MOJOK.CO – Seorang bajingan tergugu di halaman masjid menyimak khotbah Jumat yang menyentuh hatinya untuk bertobat. Kisah itu termuat dalam cerpen “Hati yang Damai, Kembalilah kepada Tuhan”.
Pada suatu hari, di tengah terik matahari membakar, dua orang pemuda melakukan perjalanan. Untuk menghalau capek, lapar, dan haus mereka kemudian beristirahat di pinggir sungai. Tetiba seorang dari mereka melihat sebiji jambu matang mengambang hanyut. Segera saja ia mengambil dan memakannya.
Setelah hampir separuh memakannya, temannya mengingatkannya bahwa jambu yang ia makan tidak halal. Memang jambu itu telah jatuh dan hanyut dibawa air, tapi bagaimanapun ia belum mendapat izin dari pemiliknya. Siapa mengerti jika pemiliknya ternyata merasa kehilangan dan mencari jambu itu.
Si teman tersentak dan menyadari bahwa ia telah khilaf. Ia lalu menitip pesan kepada temannya untuk menyampaikan pamit kepada ibunya bahwa tidak pulang. Ia akan terlebih dulu mencari pemilik jambu tersebut.
Mereka berpisah dan ia pun berjalan ke arah hulu sungai. Setelah berhari-hari menelusuri, barulah bertemu si pemilik jambu tersebut.
Si pemilik jambu ternyata tidak begitu saja menerima permintaan maafnya. Ia katakan, jika pemuda itu menghendaki keikhlasannya, tinggallah di sini bersamanya. Pemuda itu kemudian tinggal di rumah tersebut, menunggu si pemilik jambu memaafkannya.
Tahun demi tahun lewat dan ia masih tinggal di sana sembari berguru kepada lelaki pemilik jambu. Rindunya kepada ibu dan kampung halaman telah menumpuk, tetapi belum juga ia beroleh kerelaan si pemilik jambu. Berkali-kali ia menanyakan, jawabnya selalu “Belum.” Lama –lama ia sadari ia telah jatuh cinta pada tempat itu dan ingin tinggal selamanya di sana.
Pemilik jambu yang kini menjadi gurunya memuji kesabaran pemuda itu. Namun, ia tetap belum boleh pulang. Masih punya satu pekerjaan lagi. Si guru memintanya menikahi putrinya yang buta, bisu, dan memiliki cacat di tangan. Demi mendapatkan kerelaan, lagi-lagi si pemuda pasrah menerima.
Dengan hati tak keruan ia menemui gadis calon istrinya. Nyatanya, yang ia temuinya adalah seorang gadis jelita dengan wajah bercahaya bagai bulan dan tidak memiliki cacat tubuh sedikit pun.
Ia kembali kepada gurunya, yakin bahwa ia telah menemui perempuan yang salah. Namun, memang dialah putri sang guru. Gadis itu memang buta, dalam pengertian tak pernah melihat apa yang diharamkan oleh Allah; bisu karena seumur hidupnya belum pernah mengucapkan kata-kata kotor; tangannya cacat, bukan karena terjatuh, melainkan karena belum pernah menyentuh apa-apa yang haram untuk disentuh.
***
Sejarawan dan sastrawan Kuntowijoyo menceritakan ulang kisah ini melalui khotbah Jumat Kiai Hasan. Dalam cerpen “Hati yang Damai, Kembalilah kepada Tuhan”, tersebutlah tokoh Syuja’i, seorang preman tua pemabuk, penjudi, dan penjahat kelamin yang saat itu sedang teler di bawah pohon tanjung di depan masjid. Dalam keadaan teler itu, ia samar-samar menyimak khotbah Kiai Hasan itu. Meski tidak ikut salat Jumat, bisa dikatakan bahwa Syuja’i adalah orang yang paling khusyuk dan serius menyimak khotbah tersebut.
Sekitar satu jam sebelumnya, dengan tertatih-tatih Syuja’i berusaha masuk ke dalam masjid. Ia hanya sampai halaman dan kemudian roboh terkapar di bawah pohon tanjung. Orang-orang tak mau menyentuhnya karena ia dianggap kotor dan najis. Para pemuda hampir menyeretnya keluar dan melemparkannya di jalan karena hanya dianggap mengotori masjid.
