Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Nafsu Berdebat Lebih Berbahaya daripada Nafsu Makan dan Nafsu Syahwat

Iqbal Aji Daryono oleh Iqbal Aji Daryono
22 Juni 2015
A A
esai-nafsu-berdebat-mojok
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Setelah menjalani empat hari puasa, semoga semuanya dingin kembali. Segala jenis keributan sebagai ritual rutin penyambutan Ramadan pelan-pelan terlupakan, tak lagi disundul-sundul. Sewajarnya begitu, kan?

Ketika puasa sudah dijalani dengan sepenuh hati, kita tentu nggak akan cukup selo untuk meributkan orang yang memajang makanan, untuk merewelkan warung yang tetap buka seharian, untuk mencereweti pedagang yang tetap berikhtiar mengais rezeki dengan berjualan.

Atau, Anda masih tetap ingin membahas itu lagi? Oke, oke, silakan saja, tapi saya pamit nggak ikut-ikutan.

Toh pada praktiknya, warung-warung itu menyesuaikan diri dengan pasar yang mereka sasar, tho? Karena sebagian besar pelanggan di bulan Ramadan ini menggeser jam makannya ke waktu maghrib, otomatis jam buka warung-warung pun pada geser mendekati maghrib. Biasa saja, nggak usah pakai ribut. Itu sudah mekanisme pasar.

Iya, untuk harga BBM saya nggak ikut sepakat menyerahkannya total kepada pasar. Tapi untuk jam buka warung makan, saya kira tak mengapa. Lemparkan saja bulat-bulat kepada kehendak pasar.

Apa? Neolib? Aih, dikit-dikit kok neolib. Berat sekali, Bang, hidupmu itu..

Udah, intinya udah. Nggak perlu diterus-teruskan. Sebab kalau mau menerus-neruskan, perkara warung makan itu perkara remeh sekali. Jika seseorang meyakini bahwa isu warung makan adalah isu terbesar selama bulan puasa, pastilah ia juga mempercayai bahwa nafsu makan adalah nafsu terbesar manusia.

Benarkah?

Kalau saya sih nggak percaya. Dari berbagi varian nafsu duniawi, nafsu makan termasuk enteng. Bandingkan saja dengan nafsu syahwat, berahi, alias keinginan selangkangan. (Maaf, vulgar. Bukan bermaksud merusak puasa. Ini murni produk kontemplasi.)

Jika memang nafsu makan merupakan nafsu terganas, tentu Anda akan menemukan lebih banyak berita di suratkabar cetak maupun online terkait pelecehan kuliner, alih-alih pelecehan seksual. Misalnya seorang pemuda dikeroyok massa karena menyerobot tempe mendoan yang sedang disantap tetangganya. Atau seorang ibu kos dicokok polisi gara-gara memasang kamera rahasia, sebab si ibu kos dengan penuh gairah ingin mengintip kenikmatan anak-anak kosnya menyantap pecel lele setiap malam. Nah lho…

Tapi nyatanya nggak begitu, kan?

Harus diakui, nafsu syahwat adalah nafsu yang jauh lebih ganas ketimbang nafsu makan. Jadi, ketimbang ribut soal warung makan, mestinya kemarin itu kita sibuk berdebat tentang apa saja yang potensial membuat kita berpikiran jorok dan menggoyang “imron”. Itu jauh lebih prioritas.

Saya, misalnya, sudah menghimbau kepada mamah-mamah dan dedek-dedek teman Fesbuk saya, agar berhenti foto selfie selama Ramadan. Harap tahu saja, melihat foto-foto mereka itu kadang bikin dada saya berdesir hebat, jantung saya berdentam-dentam, tensi darah saya naik, adrenalin saya melesat ke roof top. Bukankah itu berarti mereka sedang merusak ibadah puasa saya? Saya merasa hak saya sebagai mayoritas sedang dilecehkan! (Eh, nggak ding).

Sebenarnya, saya sekalian mau menghimbau itu ke semua mamah gemez se-Indonesia. Demi jalan tengah yang arif bijaksana, dalam kerangka saling menghormati ibadah satu sama lain di negara Pancasila, saya tidak akan menuntut mereka untuk tutup akun. Tapi mbok ya tolong, dinding Fesbuk mereka itu diselubungi semua pakai kelambu, gitu. Persis seperti yang wajib dilakukan warung-warung makan.

Iklan

Ah, maaf, abaikan saja yang di atas itu. Itu cuma celotehan papah galau. Sekarang, kita bahas nafsu jenis lain.

Sejak Ramadan tahun lalu hingga Ramadan tahun ini, ada satu jenis nafsu yang dikembangbiakkan secara sangat massif oleh bangsa Indonesia. Nafsu ini benar-benar tak terkendali, dan lepas dari kontrol fatwa-fatwa MUI. Nafsu yang saya maksud adalah nafsu berdebat. Ber-de-bat. Hahaha. Iya, nafsu berantem kata-kata di media sosial.

Banyak orang mendaku, dengan sepenuh klaim, bahwa perdebatan-perdebatan yang mereka jalani di medsos itu murni dialektika rasional, berlandas fakta ilmiah dan tumpukan data. Baiklah, saya percaya. Saya pribadi pun selalu berikhtiar keras untuk menjaga karakter demikian.

