Aburizal Bakrie: di balik cakrawala senja, nilai-nilai konvensional di atas tetap diperlukan oleh kita-kita.
(dijiplak dari tulisan Bre Redana berjudul: Inikah Senjakala Kami…)