Lalu Kiai Hasan datang. Ia, orang yang sangat dibenci Syuja’i, meminta agar lelaki yang telah malang melintang dalam dunia ma lima itu tidak diganggu. Ia juga minta agar lelaki itu segera dikasih air putih. Para pemuda kecewa dan mengira Kiai Hasan telah khilaf.
Kisah yang disampaikan Kiai Hasan di atas diceritakan dengan lancar oleh Kuntowijoyo dengan diselingi celetuk dan gumam Syuja’i. Awalnya ia geram karena merasa cerita itu tidak masuk akal dan mengada-ada. Namun, makin ke belakang, ketika sampai di episode ketika lelaki pemakan buah jambu itu beroleh kebahagiaan karena konsistensinya untuk tidak makan sedikit pun makanan yang haram dan beroleh kebahagiaan, hatinya jadi tersentuh. Jika hanya sebiji jambu lelaki itu harus berjuang meminta penghalalan, bagaimana dengan ia yang selama ini bergelimang dalam dosa dan segala yang haram?
Perlahan ia mencoba berdiri. Tidak bisa. Ketika salat Jumat sudah bubar, dengan merangkak ia berhasil menggapai pintu masjid.
***
Ada dua lapis cerita dalam cerpen panjang ini. Pertama, cerita yang telah klasik di dalam khazanah sastra sufi tentang lelaki yang memakan buah jambu yang tidak diketahui siapa empunya dan ketika sadar lalu pergi menelusuri pinggir sungai untuk meminta kerelaan pemiliknya. Kedua, cerita pertobatan si bajingan Syuja’i yang diceritakan dengan dramatis dan menyentuh.
Dengan piawai Kuntowijoyo mengemas dan menggabungkan dua cerita di atas. Dalam setiap paragraf cerita, ia memberikan gambaran suasana dan respons Syuja’i. Ketika khotbah berakhir, jemaah “merasa lega dan menarik nafas panjang. Mereka bersyukur karena pemuda yang sabar itu memperoleh segala keindahan” sementara Syuja’i yang semula mangkel berteriak “bagus!” hanya saja mulutnya tidak bisa mengucapkan itu. Kerongkongannya telah kering.
Di akhir cerita Syuja’i merangkak ingin meraih sarung Kiai Hasan. Sembari memegang sarung Kiai Hasan, ia menangis keras sekali. “Aku ingin bertobat, terimalah tobatku!” rintihnya. “Hanya Allah yang akan menolong, tobatlah kau kepada-Nya. Tenanglah,” jawab Kiai Hasan.
Kiai Hasan kemudian memapah Syuja’i ke rumahnya. Para pemuda menyaksikan keajaiban bagaimana kiai tua mereka bisa membopong Syuja’i; bagaimana kiai yang seumur hidupnya dimusuhi oleh bajingan tua itu begitu jembar hatinya.
Syuja’i bukanlah sosok asing di masjid itu. Pada masa kanak-kanak ia menghabiskan waktunya dengan bermain dan belajar mengaji di sana. Entah mengapa jalan hidupnya kemudian menikung tajam. Ia menjadi bajingan tiada tanding. Ia bikin kampungnya kondang karena kejahatannya. Namun, sebajingan apa pun, Allah adalah maha penerima tobat.
Pintu tobat bisa dilihat terbuka oleh bajingan seperti Syuja’i karena ada sosok seperti Kiai Hasan, pengkhotbah yang lembut dan bijak. Orang seperti Syuja’i, dalam berbagai level, selalu ada. Mereka adalah pengelana yang dahaga. Berjalan ke berbagai tempat dan ketika saatnya tiba dan tempatnya ketemu, mereka akan bertobat. Namun, orang seperti Kiai Hasan, pengkhotbah yang lembut dan bijak, celakanya tak mudah ditemui. Seorang pribadi yang bisa menyedot orang untuk takluk dan tunduk pada hikmah dan kebaikan. Seorang pribadi yang memendarkan cahaya kemuliaan sebuah agama.
Cerpen “Hati yang Damai, Kembalilah kepada Tuhan” adalah pemanjangan dari kalimat Quran, “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan penuh kerelaan!” Kisah ini adalah salah satu dari serangkaian cerpen Kuntowijoyo yang pekat warna sufistiknya.
Baca edisi sebelumnya: Apa Nggak Capek Memperdebatkan Soal-Soal Sepele? dan tulisan di kolom Iqra lainnya.