Dandananmu bisa menentukan di kampus mana kamu kuliah. Pengalaman bicara, jargon BSI bukan pepesan kosong belaka.
Di Yogyakarta, jika di jalan kamu lihat ada anak muda pakai kemeja hitam lengan panjang berbahan kanvas, yakinlah: itu anak UGM. Tidak percaya? Coba mendekat, bisa dipastikan ada bordir logo UGM di punggungnya. Sebab, jika anak kampus lain disuruh pakai jas alma mater saja malas, anak UGM justru giat berswadaya bikin kemeja-kemeja kelas/jurusan/fakultas/Hima/ormawa/BEM yang template-nya seperti sudah jadi brand: kemeja hitam lengan panjang berbordir logo UGM.
Alternatif lain prejengan anak UGM? Kaus KKN. Berlogo UGM. Tetep.
Selain UGM, kampus lain yang ciri fesyen mahasiswanya mencolok adalah UIN. Sarungan/celana, pakai kaus gelap, gondrong, siang-siang di warung kopi: sudah pasti anak UIN.
Lain lagi kalau kamu ketemu orang berpakaian putih hitam pagi-pagi. Bisa jadi dia bukan sales atau anak magang Indomaret, melainkan mahasiswa jurusan kependidikan dari beberapa kampus di Yogya.
Bagaimana dengan mas-mas rambut gondes berkemaja kain kedodoran dengan kancing atas dibuka? Dia bukan remaja ’70-an yang sedang tur ke masa depan. Coba cek alas kakinya. Kalau sepatunya sneakers atau bot, itu dia anak Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.
Di kampus dengan lambang Hindu dan jurusan yang memproduksi tenaga pembuat patung ini, prejengan adalah soal eksplorasi seni. Semakin murni senimu, makin edan (baca: eksploratif) laku hidupmu. Termasuk soal prejengan. Ini berlaku bukan cuma pada mahasiswanya, tapi juga untuk dosen-dosennya.
Hanya dan hanya di ISI kamu akan ketemu dosen yang saat ngajar tiba-tiba merobek kemejanya hanya untuk menunjukkan bahwa dia pakai kaus dengan logo Superman. Ini kisah nyata, dengan pelaku sejarah bernama Bapak Petrus Gogor Bangsa. Atau lain kali, seorang lelaki seliwar-seliwer dengan baju koko dan sarung. Dosen agama? Bukan. Dia mahasiswa.
Otentisitas anak ISI dalam berpakaian ini membuat Mojok Insitute penasaran untuk memantau model pakaian macam apa saja yang beredar di kampus itu. Berikut hasilnya, siapa tahu bisa membantu maba-maba untuk semakin ISI jiwa dan raga.
Gaya Tabrak Warna
Sneakers hijau pupus dengan kaus kaki merah muda yang tidak panjang, tidak juga pendek. Celana jeans marun dengan ujungnya dilipat biar bisa pamer kaus kaki meriah tadi. Untuk atasan, kaus tipis, adem, dan santai yang dilapisi kemeja cerah dengan kancing terbuka. Untuk aksesori kepala, pakai topi bucket tukang parkir dan flat cap pelukis dengan rambut dicat cerah. Gaya seperti ini bisa dijumpai di Jurusan Tekstil dan Kriya.
Gaya berkabung
Warna hitam-hitam banyak ditemukan di antara mahasiswa yang sedang mengerjakan tugas kuliah sampai larut malam di kampus. (Kalau zaman dulu, bahkan sampai memindah isi kos masing-masing ke kampus agar lebih total.) Pekerjaan seni yang melibatkan material penyebab kotor, seperti tanah liat, cat air, kayu/bambu, serta keringat saat berlatih sepertinya menjadi pemicu untuk memilih kaus dan celana hitam sebagai teman kerja.
Selain itu, kadang kaus hitamnya dipakai terbalik. Apa motifnya? Pamer merek di kerah baju? Semua orang punya alasan masing-masing.
