MOJOK.CO – Saat Indonesia bisa mengatasi wabah H1N1 dan H5N1, menteri kesehatan dijabat seorang perempuan. Apakah ini sinyal bahwa pemimpin perempuan lebih mumpuni?
Melihat negara bekerja menangani pagebluk corona ini buat saya sungguh hhhrrrgghhh. Gemeeesssh pengen ngejahit mulut pejabat. Saya nggak bisa jahit sih, tapi jahit cocot nggak perlu serapih njahit badge seragam sekolah anak kan.
Rasanya kueseeelll mantengin konpers jubir Covid-19 yang nyalahin masyarakat melele. Kami masih melihat ada ketidakdisiplinan di masyarakat dalam menghadapi wabah ini…. Eluuu, pejabat pemerentah yang nggak disiplin. Rakyat aja disalahin terus. Kamu, kamu, kamu: presiden, menteri, pejabat berwenang, yang dari hulu ke hilir anti-intelektual plus anti-sains, malah pro-investesyong semu. Mata dan telinga Anda-Anda di mana sih?
Begitu saya ngomel-ngomel di dapur, menyiapkan makan malam sambil memantau breaking news.
Begitu situasi wabah makin mengkhawatirkan, banyaklah orang yang mulai melakukan perbandingan anu ina inu. Salah satu yang saya dengar, membandingkan peristiwa sekarang dengan jaman flu burung dan flu babi. Dulu waktu flu burung kok relatif anteng, nggak seheboh corona? Soalnya medianya dulu juga nggak sepanik sekarang sih. Generalisasi banget komentar cem begini, lalu berakhir dengan pers yang disalahin. Belum aja mulutnya di-lockdown kayak di Cina, yang udah sampai tahap, satu-satunya harapan akan informasi dan transparansi tinggal tekanan dari pers dalam dan luar negeri.
Sana ngebanding-bandingin, saya juga mau membanding-bandingkan. Apa karena dulu menteri kesehatan kita perempuan, terlepas dari kasus yang sekarang menjeratnya, penanganannya jadi lebih sigap, nggak sembarangan kayak The Cloudest? Apakah pemimpin harus perempuan dulu sehingga di jaman itu wabah H1N1 dan H5N1 nggak separah sekarang. Jangan-jangan….
Menyebut perempuan lebih baik dalam mengatasi masalah-musibah-wabah ini bisa kepeleset jadi pernyataan seksis. Tapi, bolehlah kita membayangkan seandainya penanganan Covid-19 di negara kita dipimpin oleh perempuan. Perempuan kan katanya lebih welas asih, lebih sigap urusan orang sakit, lebih ngemong. Ibu-ibu tuh, coba anaknya demam sedikit aja, otaknya udah mikir sekian langkah ke depan; kalau begini, langkah yang diperlukan apa… kalau yang kemudian terjadi begono, musti naikin level kewaspadaan segimana….
Tapi dunia ini sebagian besar dipimpin oleh laki-laki. Sedang pemimpin perempuan cuma 25%, dengan fakta tambahan, sebanyak 70% tenaga kesehatan di seluruh dunia adalah perempuan. Sebagian dari kaum 25% ini sedang disorot karena caranya menyikapi wabah menuai pujian dari publik dunia.
#1 Angela Merkel, Kanselir Jerman
“It’s serious, so take it seriously,” kata Angela Merkel. Ia menyebut Covid-19 sebagai tantangan terbesar Jerman setelah Perang Dunia II. Kebayang level kewaspadaannya?
Jerman telah berhasil menekan tingkat kematian karena Covid-19 sampai kurang dari 3% (bandingkan dengan pernyataan Opung Luhut yang baik-baikin kondisi Indonesia dengan menyebut pasien yang meninggal “cuma 500”). Ya gimana, Ibuk Kanselir ini selain politikus juga ilmuwan, doktor kimia kuantum.
This is how Angela Merkel explained the effect of a higher #covid19 infection rate on the country’s health system.
This part of today’s press conf was great, so I just added English subtitels for all non-German speakers. #flattenthecurve pic.twitter.com/VzBLdh16kR
— Benjamin Alvarez (@BenjAlvarez1) April 15, 2020
#2 Kang Kyung Wha, Menteri Luar Negeri Korea Selatan
Saat diwawancara Andrew Marr dari BBC, Kang Kyung Wha mengatakan bahwa faktor keberhasilan mereka menekan penyebaran virus adalah transparansi. Mereka melakukan 20.000 tes per hari dan membuat rakyat terinformasi. Ini baru namanya tes massal -_-
#3 Tsai Ing Wen, Presiden Taiwan
Beliau menjadi pemimpin yang tercepat merespons Covid-19 sejak nama virusnya masih random abis: dari virus Wuhan jadi virus corona jadi novelcorona, sampai WHO memberi nama resmi SARS-CoV-2. Lebih cepat lebih baik, kata Ibu Presiden. Hasilnya? Case fatality rate (CFR) atau persentase kasus yang berakhir kematian di Taiwan sebesar 1,5%; yakni 6 kematian dari 395 total kasus per 17 April. Bandingkan dengan tingkat kematian pasien di seluruh dunia sebesar 6,7%, dan tingkat kematian di Indonesia yang 9%. Padahal, secara geografis Taiwan sangat dekat dengan negara episentrum wabah.
