MOJOK.CO – Selain belajar bahwa harta yang paling berharga adalah keluarga, dari film keluarga cemara kita bisa mendapatkan pelajaran ekonomi mengenai kiat-kiat memilih pekerjaan setelah bangkrut agar bisa segera come back jadi kaya lagi.
Sahabat Celenger yang lain di mulut lain di hati. Di mulutnya memuji Keluarga Cemara, tetapi di dalam hatinya kalau disuruh mengalami memilih jadi Keluarga Cendana,
Agama apa pun yang ada di dunia ini mengajarkan kepada manusia bahwa tidak ada yang abadi di dunia yang sungguh fana ini. Ilmu biologi memperjelas bahwa segala yang hidup pasti akan mati, orang yang muda pasti sebagian akan tua, orang yang tua jangan pernah berharap muda lagi. Ya, kecuali menggunakan aplikasi beauty plus level mentok. Aplikasi paling membahagiakan perempuan di abad ini. Bibir bisa jadi pink, kulit halus tanpa pori, senyum cerah pipi merona.
Sementara ilmu ekonomi mengajarkan bagaimana kejayaan bisa dibangun oleh para pekerja keras, lugas, cerdas, dan trengginas. Tetapi kejayaan berupa kekayaan juga bisa tumpas jika kita gagal mengelolanya dengan baik maupun tidak memahami seperangkat auran yang berlaku. Seperti nasib Keluarga Cemara, begitu usaha Abah gulung tikar, keluarga tersebut mendadak kere. Rumah terlanjur untuk jaminan, harta bergeraknya dijual untuk membayar pesangon karyawan.
“Om, ceritanya kayaknya agak menyimpang dari karya Arswendo, ya?”
Sebenarnya tidak terlalu penting untuk membahas bagaimana satu usaha bisa bangkrut. Tetapi memang ada banyak masalah dalam filmisasi karya Arswendo tersebut. Kalau dalam novelnya, perusahaan Abah di bidang ekspor impor bangkrut karena orang kepercayaannya melakukan penyelundupan. Kasus tersebut berakibat hukum dan menghasilkan keputusan pengadilan untuk menyita semua asetnya. Masuk akal!
Sementara dalam versi layar lebarnya, “orang kepercayaan” diganti dengan “ipar” yang berutang ke pihak ketiga untuk ekspansi bisnis properti yang kelak bermasalah, dengan jaminan rumah. Ceritanya memang menjadi terlalu sinetron saat krediturnya datang dengan rombongan tukang pukul untuk mengeksekusi rumah tepat di hari perayaan ulang tahun Euis. Tanpa ada peringatan, tanpa ada penangguhan, langsung usir!
Itu bagian tidak masuk akal pertama. Untuk level presiden direktur, sekeluarga keluar dari rumahnya sendiri yang dijaminkan oleh pihak lain tanpa sepengetahuannya sangatlah tidak mungkin. Jelas tidak mungkin. Langkah pertama pasti dia akan menghubungi pengacara dan atau polisi. Ilustrasi pembicaraannya kira-kira begini.
“Halo, selamat sore, Pak. Saya Abah mau melaporkan. Iya, Pak. Serius dong, nama saya memang Abah, suami Emak. Alamat di Jl. Dewata Cengkar Kebagoran Baru, melaporan kalau saat ini rumah saya mau dirampas oleh serombongan preman. Mohon kirim anggota segera ya, Pak. Benar, Pak. Saya merasa terancam sekali. Benar, Pak, nama saya Abah, suami Emak.”
Walaupun ribet dan kzl oleh urusan nama, setidaknya prosedur itu yang akan dilakukan oleh seorang presiden direktur. Apalagi kejadiannya di Jakarta. Tidak mungkin seorang pengusaha sukses kok pah poh, bloon tidak melek hukum sama sekali. Walaupun seumpama akhirnya terbukti kalau Abah ikut menandatangani utang tersebut, setidaknya ada langkah hukum yang proper. Pengadilan yang bisa memutuskan pihak ketiga mengeksekusinya.
“Om, apa mungkin orang yang mempunyai kasus hukum seperti Abah langsung dapat jatuh miskin?”
Ya, sangat mungkin kalau orang kaya “nanggung” seperti Abah. Lain halnya kalau orang super kaya seperti Abah Rizal Bakri. Hilang beberapa trilyun dari salah satu lini bisnisnya untuk ganti rugi seperti kasus lumpur Lapindo, masih banyak unit bisnisnya yang menangguk untung. Sementara Abah hanya punya satu perusahaan.
“Loh tapi masa ga punya dana darurat, dana pensiun, asuransi kesehatan, diversifikasi aset?”
Begini, kalau ditarik semua dananya untuk menutup kewajiban perusahaan ya tetap bisa habis. Belum kalau sudah menjual semua aset bergeraknya (mobil, surat berharga, logam mulia), juga harta tak bergerak seperti (rumah, gedung, tanah) tetap saja bangkrut. Secara teknis tetap bisa habis, belum kalau ternyata Abah orang saleh, ngeri sama dosa riba dan mempunyai tanggungan kewajiban. Sangat mungkin orang punya prinsip “mending jatuh miskin daripada jatuh berkubang riba”.
Hal tidak masuk akal kedua, boleh saja Abah langsung memutuskan mudik ke kampung halaman untuk memulai hidup baru. Tetapi bukan berarti harus jadi “Lettu”, laden tukang batu atau kenek tukang batu. Juga bukan apa pun masalahnya, go-jek solusinya. Maaf ini tentu bukan menghina profesi, tetapi soal kesanggupan secara fisik yang tidak bisa dibangun dalam waktu cepat.
