Niat hati ingin memancing ikan wader, nila, atau beles bermodalkan senar ukuran 0,3 mm dan pancing 0,1 mm, Rully K. (28) justru mendapatkan seekor ikan aligator. Ini adalah teror ikan predator sekaligus invasif yang mengancam ikan-ikan lokal.
Ikan dengan moncong dan gigi tajam bak buaya itu sudah menampakkan diri di permukaan sesaat sebelum berhasil ditangkap. Rully kemudian memasangkan umpan belalang, melemparkan mata pancingnya ke air, dan tanpa ragu langsung disambar oleh predator air tawar tersebut.
Kejadian itu berlangsung cepat, ikan yang masih berukuran sekitar 15 cm tersebut saat ditarik langsung terangkat namun terlepas. Beruntungnya, jatuh di daratan dan bisa langsung diamankan.
Dedy Kurniawan (29) rekan Rully saat memancing mengatakan, begitu ia lihat bentuk ikan. Ia yakin itu jenis ikan predator bernama aligator. Ia pernah melihat jenis ikan itu di Pasar Ikan dan Tanaman Hias Yogyakarta (Pasty).
“Saya langsung terpikir, ikan-ikan kecil di sungai itu pasti habis. Padahal kita sengaja mancing wader, karena memang ikan-ikan besar sudah jarang, lah ini kok ada aligator,” katanya saat dihubungi Mojok.co.
Deddy saat itu berpikir khawatir kalau sampai ada aligator di sungai maka ikan-ikan kecil yang mereka cari seperti wader, kepek pasti akan semakin sulit dicari. “Bagi kami, memancing ikan itu sebagai hiburan, biasanya di hari libur, kalau ikan sulit dicari bagaimana kami menghibur diri,”kata Deddy yang seperti Ruly juga bekerja di pabrik mebel.
Meski aligator tangkapan Rully dan tiga kawannya cukup menggegerkan sosial media, ternyata penemuan itu bukan yang pertama di sungai-sungai sekitar Jogja. Saya menulusuri Grup Facebook Mancing Mania Jogjakarta (MMJ) dan menemukan beberapa unggahan terkait temuan ikan yang habitat aslinya di Amerika Utara ini oleh pemancing.
Hingga tulisan ini dibuat, beberapa pengunggah postingan tersebut belum mengkonfirmasi pertanyaan saya. Akun Facebook bernama Cepuk Wadah Oli bahkan mengunggah aligator jumbo berbobot sekitar 10 kg hasil tangkapan pemancing di Sungai Progo pada April 2018 silam.
Beruntungnya, saya mendapatkan konfirmasi dari Stasiun Karantina Ikan dan Pengendalian Mutu dan Keamanaan (SKIPM) Yogyakarta tentang salah satu aligator terbesar yang pernah ditangkap di perairan Jogja tersebut. “Betul, di Jogja 2018 pernah ditemukan aligator di Sungai Progo dan Winongo,” ungkap Hafit Ramhan, Kepala SKIPM Yogyakarta.
Selain aligator, ia yakin masih ada ikan piranha bahkan arapaima di perairan Jogja, namun belum bisa memetakan pasti jumlahnya. Jangan dianggap keanakearagaman ikan di sungai itu selalu bagus. Sebab eksistensi ikan-ikan predator yang invasif dan habitat aslinya bukan di Indonesia ini mengancam ekosistem perairan lokal.
Lembaga pemantau kehidupan liar internasional seperti International Union for Conservation of Nature (2003) mencatat bahwa ada 57 jenis ikan asli Indonesia yang terancam punah salah satunya disebabkan oleh persaingan habitat dan masuknya ikan asing. Jadi bukan hanya manusia yang sering mempersoalkan asing dan aseng, ikan pun demikian.
Ikan disebut invansif manakala memberikan dampak negatif terhadap ekosistem ikan lain di perairan. Nah sifat invansif ini tak hanya dimiliki oleh predator ganas yang mampu melahap banyak ikan lain seperti aligator, arapaima, dan piranha. Ada juga yang disebut invansif karena kemampuan berkembang biak cepat, rakus, dan mengancam kedaulatan pangan ikan lainnya.
