MOJOK.CO – Bastian Tito tak hanya membekali Wiro Sableng dengan jurus dan senjata sakti mandraguna, tetapi juga guru-guru yang cocok ngajar di filsafat.
Jika Amerika memiliki Superman dan di Jepang ada Naruto, maka Wiro Sableng adalah jagoan kebanggaan Nusantara. Namanya tersohor melintasi tiga generasi.
Pendekar jebolan Akademi Fantasi Silat Gunung Gede ini umumnya dikenal karena sepak terjangnya di dunia persilatan. Ada juga yang mengidentifikasikannya sebagai playboy kelas kakap yang merajalela jauh sebelum era Boy dalam Catatan Si Boy dan Boy di sinetron Anak Jalanan.
Namun, dari sekian banyak cara kita memahami karakter ikonik itu, jarang ada yang memerhatikan peran dan jasa guru-gurunya. Apalagi memelajari ilmu-ilmunya. Hambok yakin, banyak yang lebih hafal jurus Kunyuk Melempar Buah, kan, ketimbang makna dari simbol angka 212 di dada?
Padahal berbeda dengan tokoh-tokoh pahlawan fiktif belakangan, Bastian Tito tidak hanya membekali Wiro Sableng dengan jurus-jurus dan senjata yang sakti mandraguna, tetapi juga dengan nilai-nilai filosofis yang sarat akan pembelajaran. Yang mana peran dan fungsi ini sering kali diejawantahkan lewat kegiatan belajar mengajar si murid sableng dengan guru-gurunya yang gendeng.
Pertama, Sinto Gendeng
Kurang afdol rasanya jika kita mengidolakan Wiro Sableng tanpa mencintai gurunya, Sinto Gendeng. Lah wong blio-lah yang paling bertanggung jawab dalam pembentukan karakter si Wiro.
Seperti yang kita ketahui, sebagian besar jurus dari Wiro merupakan ilmu-ilmu yang diturunkan Sinto Gendeng. Bahkan mustika sakti yang berupa kapak, bermata dua, bermulut satu, berkepala naga, Kapak Naga Geni 212 namanya—hayo siapa yang nyanyi?—adalah warisan darinya.
Lalu, dari semua itu, yang paling top markotop sebenarnya justru makna di balik angka 212.
Tentu angka tersebut tidak sembarangan dirajah di dada Wiro hanya untuk keren-kerenan semata, biar terlihat lebih badass. Bukan juga nomor keberuntungan yang sewaktu-waktu bisa digunakan Wiro untuk berjudi.
Di buku pertama serial Wiro Sableng yang berjudul Empat Berewok Dari Goa Sanggreng, dikisahkan sebelum Sinto Gendeng mewariskan Kapak Naga Geni 212, dia terlebih dahulu menerangkan arti dan makna dari angka 212 tersebut.
Bahwa segala yang ada di dunia ini diciptakan berlainan sekaligus berpasangan yang merupakan unsur keduniawian. Dan di atas itu semua ada satu yang tertinggi, yakni Sang Pencipta.
Gendeng betul kan petuahnya?
Alih-alih menjelaskan secara mudah dan ringkas, Sinto Gendeng justru membungkusnya dengan analogi yang mengerutkan dahi. Padahal bisa saja blio menyuruh muridnya untuk jangan mencuri, jangan membunuh sembarangan, jangan lupa salat atau semacamnya, tapi Sinto Gendeng lebih memilih metode diskusi dan analogi dengan tujuan agar ada insight dari dalam hati muridnya sendiri.
Dari buku pertama saja saya sudah bingung, sebenarnya ini cerita silat atau cerita filsafat?
Kedua, Tua Gila
Kalau Sinto Gendeng adalah guru Wiro sejak kecil, lain halnya dengan Tua Gila. Pertemuan antara Wiro dengan Tua Gila baru terjadi di serial Banjir Darah Di Tambun Tulang.
Dikisahkan bahwa pertemuan mereka merupakan ketidaksengajaan. Wiro yang ingin berterima kasih kepada Tua Gila karena telah menyelamatkan nyawanya, justru dibuat kesal dan bingung dengan segala tingkah laku ganjil dari orang tua tersebut.
Si Tua Gila ini selalu memaksa Wiro melakukan sesuatu tanpa diberikan penjelasan apa pun sebelumnya. Barulah setelah semua ujian berakhir dan kesabaran Wiro hampir habis, dia menerangkan semuanya dengan gamblang.
Mirip-mirip seperti kisah antara Musa dan Khidir lah. Dan memang begitulah metode yang digunakan Tua Gila untuk menurunkan ilmunya. Daripada menceramahi si bocah sableng dengan petuah-petuah yang berat, lebih baik membiarkannya bertanya-tanya dan mencari sendiri kebenarannya.
Tidak sampai di situ saja, bahkan jurus yang diberikan kepada Wiro pun merupakan jurus yang tidak biasa, yaitu Ilmu Silat Orang Gila. Jurus itu mengajari Wiro untuk berpikir dan bergerak layaknya orang gila. Karena dengan menjadi orang gila—baik secara harfiah maupun batiniah—manusia justu akan melupakan kegilaan dunia.
Edan betul! Nggak papa sih asal nggak kebablasan aja kayak kredo mahasiswa bangkotan di fakultas filsafat Beni Satryo, penulis Pendidikan Jasmani dan Kesunyian.
“Anak filsafat pasti ngomongin Tuhan. Tahun kedua ngomongin kedirian, eksistensi, kesendirian—yang galau-galau gitulah. Tahun ketiga nggak ngomongin filsafat. Tahun terakhir nggak ngomongin apa-apa.”
Ya sama kayak ujung-ujung cerita Wiro Sableng, yang udah kayak pepatah lama, “Tuhan menciptakan dua tangan dan satu mulut semata-mata agar ketika baku hantam adu jurus silat, tak perlu lagi ada debat soal filsafat.”
Ketiga, Kakek Segala Tahu
Untuk urusan baku hantam, memang kakek ini tidak menurunkan satu pun ilmu silat. Namun, di berbagai situasi genting, blio-lah rujukan Wiro yang paling bisa diandalkan. Meskipun kedua matanya buta, tetapi Kakek Segala Tahu dapat mengetahui lokasi dan posisi siapa pun yang ada di dunia.
Coba kita resapi. Ketika orang-orang normal bertanya “di mana” dan “ke mana” lalu yang ditanya selalu bisa menjawab keduanya padahal ia tidak memiliki penglihatan lagi, bukankah itu sangat ironis?
Ada satu pesan dari Kakek Segala Tahu yang sangat epik. Yaitu ketika Wiro memberikan pujian padanya dan malah dibalas dengan kalimat nylekit. Kakek Segala Tahu mengatakan bahwa semakin dalam manusia memelajari sesuatu, maka semakin dia tidak tahu.
Ini Bastian Tito mengutip novel Dunia Sophie-nya Jostein Gaarder atau malah sebaliknya? Atau jangan-jangan keduanya sama-sama seorang filusuf, ya?
Sebenarnya masih banyak lagi karakter lain yang menjadi sosok guru di kisah Wiro Sableng. Hanya saja mereka sekadar menurunkan ilmu silat semata. Perkara gelut tok. Berbeda dengan ketiga tokoh di atas yang selain jago silat, saya mencurigai kalau mereka ini diam-diam juga merupakan dosen di fakultas filsafat.
BACA JUGA Menerjemahkan Perilaku Patrick Star Melalui Pseudo-filsafat dan tulisan Mohammad Ibnu Haq lainnya.