Gaya Rocker
Kaus hitam, jaket, dan celana jeans biru dengan noda-noda cat dipadukan dengan bot hitam mengilap full aksesori. Kemudian di tangan dan leher, kenakan rantai, gelang, dan anting/piercing. Dengan dandanan berkompisisi sama, jika diganti dengan kostum yang lebih kolonial dan sedikit berbau Karibia, penggunanya akan tidak bisa dibedakan antara mahasiswa Seni Rupa/Seni Musik atau Jack Sparrow.
Dandanan ini biasa dipakai mahasiswa yang nge-band setelah kuliah. Jangan remehkan dunia musikal anak ISI, terutama anak Seni Rupa. Kesuksesan FSTVLST atau Steak Daging Kacang Ijo sudah jadi buktinya.
Gaya SKJ ‘94
Ketika pengamatan untuk tulisan ini berlangsung, secara tak sengaja Mojok Institute menemukan seorang mahasiswa dengan celana training, tidak pakai alas kaki, dan kaus putih lengan panjang penuh tanda tangan teman ospeknya sedang lewat. Sungguh kompilasi luar biasa antara jiwa sporty dan rasa setia kawan.
Walau tak mesti senyentrik itu, pemakai training bukan pemandangan langka di ISI, apalagi di Jurusan Teater. Datanglah ke ISI di pagi menjelang siang atau pada sore hari saat mereka sedang latihan vocalizing sambil jogging keliling lapangan parkir Fakultas Seni Pertunjukan. Maling pun akan pikir-pikir untuk beraksi di jurusan ini jika tak mau dikejar sampai bengek. (Mending maling di Jurusan Filsafat, Bro.)
Gaya Majapahit
Di pendopo kekuasaan anak Seni Tari, dresscode terbaik untuk dikenakan adalah yang tipis, elastis atau longgar sekalian, tidak panas, dan kompromistis dengan keringat. Di sinilah celana kulot, palazo, joger, fit n flare dipadukan dengan kaus ketat berkerah scoop/turtleneck atau kaus manset dipakai oleh mbak-mbak berkepang panjang dengan kalung selendang tari. Kalau Gaj Ahmada nggak sibuk perang dan sering-sering jalan ke keputren Kerajaan Majapahit, mungkin tragedi kayak gini nggak bakal terjadi.
Gaya Standar
Kaus oblong, kemeja flanel nggak dikancing, dan sneakers buat cowok. Kaus atau blus berbahan ringan, celana jeans pensil (astaga, istilah ini masih hidup nggak sih?), dan flat shoes berwarna cerah untuk cewek. Ini mungkin gaya yang bisa ditemukan di semua kampus, termasuk ISI. Sebab, nggak semua anak ISI ingin jadi pusat perhatian.
***
Ketika kampus lain semakin ketat menyeragamkan busana mahasiswanya, di ISI Yogya celana pendek masih diperbolehkan, sepatu dan kemeja tidak jadi kewajiban. Untuk kampus dengan cerita nyeleneh seperti sepeda ontel wajib ber-STNK, pembolehan seperti itu sangat wajar.
Bahkan dirayakan malah.
Buktinya, di Pascasarjana ISI, ada acara tahunan bernama “Sehari Boleh Gila”. Mungkin, kalau ada orang gila masuk ke lingkungan ISI, dia nggak akan bisa dibedakan dari mahasiswa ISI sendiri.
Soal prejengan, memang tidak semua jurusan edan bin ulala begitu. Anak Jurusan Desain Interior cenderung berlaku “normal”. Kata seorang teman, kultur edan-edanan di ISI memang mulai hilang. Sudah susah mencari cerita tentang mahasiswa yang pakai celana dalam di luar seolah-olah Superman (yang dilakukan pelukis Bob Sick) atau memakai kostum wayang orang lalu naik sepeda 7 kilo dari ISI ke UGM (yang dilakukan pelukis S. Teddy D. dan Yustoni Volunteero, kisahnya ada di buku Menanam Padi di Langit). Ya, hidup pendek, dan seni berubah ….
Buat kamu-kamu yang punya pengamatan soal dresscode kampus-kampus se-Indonesia, jangan ragu membagikannya di kolom komentar tulisan ini atau di medsos Mojok yha~