#4 Jacinda Ardern, Perdana Menteri Selandia Baru
Masih ingat pernyataan sikap Jacinda Ardern terhadap pelaku teror penembakan di masjid Christchurch? “He is a terrorist. He is a criminal. He is an extremist. But he will, when I speak, be nameless.” Setegas dan selugas itu pula Jacinda Ardern menyikapi wabah Covid-19. Saat 6 warga negaranya positif Covid-19, ia segera memutuskan menutup pintu masuk ke negaranya.
#5 Erna Solberg, Perdana Menteri Norwegia
Saya punya teman dekat yang tinggal di Norwegia. Dia bilang gini, “Lu kalo cerai di Norwegia mah tinggal ongkang-ongkang kaki. Kalo mantan suami lu nggak patuh sama kesepakatan perceraian kayak aturan soal biaya dan santunan untuk anak, tinggal lapor polisi, polisi yang ngurus.” Segitu idealnya jadi penduduk Norwegia. Kita mah boro-boro ngomongin hak dan kewajiban dalam kasus cerai, apalagi universal basic income… masih jauh. Yang jelas-jelas jadi hak warga negara aja kalo bisa dilanggar, ditilep, dikorup, kenapa dipenuhi? 🙁
Bu Erna Solberg ini punya cara jitu dalam memenuhi hak anak akan informasi selama pandemi. Dia didampingi Menteri Pendidikan dan Menteri Urusan Anak-anak & Keluarga, mengadakan konferensi pers yang didedikasikan untuk anak-anak Norwegia. Ketiga pejabat tersebut menjawab pertanyaan lewat program TV anak NRK Super dan koran anak Aftenposten Junior.
Nangis gak lo, liat pemimpin ngomong ke anak-anak, “Ini adalah hari-hari luar biasa, banyak anak merasa takut. Gapapa kalau kamu takut, saat ini sedang ada banyak hal terjadi di waktu bersamaan.” Pertanyaan anak-anak itu pun seperti: Apa aku masih boleh mengadakan pesta ulang tahun? Apa aku bisa mengunjungi kakek/nenek setelah pergi berbelanja? Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk membuat vaksin? Apa yang bisa kulakukan untuk membantu sesama?
Dengan menjawab pertanyaan mereka, Perdana Menteri berhasil memberi pengertian kepada anak-anak pentingnya tetap berada di rumah selama pandemi.
Lha kita, muluk banget mau dapet jawaban bener dari pejabat publik, dengerin pernyataan mereka aja pusing. Serbagantung dan nanggung. Jubir Covid-19 ngomong begini, menkes ngomong begitu, jubir presiden lain lagi ngomongnya, menko ngomong begono, presiden baru kemaren netapin Covid-19 sebagai bencana nasional. Ke mana aja, Pak? Hah, begini amat melihat negara bekerja. Koordinasi antarlembaga nggak kompak.
***
Pernah nggak berpikir kenapa pasien sakit jiwa lebih banyak perempuan? Tentu saja karena dunia diatur dengan cara kerja laki-laki (wow, I sound like a feminist). Coba tanyakan ke ibu kita masing-masing sesuatu seperti, siapa yang paling bikin mereka gila dalam hidupnya? Jangan-jangan jawabannya adalah makhluk yang seranjang sekeranjang dalam hidupnya.
Bukan harta yang bikin perempuan jadi gila. Kagak. Melainkan negara dan agama yang selalu menaruh lelaki di posisi strategis. Surplus privilese yang didapat laki-laki itu yang menyebabkan perempuan harus bekerja dua kali lebih keras untuk bisa mendapat peran signifikan dalam masyarakat.
Tapi premis di atas, bahwa pemimpin perempuan lebih jago menangani wabah, langsung hangus ketika faktanya Presiden Ghana yang berkali-kali di-quote karena pidato inspiratifnya, adalah seorang lelaki. Cina yang kita pikir statistik udah paling parah dan ternyata bukan, pemimpinnya juga laki-laki.
“I assure you that we know what to do to bring back our economy back to life. What we do not know is how to bring people back to life.”
Addo Showboy with an early quote-of-the-year contender. pic.twitter.com/puoI6FInKh
— Lexis (@niilexis) March 28, 2020
Artinya, ini bukan soal gender mana lebih baik, melainkan pemimpin perempuan dan laki-laki terbukti sama-sama bisa menunjukkan gestur positif menangani virus corona. Apabila di satu tempat pemimpin didominasi laki-laki, adalah keharusan untuk melibatkan perempuan dalam mengambil kebijakan. Soalnya wabah ini telah berdampak begitu luas, sementara imajinasi kita kadang dibatasi oleh (pengalaman) gender. Buat contoh, apa ada pemimpin laki-laki yang berpikir pandemi ini harus segera diakhiri bukan semata karena dampak ekonominya, melainkan supaya kasus KDRT yang meningkat selama orang-orang diem di rumah bisa diatasi? Kalau ada, show me one.
Jadi, bukannya mikir it’s nothing to do with woman (leader), mindset-nya harus diganti jadi it’s something to do with woman. Dan itu harusnya nggak sulit.
BACA JUGA Mempersiapkan Anak Menghadapi Situasi Gawat Darurat dan esai GALUH PANGESTRI lainnya.