MOJOK.CO – Sejatinya, bulan puasa itu bulan penuh rahmat dan ampunan. Tapi, gara-gara kemaruk beli takjil dan buka di tempat hedon dan tambahan pengeluaran buka bersama setiap minggu, bulan ini bergeser jadi bulan penuh pengeluaran ampun-ampunan.
Sahabat Celenger yang saat puasa Ramadhan lebih merindukan manis dinginnya es blewah dari pada investasi surga yang dijanjikan,
Selamat datang bulan Ramadhan. Bulan dimana umat Islam sedunia diwajibkan berpuasa selama sebulan penuh. Bulan yang juga diyakini oleh para penganut ajaran Islam sebagai bulan yang penuh rahmat dan ampunan. Tapi entah kapan mulainya, bulan tersebut seperti tergeser menjadi bulan penuh pengeluaran ampun-ampunan.
Jangan berlebihan, jangan malas, dan usahakan tidak kehilangan produktivitas. Itu kredo yang dibangun untuk mengurangi persepsi bahwa puasa mengakibatkan anjloknya produktivitas dan mengakibatkan pemborosan. Bagaimana sih sebenarnya yang terjadi?
Pekerjaan yang mengandalkan fisik jelas mengalami penurunan produktifitas yang cukup signifikan. Tenaga menjadi jauh berkurang karena asupan karbohidrat terputus. Lain halnya dengan jenis pekerjaan yang berkutat dengan mengandalkan pikiran. Produktivitas meningkat, kah? Jelas tidak!
Mau mikir? dah lemes duluan. Memaksakan berpikir? Langsung berpikir enaknya seandainya hari itu tidak sedang berpuasa bisa kerja sambil merokok dan ngopi. Sudah begitu jam kerja sudah dipangkas.
Dalam satu berita beberapa tahun silam, media dari Saudi Arabia yang dikomandani dan dikontrol keluarga kerajaan menyiratkan hal serupa. Artinya itu terjadi secara global, bukan di negara kita saja. Tingkat produktivitas di Arab menurun sebanyak 35% hingga 50% akibat pemendekan jam kerja dan juga perubahan gaya hidup selama satu bulan. Bagi dunia bisnis, dimana produktivitas merupakan jantung keberlangsungan dunia usaha, kebijakan pemendekan jam kerja jelas merugikan.
Tapi kalau dipikir secara bijak, pengakuan menurunnya produktivitas tersebut hanya akal-akalan saja. Perusahaan tau pasti membaca kecenderungan bagaimana dunia usaha bekerja. Bulan puasa sebenarnya jeda sejenak bahwa tubuh dan pikiran manusia sebenarnya aset yang harus dipelihara.
Beberapa bulan sebelumnya, perusahaan sudah menggenjot produksinya. Ramadhan, Lebaran, Natal dan Tahun baru secara fakta musiman kerap menunjukkan ekonomi masyarakat menggeliat naik dimana permintaan masyarakat kerap mendorong terjadinya inflasi.
Sahabat Celenger yang rajin upload foto makanan-makanan penggugah selera di waktu siang untuk mengajak rapuh dan ngeces bersama-sama,
Perhatikan saja. Secara kebiasaan, di minggu kedua puasa, undangan berbuka puasa akan semakin gencar. Nah ini yang harus diperhatikan benar, utamanya oleh para milenial. Puasa pada akhirnya lebih lekat dengan tambahan pengeluaran dibandingkan dengan penghematan.
Secara kebiasaan juga, seorang teman sekolah yang sudah menduduki posisi puncak di perusahaan multi nasional mengundang buka bersama di satu restoran yang bisa kami pilih sesuai selera. Dalam keyakinan suci kami, yang tidak pernah lekang waktu, terpaan cuaca, apa lagi perubahan rezim lima tahunan yang begitu-begitu saja. Tafsir tunggal untuk kata mengundang, tiada lain mentraktir makan.
