MOJOK.CO – Tajuknya sungguh menohok, “The Next Didi Kempot.” Tapi acaranya ternyata cuma pencarian bakat biasa. Cuma dompleng nama ternyata.
Lelah rasanya melihat acara-acara—baik awarding maupun talk show—yang secara terang-terangan “menghadirkan” kembali sosok Didi Kempot. Sosok yang menurut sebagian dari kami, pemegang teguh tradisi patah hati dinjogeti, meletakan tangis seorang laki-laki dengan sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.
Acara-acara ini memutar alunan musik sedih, gambar Pakde Didi Kempot terpampang dengan nyata dan host merendahkan nada suaranya selagi mencari derai air mata dengan paksa.
Maksud saya, memberikan penghormatan tentu saja boleh. Apalagi sosok Pakde Didi nggak usah ditanyakan lagi kelayakannya. Namun kesan yang acara-acara itu hadirkan, seakan mengajak masa penikmat Pakde Didi hanya untuk menangis dengan terpaksa.
Padahal, Pakde Didi semasa hidupnya, dari panggung ke panggung, mempersilakan siapa saja menangis, tanpa perlu adanya paksaan.
Kontradiktif, ya itulah televisi, mencari rating dengan paksaan yang kadang bikin penontonnya mbatin, “Opo, sih?” Lantas hadir satu acara lagi, katanya sih mencari sosok pengganti Pakde Didi.
Tajuknya aja sungguh menohok, The Next Didi Kempot. Bahkan pusara Pakde saja belum kering lho ini, tangis para penggemarnya pun saya yakin belum tutug. Kok ya ada yang mencari the next-the next-nya Didi Kempot. Wagu sih nggak, tapi blasss hora mutu.
Cita-cita Pakde Didi, di beberapa awarding yang blio singgahi pernah komentar bahwa cita-citanya adalah mengembalikan semangat musik-musik daerah. Mungkin cita-cita ini yang keliru diterima beberapa pihak.
Dari nama acaranya aja, The Next Didi Kempot, ini kan berarti mencari sosok yang bisa menggantikan Didi Kempot. Sudah, sudah, nggak usah mengelak, lha wong dari tajuknya saja sudah jelas begitu kok. Mulai dari bagaimana Pakde Didi bernyanyi, bertutur dengan penontonnya, kemudian bagaimana blio menyampaikan makna dari tiap lirik yang disampaikannya, ya itulah the next.
Bagaimana para penggemar sepak bola dibuat kecewa dengan the next-the next-nya Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo, begitu sekiranya nasib sobat ambyar ke depannya. Orang yang diberi label “the next”, biasanya merasa mempunyai beban yang menggunung, anehnya di acara The Next Didi Kempot ini nggak je, banyak tuh yang mendaftar.
Dan jebul konsepnya ya sama aja dengan pencarian bakat lainnya. Sama-sama ada Mbak Inul dan Mas Danang yang embuh kalau komentar kok ya berasa aneh. Kontestasi pencarian bakat dangdut, namun dikemas dengan embel-embel sebagai penerus tahta Didi Kempot.
Maksud saya, ini agak jahat, sih. Kalaupun namanya “The Next Campursari” masih mashook lah, lah ini terlihat hanya sekadar memakai nama besar Pakde Didi. Para penggemar Pakde Didi yang lain, pasti juga terbersit keheranan yang sama kayak saya ketika lihat konsep acara ini pertama kali, “Acara uopo tho iki?”
Lha wong sobat ambyar yang nonton menantikan atmosfer kala menonton Pakde Didi, malah yang ada jadi nontonin Mas Danang ngelawak. Duh dek, sudah ambyar makin ambyar. Bukan ambyar karena nikmat seperti nonton konser Pakde Didi, tetapi karena kecewa ambyar setengah mati.
Namun di balik setiap kekurangannya, ya harus saya akui tujuan acara ini sih baik, yakni melestarikan dangdut daerah atau tren campursarian tetap terjaga. Mulai dari Via Vallen, Denny Caknan, hingga Nurbayan. Bisa dibilang lengkap lah untuk mengisi kekosongan lawakan Mas Danang. Pun lagu-lagu yang dibawakan maupun pesertanya, saya nggak ada masalah kok.
Kalau niat dan tujuannya mau ngibing di depan televisi, Mbak Inul dan Via Vallen sih sebenarnya sudah memenuhi standar konsumsi itu. Namun kalau ngobrolin tentang filosofi menangis sampai teriris-iris, kemudian bernyanyi dan berteriak, lantas bilang, “Mantan cen bhaaajingaaan!” dieksekusi ala-ala tayangan kompetisi biar bisa tayang berkali-kali demi rating televisi?
Hm, mohon maaf saja, acara model begini bukan pilihan yang tepat.
Spaneng, runtut, dan penuh teknik, rasanya nggak mashook deh buat kami-kami yang siap jadi palugada derai air mata. Bukan bagus nggaknya resonansi suara, melainkan siapa dan bagaimana caranya menyampaikan. Ni lho, lihat di YouTube, wes, bagaimana cara Pakde Didi mengobok-obok perasaan orang-orang yang nonton blio.
Muda-mudi, tua muda, jomblo atau sudah punya pasangan, bahkan nenek saya orang Sunda, kalau dengerin lagu Tatu, mbrebes mili lho. Intinya saya nggak meragukan penerus-penerusnya, mau itu kontestan atau Denny Caknan yang digadang-gadang sebagai penerus, namun bagaimana cara orang-orang setelah Pakde Didi ini besar dengan caranya sendiri.
Mereka besar tanpa beban gelar “the next Didi Kempot” dan bisa besar tanpa kata-kata sinis kayak, “Halah dompleng nama!”
Saya yakin kok, mau sampai kiamat dua kali juga Didi Kempot nggak akan terganti, namun orang-orang hebat dalam hal musik jawa seperti campursari dan pop Jawa, nggak bakalan berhenti hanya sampai Pakde Didi.
Jangan remehkan nama seperti Denny Caknan atau yang lain, yang sudah menemukan pasarnya sendiri, pun dengan kontestan-kontestan tanpa kudu labeling “the next Didi Kempot” yang justru mengganggu sekali. Udah sih, biarkan popularitas campursarian tumbuh tanpa perlu dikarbit acara televisi, apalagi sampai dompleng nama legenda sebesar Pakde Didi.
Bebaskan nama-nama pendatang baru berkembang jadi “Suket Teki” yang tumbuh subur di bawah guyuran “Banyu Langit” secara alami. Jangan karena demi rating, sampai dipaksain bikin “Dalan Anyar” untuk dipakaikan ke acara seremoni yang bikin perasaan “Cidro” penggemar Pakde Didi muncul lagi dan lagi.
BACA JUGA Selamat Jalan, Didi Kempot, Bapak Patah Hati Kami dan tulisan Gusti Aditya lainnya.