MOJOK.CO – Saya membayangkan Hesse menuliskan Perjalanan ke Timur di belakang rumah atau di ruang kerjanya yang dirimbuni buku-buku sembari ia meratapi keadaan dunia kala itu.
Ada banyak buku yang menyandang status sebagai catatan perjalanan. Di antaranya yang perlu ditengok adalah Perjalanan ke Timur karya Hermann Hesse (1877-1962).
Dengan menggunakan tokoh “aku”, seorang pemain biola dan pendongeng, Hesse menuliskan pengalamannya terlibat dalam suatu perjalanan imajiner melintas ruang dan waktu ke berbagai wilayah di barat maupun di timur, di masa lalu maupun juga di masa depan.
Dalam perjalanan tersebut, Hesse bertemu nabi, tokoh agama, intelektual, seniman dunia, dan kelompok-kelompok spiritual, baik yang historis maupun imajinatif. Ia berdialog dan bercakap-cakap dengan mereka, mereguk banyak pengalaman dan menyerap pengetahuan.
“Aku” bisa terlibat perjalanan ini karena bergabung dalam Perkumpulan Rahasia. Sebenarnya ia tidak diperbolehkan menceritakan perjalanan ini, tetapi dengan asumsi ia tidak akan membuka bagian-bagian yang bersifat rahasia, ia putuskan untuk menuliskan pengalamannya secara umum.
Selain karena ada larangan, sebenarnya ia masih bimbang untuk menulis catatan perjalanan. Ia tidak yakin bisa menuliskannya secara tepat sehingga orang bisa mempercayainya. “… apa yang dianggap berharga dan bijaksana bagi seseorang adalah omong kosong bagi orang lain.” Ia jadi khawatir, tetapi pada akhirnya ia tetap menulis.
Meski ini merupakan perjalanan dengan dan atas nama Perkumpulan, setiap pribadi punya tujuan masing-masing. Tujuan “aku”, misalnya, adalah untuk melihat putri cantik Fatima dan, jika mungkin, meraih cintanya. Sementara teman yang lain ada yang memburu harta karun yang disebut “Tao”. Ada juga yang ingin menangkap ular gaib yang disebut Kundalini. Jelas sekali “Tao” dan “Kundalini” adalah istilah spiritualitas Timur. “Aku” mengatakan, ia sering tidak bisa memahami tujuan pribadi rekan-rekannya itu. Sementara tujuan atas nama Perkumpulan sendiri merupakan rahasia yang tak boleh diceritakan.
Sebelum melakukan perjalanan semua anggota perjalanan harus mengikuti semacam inisiasi dan pembaitan kesetiaan. Para anggota harus setia pada ajaran karena ini merupakan perjalanan ibadah suci. Beberapa anggota perkumpulan rahasia ini adalah tokoh-tokoh legendaris, seperti Zoroaster, Lao Tse, Plato, Xenophon, Albertus Magnus, Don Quixote, Baudelaire, dan lain-lain.
Demikianlah. Mereka melakukan perjalanan. Kadang berbaris bersama-sama. Kadang berpisah satu sama lain untuk nanti, entah bagaimana caranya, bertemu di suatu tempat. Kadang bahkan sendirian saja.
Perjalanan ini tidak menggunakan mobil, pesawat, atau kereta api. Benar-benar berjalan dalam pengertian harfiah. Setelah berhari-hari berjalan, kadang mereka mampir istirahat dan mendirikan kemah di suatu tempat. Perjalanan mereka menembus ruang dan waktu. Kadang berada di masa lalu. Kadang di masa kini. Kadang seperti di sebuah masa depan.
Mereka berjalan, misalnya, di antara lintasan kereta api listrik dan perkantoran bank modern di Zurich. Kemudian, tiba-tiba mereka menjumpai perahu Nabi Nuh yang dikawal sekawanan anjing yang semua bernama sama—anjing-anjing yang dengan berani memandu kapal melewati air yang dangkal bersama Han C, seorang seniman, untuk menuju keturunan Nabi Nuh.