Tapi toh syaithon yang terkutuk selalu berbisik lewat pori-pori terhalus, yang sering membuat nalar kita anjlok dari rel kesadaran. Walhasil, dalam perdebatan serasional apa pun, selalu terbuka lubang-lubang kemungkinan untuk semata menjunjung tinggi ego, eksistensi, pamer pengetahuan, asal njeplak, dan asal menang. Intinya: amarah dan kesombongan.

Debat sangat dekat dengan nafsu. Sudahlah, nggak usah mungkir. Saya sendiri pun merasa, tak jarang saya jadi salah satu pelakunya yang paling nista. Tak heran Kanjeng Nabi secara spesifik mengingatkan, apabila di bulan Ramadan ada orang yang mengajakmu berbantahan, jawab saja, “Aku sedang berpuasa.”

Makanya, demi membangun stabilitas nasional, semestinya nafsu semacam debat inilah yang perlu kita perdebatkan, eh, maksud saya, perlu kita pikirkan secara serius bagaimana solusi bijaknya.

Sebab debat-debat kusir bisa merusak silaturahmi, mendangkalkan logika, serta mengacaukan kejiwaan. Nafsu satu ini terbukti jauh lebih berbahaya bagi kemaslahatan umat, ketimbang fakta bahwa darah muda kita menggelegak hebat saat melihat gambar sup buah atau es kelapa muda di teriknya siang bulan puasa.

Singkat kata, alih-alih kembali mengungkit luka lama soal warung makan, saya serukan kepada segenap elemen masyarakat: demi menyempurnakan puasa kita, alangkah damainya jika sepanjang bulan suci ini kita ramai-ramai membungkus jempol kita dengan gorden tebal. Insya Allah kita akan menjalani Ramadan yang sedikit lebih nancep ketimbang biasanya.

Ya, karena amanat Tuhan kepada kita di bulan ini adalah jihadul akbar. Perang melawan diri sendiri, berkelahi menghadapi hawa nafsu sendiri. Bukan melulu bertempur menyerbu sesama manusia, terus menudingkan telunjuk kesalahan kepada manusia lain, dan tanpa henti berjuang keras mengalahkan orang lain.

Semakin tebal gorden yang kita selubungkan untuk jempol-jempol kita, semakin membuktikan bahwa kita turut punya kontribusi spiritual bagi dunia yang lebih berbahagia.

Tentang hal ini, ingat baik-baik nasihat Syekh Abu Hayyun:

“Puncak kesalehanmu adalah ketika engkau merindukan perdamaian dunia sebagaimana engkau merindukan bedug magrib di bulan puasa.”

Terakhir diperbarui pada 11 Agustus 2021 oleh

Tags: nafsuNafsu berdebatPasarRamadanSyahwat
Iqbal Aji Daryono

Iqbal Aji Daryono

Penulis dari Bantul. Lulusan Sastra Jepang, UGM.

Artikel Terkait

Perang sarung dulu buat seru-seruan kini jadi tindakan kriminal MOJOK.CO
Ragam

Perang Sarung Kini Jadi Tindakan Kriminal, Apa Sih yang Sebenarnya Para Remaja Ini Perlukan?

13 Maret 2025
anak sma dari jogja ngajar ngaji di jepang.MOJOK.CO
Aktual

Anak SMA dari Jogja Dakwah di Jepang Selama Ramadan, Emak-emak Semangat Minta Diajar Ngaji Sampai Tengah Malam

3 April 2024
Minta Tanda Tangan Imam di Ramadan itu Merepotkan MOJOK.CO
Ragam

Minta Tanda Tangan Imam di Bulan Ramadan, Kegiatan yang Pernah Dianggap Imam Masjid Merepotkan dan Membuang Waktu

28 Maret 2024
Acara Bukber di Tempat Makan Menyiksa Juru Masak MOJOK.CO
Ragam

Bukber di Tempat Makan Adalah Acara yang Menyiksa Juru Masak, Sebel Masak Ratusan Porsi untuk Orang yang Sok Berbuka Padahal Nggak Puasa

27 Maret 2024
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

banjir sumatera. MOJOK.CO

Bencana di Sumatra: Pengakuan Ayah yang Menjarah Mie Instan di Alfamart untuk Tiga Orang Anaknya

1 Desember 2025
Transformasi Wayang dalam Sejarah Peradaban Jawa

Transformasi Wayang dalam Sejarah Peradaban Jawa

30 November 2025
S3 di Bandung, Istri PNS Makassar- Derita Jungkir Balik Rumah Tangga MOJOK.CO

Jungkir Balik Kehidupan: Bapak S3 di Bandung, Istri PNS di Makassar, Sambil Merawat Bayi 18 Bulan Memaksa Kami Hidup dalam Mode Bertahan, Bukan Berkembang

1 Desember 2025
waspada cuaca ekstrem cara menghadapi cuaca ekstrem bencana iklim indonesia banjir longsor BMKG mojok.co

Alam Rusak Ulah Pemerintah, Masyarakat yang Diberi Beban Melindunginya

1 Desember 2025
Banjir sumatra, Nestapa Tinggal di Gayo Lues, Aceh. Hidup Waswas Menanti Bencana. MOJOK.CO

Konsesi Milik Prabowo di Hulu Banjir, Jejak Presiden di Balik Bencana Sumatra

4 Desember 2025
banjir sumatra.mojok.co

Kelumpuhan Pendidikan di Tiga Provinsi, Sudah Saatnya Penetapan Bencana Nasional?

4 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.