Selanjutnya kita simak larikan kata-kata tulisan Arswendo berikut. Bagaimana seorang mantan presiden direktur seharusnya menyimak hal yang langsung dilihat dan dirasakan tersebut?
Rumah Abah masih berdiri, gagah. Rumah kayu, sederhana, seakan melambangkan sikap tabah. Tetap berdiri, walau di samping kanan-kiri telah berubah, rumah tetangga yang sudah ganti pemilik. Rumah itu juga indah, bagi yang bisa merasakan kehangatan keluarga. Di bagian bawah, masih ada kolam ikan yang cantik karena ada hiasan pohon teratai.
Warna padma memberi kesan, manakala melihat air kolam yang kecokelatan. Sesekali ada riakan kecil dari ikan-ikan peliharaanyang bisa menjadi penyambung kehidupan. Hiasan satu-satunya di samping rumah adalah becak. Alat pengangkut yang makin tergusur dan terpinggirkan dan yang mengandalkan tenaga manusia, masih setia mendampingi.
Seorang pengusaha tulen pasti mempunyai intuisi dan visi yang tidak serapuh yang diungkapkan Arswendo. Besar kemungkinan abah akan melakukan hal-hal berikut.
Budidaya lele
Tentu akan lebih indah kalau kolam berdiameter 6 meter yang ada digunakan untuk budidaya ikan koi. Tetapi jangan lupa, air kecoklatan yang mengaliri kolam tersebut akan membuat koi yang kita punyai tak lebih dari ikan mas, masih untung kalau hidup. Sedangkan lele, jenis ikan yang dibiarkan saja hidup, apalagi diberikan pakan yang baik. Tidak setiap saat orang butuh koi, tetapi warung pecel lele yang berderet dari Sabang sampai Merauke jelas selalu butuh pasokan.
Rasanya cocok untuk Abah yang belum sembuh benar dari keterkejutan hidupnya. Tidak perlu rajin mengurusi, hanya cukup kasih pelet sambil bengong merutuki nasibnya yang kurang beruntung. Punya adik ipar satu aja kurang ajar, apalagi kalau dua ya? Gumam abah. Takut terdengar emak.
Ternak Kambing
Lahan yang cukup luas, membayangkan beberapa bulan lagi hari raya kurban tiba, dan ketersediaan pakan ternak yang cukup melimpah. Abah yang tengah bengong di pinggir kolam ikan lelenya yang di 4 bulan pertama tersebut telah memberikan tambahan pendapatan bersih sebesar 6 juta tersebut tiba-tiba teriak.
“Eureka, Makkkk. Emak, eurekaaaaa”
Emak yang sedang menggoreng opak dan di tungku sebelahnya merebus Indomie telor lari tergopoh-gopoh, “Eling, Bah. Nyebut, Bah. Ya Tuhan… ”
“Mak, kita ternak kambing ya… Setuju ya, Mak. Pleasee. Beberapa bulan lagi hari raya kurban akan banyak permintaan kambing”
“Duwitnya, Bah?”
“Kita jual Iphone Euis, toh di sini sinyal kurang bagus. Bulan depan beli lagi yang merk oppo, katanya bagus untuk selfie, Emak nggak perlu ke salon lagi”
Rumah Makan
Di teori manajemen, place atau tempat, dalam strategi marketing mix merupakan salah satu faktor terpenting yang dapat memuluskan barang atau jasa yang kita produksi sampai ke tangan konsumen. Sehebat apa pun rasa sayur lodeh masakan kita, sehebat apa pun promosinya, kalau menjualnya di dalam mall orang tidak akan banyak tertarik.
“Begitu, Mak. Jadi kita siap-siap bikin rumah makan yang menyajikan masakan kampung. Nanti kita unggah status di Fesbuk biar teman-teman kita di kota mau mampir. Euis yang mempromosikan tempat kita yang instagramable ini”
“Ara bagian apa, Bah”
“Bagian terima tamu, Ara”
“Juga terima duwit ya, Bah”
“Hehehe iya deh. Nanti lahan sebelahnya lagi dapat kita gunakan untuk homestay. Bisa disewakan, juga bisa untuk tempat menginap kalau saudara kita datang. Ah tapi bisa juga kita tanami untuk apotik hidup, sayuran atau tanaman-tanaman yang kalian suka. Kita ajak juga tetangga untuk melakukan hal yang sama.”
Begitulah seharusnya karakter pengusaha; persisten, inovatif, tidak cepat puas, pembelajar dan problem solver. Ini memang mudah diomongin, tetapi sangat biasa diaplikasikan oleh para pengusaha. Tidak selamanya pikiran kita harus selaras dengan kebiasaan-kebiasaan masyarakat barat yang menargetkan sejak muda investasi saham, menyiapkan dana pensiun, obligasi, sukuk, sukun. Hahaha yang terakhir itu makanan, perlu kalau itu!
Tabungan tidak harus kita maknai dengan simpanan uang, tetapi juga mewujud dalam semangat kebersamaan, saling menjaga, saling menyemangati dan percaya bahwa apa yang kita lakukan bersama sebenarnya tidak kita lakukan sendiri. Oke, Abah akan nyanyi dengan syair baru.
Harta yang paling berharga tabungan keluargaaaa
Istana yang paling indah hak milik keluargaaaa