Kadang mereka bertemu sebuah kelompok kecil yang kitab sucinya adalah sebuah naskah yang berisi tindakan-tindakan Don Quixote—orang yang keluhurannya mereka yakini akan membuka jalan untuk menyeberangi Spanyol. Lain waktu mereka menjadi tamu di Kuil China tempat para pembawa dupa melintas di bawah perunggu Maja dan Si Raja Hitam memainkan seruling begitu merdu. Atau mereka menyeberangi Suon Mali, sebuah daerah jajahan Raja Siam di kaki Gunung Matahari yang dikelilingi patung-patung Buddha bugil.
Ini jelas bukan perjalanan yang mudah. Ada seorang pemuda yang tidak kuat dan memutuskan berhenti dari perjalanan, ia bahkan keluar dari perkumpulan ini untuk kembali ke rumah, melakukan hal lain yang dianggapnya lebih berguna. Pemuda ini tidak yakin perjalanan ini akan sampai ke timur; ia ragu dengan isi ajaran perkumpulan.
Setelah keluar pemuda itu mengalami goncangan besar. Sayangnya ia tidak bisa kembali ke perkumpulan ini. Ia tersesat dan menjadi gila.
***
Hermann Hesse, sastrawan peraih Hadiah Nobel Sastra 1946, menulis Perjalanan ke Timur pada 1932 ketika malaise tengah menghantam Eropa dan dunia. Di saat yang sama, luka dan air mata sisa Perang Dunia I juga belum sembuh benar.
“Kami seolah menaklukkan dunia yang terpecah-belah karena perang dengan keyakinan bahwa kami bisa mengubah dunia menjadi nirwana,” tulisnya. Krisis ekonomi kemudian merambat pada krisis spiritual yang mendorong para intelektual dan seniman Eropa saat itu menengok dunia Timur. Semangat pencarian nilai-nilai spiritual menjelma menjadi sebuah gerakan intelektual dan Hesse ada dalam gelombangnya.
Saya membayangkan Hesse menuliskan Perjalanan ke Timur di belakang rumah atau di ruang kerjanya yang dirimbuni buku-buku sembari ia meratapi keadaan dunia kala itu. Mungkin Hesse membayangkan bertemu guru-guru hebat di Barat dan Timur, berbincang dengan mereka, mereguk hikmah dan pengetahuan mereka, dan ini yang penting: menjadikannya obat bagi dunia yang sakit.
Dunia dianggap rusak karena “tipu daya uang, angka dan waktu, yang melumat habis makna kehidupan.” Pencapaian ilmu pengetahuan membuat manusia menjadi sombong dan jemawa, dan makna kehidupan pun menjadi sirna. Terasa sekali dahaga Hesse akan spiritualitas.
Buku Hesse ini merupakan rujukan penting mengenai semangat “mencari Timur” yang mencapai puncaknya pada masa New Age. Di Indonesia, semangat pembaruan spiritual ini memunculkan aliran Teosofi yang banyak diikuti intelektual dan seniman.
“Timur adalah rumah pencerahan,” tulisnya di satu halaman. “Timur adalah rumah atau gelora jiwa,” tulisnya di halaman lain. Yang jelas timur di sini lebih merupakan suatu konsepsi daripada arah geografis.
“Selama berabad-abad dalam perjalanan menuju cahaya dan keajaiban, setiap anggota dan kelompok, bahkan seluruh rombongan besar ibadah suci kami, tidak lain adalah sebuah gelombang dalam arus abadi manusia, jiwa manusia yang baka yang berikhtiar menuju ke Timur, menuju Rumah.”
Buku ini mengingatkan saya pada tema “pencarian” yang memang merupakan inti dari spiritualitas. Pencarian itu bukanlah keluar, berziarah secara fisik ke berbagai tempat, dan tidak juga menemukan sesuatu. Sebab, yang dicari sebenarnya ada di dalam; ada di diri sendiri. Itulah pencerahan jiwa.
Ada satu baris puisi Novalis, seorang penyair Jerman, yang dikutip di sini dan menggambarkan semangat pencarian dalam tradisi mistik di berbagai kepercayaan dan agama.
“Ke mana sesungguhnya kita pergi? Selalu menuju Rumah!”
Dan rumah itu adalah jiwa kita.
Baca edisi sebelumnya: Pariyem, Perempuan Hebat yang Tak Seberuntung Nyai Ontosoroh dan tulisan di kolom Iqra lainnya.