Itu sudah final, serupa NKRI harga mati! Tidak ada ruang penafsiran lain seperti patungan atau bayar sendiri sesuai yang dimakan.
Apa lagi setelah disebutkan beberapa restoran papan atas yang nilai makanannya setidaknya berbandrol 1juta rupiah per kepala. Makin percaya dirilah kami mencatatkan diri dalam daftar undangan yang disebarkan melalui aplikasi Whatsapp tersebut. Bagi kami, itulah keutamaan bulan Ramadhan yang sesungguhnya. Eh.
Bayangkan, 1 juta rupiah per orang sekali makan! Bagi Jamaah Ndomiah Nusantara yang sehari makan 3 kali, itu artinya setara dengan 263 mangkok mie instan. Kalau dikonversi ke satuan waktu, para jamaah Indomiah perlu waktu 88 hari untuk menghabiskannya. Bahkan bisa untuk menghidupkan malam selama 9 bulan tentu saja bagi yang khusus mengonsumsi di waktu malam saja.
Di Jakarta, tempat-tempat seperti itu banyak dan full booked hingga lebaran! Ngeri sekali kan? Atau tidak?
Bagaimana kalau acara buka bersama yang bermewah-mewahan itu ketahuan Badan Pusat Statistik (BPS)? Angka 1 juta untuk sekali makan jelas akan membuat mereka mengelus dada dan menangis tersedu. Teringat survey mereka, 400ribu untuk pengeluaran individu selama sebulan. Hiks
Eh, tapi sebenarnya maksud saya menuliskan perhitungan matematis tersebut bukan untuk melakukan refleksi diri. Tetapi…. untuk membuat kalian merasa bersalah. Hahaha.
Bukan hendak ceramah agama. Penting untuk memperbaiki ketidaksempurnaan kita selama ini. Baik dalam merumuskan, terlebih menjalani puasa di bulan Ramadhan yang banyak disebut merupakan amalan bersifat rahasia atau sirri yang begitu dicintai Allah.
Kembali ke persoalan yang membuat persoalan surgawi (ibadah) dan duniawi (ekonomi) berkelindan. Apakah memang seharusnya Ibadah didorong ke atas dan konsumsi masyarakat didorong ke bawah, untuk memberikan pemaknaan lebih terhadap puasa?  Apakah perlu dianggarkan secara khusus?
Bagi umat Islam, ada salah satu adab berbuka puasa yang cukup sering dijadikan referensi. Acuannya jelas ke junjungan tertinggi, Nabi Muhammad. Perut yang kosong seharian, cukup diganjar dengan tiga butir kurma dan air putih. Apakah implikasinya membuat umat harus ngirit dan mengerem konsumsi? Nanti dulu.
Kalau menggunakan acuan harga kurma curah Tunisia dan harga minuman kemasan merk Akuwa. Maka tambahan pengeluaran tiap orang untuk berbuka kurang dari 5ribu rupiah saja. Kemudian dilanjutkan dengan makanan yang kita santap sehari-hari.
Adab tersebut kerap dilupakan atau dilanggar oleh kita. Mereka tidak jajan sekedarnya, atau memilih tempat makan untuk penguatan ekonomi kerakyatan, tetapi memilih tempat yang menjadi simbol gedonisme dan kapitalisme. Oh, sungguh berlebih-lebihan.
Sudah merasa bersalah belum? HAHAHA
Khusus bulan Ramadhan, kita tidak perlu menghitung berapa pengeluaran yang harus kita anggarkan. Ini memang bulan ajaib. Buka puasa menjadi ajang reuni lintas angkatan, bahkan agama. Kalau buka puasanya masih patungan anggap saja bagian dari menggerakkan ekonomi rakyat.
Syukur-syukur punya banyak teman yang marah kalau diajak patungan. Marah kalau ditraktir, maunya nraktir saja. Itu akan menyelamatkan cash flow kita. Eh satu lagi, jangan lupa pantau terus THR yha. Anggap saja pengganti pengeluaran selama bulan puasa.