Salah satu ikan invansif yang populasinya besar di perairan Jogja adalah red devil. Ikan berwarna merah yang bentukannya mirip louhan tetapi jidatnya tidak jenong ini sudah umum ditemukan pemancing di perairan Jogja. Namun yang terbanyak di Waduk Sermo, Kulon Progo.
Febryan (29), pemancing asal Sleman ini pernah mengeluhkan banyaknya ikan red devil di Grup Facebook MMJ. “Wes nganggo lumut alus ro kasar tetep wae red devil sek mangan. Aku kudu pie ki komandan,” keluhnya di Facebook.
Saat dihubungi, pria yang mengaku sudah hobi memancing sejak kelas 5 SD ini menjelaskan bahwa seringkali ia mengincar ikan nila dengan umpan lumut saat memancing. Jika memang sengaja mengincar red devil maka ia menggunakan umpan kepiting sungai yang dicacah.
“Kalau sengaja mau mancing red devil itu pasti kena banyak, tapi pas ganti pakan untuk nila, yang kena tetap red devil,” ungkap pria yang kerap memancing di hulu Sungai Winongo dan Waduk Sermo ini.
Saking banyaknya populasi red devil, SKIPM pernah menjaring masal ikan ini di Waduk Sermo. Kemudian memasukkan 1,2 juta bibit ikan nilem untuk menstabilkan ekosistem di sana pada Oktober 2019 lalu. “Red devil ini bukan yang agresif pada ikan lain seperti aligator, tapi berkembang biaknya cepat dan menghabiskan pakan ikan lainnya,” tandas Hafit.
Menurut penelitian LIPI tahun 2013, red devil mulanya ikan asing yang masuk ke Indonesia akhir 1990. Laporan tersebut menunjukkan bahwa tangkapan nelayan di Waduk Sermo menurun dan red devil menjadi 75% ikan yang berhasil ditangkap.
Penyebab terbesar munculnya ikan di perairan yang bukan habitatnya adalah pelepasliaran oleh masyarakat. SKIPM sudah bertahun-tahun melalukan sosialisasi di kalangan penghobi ikan, penjual, bahkan pemancingan agar tidak melepasliarkan sembarang ikan di perairan terbuka.
Bahkan pada 2017-2018 pernah dibuka posko penampungan ikan invansif agar memudahkan masyarakat yang hendak menyerahkan ikannya pada instansi terkait. Meskipun kini posko itu sudah tak ada, SKIPM selalu membuka penyerahaan ikan invansif. “Kalau sudah bosan dengan ikannya, jangan dilepaskan, silahkan diberikan ke kami, atau bahkan hubungi saja, nanti kami yang ambil,” tambah Kepala SKIPM.
Ada 75 jenis ikan asing yang dilarang beredar di Indonesia dalam Peraturan KKKP Nomor 19 Tahun 2020 Tentang Larangan Pemasukan, Pembudidayaan, Peredaraan, dan Pengeluaran Jenis Ikan Membahayakan atau Merugikan. Diedarkan saja sebenarnya dilarang, apalagi dilepasliarkan.
Sebenarnya tak cuma ikan asing saja yang dilarang dilepasliarkan. Ikan endemik Indonesia juga tak bisa dilepaskan di sembarang perairan. Salah satu yang sedang tren misalnya jenis channa atau umum dikenal gabus. Jenis channa asing yang dilarang beredar itu channa marulius atau indian snakehead.
Ada juga channa lokal yang meskipun tak dilarang di regulasi tapi secara ilmiah tidak baik untuk dilepaskan di perairan Jogja, misalnya channa jenis toman yang habitat aslinya di Kalimantan. “Sebenarnya semua channa itu punya potensi invansif termasuk yang lokal, jadi ya harus stay di perairan daerahnya masing-masing,” tutupnya.
Baca Juga : Ikan Arapaima, Monster Air Tawar yang Dilepas ke Sungai Brantas dan tulisan Susul lainnya.
[Sassy_Social_Share]