MOJOK.CO – Imbauan standar kedai kopi dan restoran sesuai syariat yang dikeluarkan Bupati Bireuen ternyata bikin Warga Aceh sendiri protes dan gagal paham.
Kalau teman-teman sempat baca berita akhir-akhir ini, Bupati Bireuen, dari Provinsi Aceh, per tanggal 30 Agustus kemarin baru saja mengeluarkan imbauan tentang “standar kedai kopi dan restoran sesuai syariat”. Isi imbauan yang sempat viral ini salah satunya mengenai ketentuan bagi pengunjung tempat makan atau minum yang diharamkan duduk berdua tanpa mahramnya.
Kalau dibaca sekilas, judul imbauan ini sebenarnya terdengar biasa saja, pun diksi yang digunakan sangat bersahabat. Akan tetapi harus diakui, setelah dibaca dan tidak perlu ditelaah pakai standar aritmatika, ternyata ada beberapa poin imbauan yang sangat aneh. Bahkan bagi beberapa warganya sendiri, termasuk saya yang asli Bireuen.
Walaupun berbentuk lebih mirip selebaran karena tanpa kop, surat imbauan ini dibubuhi tanda tangan Bupati plus stempel resmi Kabupaten Bireuen. Sebelumnya saya sempat ragu imbauan ini merupakan rekayasa karena tidak berbentuk selebaran resmi. Akan tetapi Bupati juga sudah mengakui bahwa “selebaran” itu merupakan aturan baru. Jadi aturan-aturan ini benar berasal dari Pemerintah Daerah Kabupaten Bireuen alias bukan hoaks.
Harus diakui untuk beberapa poin memang tidak ada masalah, justru saya sangat setuju seperti menghentikan pelayanan sepuluh menit ketika waktu salat masuk, atau poin tentang mengingatkan pramusaji dan pelanggan untuk salat. Imbauan yang saya pikir sangat amar ma’ruf nahi mungkar. Hanya saja, bukan itu yang bikin saya jadi garuk-garuk kepala.
Dari total 10 poin imbauan yang saya baca, ada empat poin yang patut untuk didialogkan lagi. Sayangnya, sebelum sempat dibicarakan, aturan ini sudah kadung dilaksanakan serta merta. Jadi bila para pemilik kafe atau restoran ngeyel tidak mematuhi imbauan-imbauan ini, siap-siap saja bakal diringkus oleh Satpol PP dan sang patner sehati Wilayatul Hisbah (WH), alias polisi syariatnya Aceh.
Nah beberapa poin yang membuat saya bertanya-tanya di antaranya adalah:
Poin ke 5: Pramusaji wanita tidak dibenarkan bekerja di atas jam 21.00
Saya tidak mengerti atas dasar apa aturan ini diberlakukan? Saya pikir, poin ini tidak bisa diterima akal sehat. Ya jelas saja, kenapa usaha mengais rezeki dengan cara halal bisa dianggap melawan syariat? Kok rasanya terkesan diskriminatif sekali ya? Untuk menjadi pekerja saja aturannya harus berdasar gender. Seolah-olah bekerja bagi perempuan yang sesuai tuntunan adalah sebelum jam sembilan. Kalau sesudah itu dianggap tidak sesuai syariat.
Saya berasal dari Bireuen jadi saya tahu Bupati Bireuen sekarang merupakan salah satu orang paling kaya se-kabupaten. Jadi larangan bekerja di atas jam 9 malam jelas tidak akan berpengaruh pada pendapatannya. Tapi bagi rakyatnya, ada banyak perempuan yang dibutuhkan keluarganya untuk bekerja demi membantu suaminya mencari nafkah. Hanya semata-mata agar dapur tetep ada asapnya.
Belum lagi kebutuhan hidup belakangan ini di Aceh makin mahal. Ingat ya, Kabupaten Bireuen ini bisa dikatakan tidak makmur-makmur amat. Kalau dulu makan daging ayam saja sudah susah, sekarang makan telurnya saja ikut-ikutan susah.
Kalau memang Pemkab Bireuen ingin menolong rakyatnya, paling tidak sejahterakan dulu kami-kami ini. Bukan malah membatasi pekerjaan warganya sendiri. Meski kalau mau jujur, sebenarnya kerja dibatasi itu juga ada enaknya. Toh, bisa pulang lebih awal juga ya kan?
Tapi bagaimana jika itu merembet pada logika pengusaha restoran dan kafe yang akhirnya akan lebih memilih untuk menerima pramusaji laki-laki karena lebih fleksibel jam kerjanya? Bukannya itu berarti menutup peluang para emak-emak atau mbak-mbak yang ingin membantu ekonomi keluarganya meski hanya jadi seorang pramusaji?
Bukannya dibukakan lowongan pekerjaan, eh malah dibatasi. Benar-benar ajaib.
Poin ke 7: Dilarang melayani pelanggan perempuan kecuali bersama mahramnya
Ini adalah versi yang sama seperti poin sebelumnya. Bila poin lima untuk pekerja, maka poin ini berlaku untuk pelanggan. Jadi buat kalian para ladies yang ingin ngopi di Bireuen jangan lupa bawa kartu keluarga atau buku nikah biar tidak diangkut Satpol PP/WH.
Kaum single mother atau ladies yang tinggal sendirian sudah tidak bisa lagi tiba-tiba tengah malam ingin makan Mie Aceh—misalnya. Sekarang bayangkan saja, cuma untuk beli sebungkus Mie Aceh sama kopi saja, seorang ibu-ibu harus ngajak satu keluarga. Kalau lokasinya jauh sih mungkin ya nggak masalah, sekalian jalan-jalan gitu. Tapi kalau cuma selemparan batu dari rumah? Masa iya suami yang lagi kerja disuruh pulang dulu cuma buat beli Mie Aceh?
Itu mending kalau punya suami, lha kalau kebetulan memang nggak punya mahram, siapa yang mau diajak? Orang-orangan sawah? Lucu sekali kalau cuma buat beli semangkok mie atau kopi harus diperlakukan layaknya kriminal.
Dari hal inilah kemudian saya mulai paham, mengapa Indomie baru saja mengeluarkan varian rasa Mie Goreng Aceh.
Point ke 13: Haram hukumnya laki-laki dan perempuan makan dan minum semeja kecuali bersama Mahram
Nah, poin inilah yang bikin aturan di daerah saya jadi viral. Karena aturan ini, saya mungkin akan berpikir dua kali bila kebetulan dapat sisa tempat duduk di restoran yang kosong tapi karena kebetulan di meja itu ada perempuan tak dikenal, saya tidak akan ambil kursi kosong itu. Bisa jadi saya pilih balik saja ke rumah dan nggak jadi pesan.
Menggeneralisasi kondisi ketika perempuan dan pria berkumpul satu meja di restoran atau kafe akan otomatis melanggar syariat Islam rasa-rasanya harus dikaji kembali. Saya pikir yang jadi masalah itu bukan duduk semeja (meski tidak bersama mahramnya) melainkan jika duduk sekursi. Nah, yang kayak gitu baru masalah. Masalah bagi jomblo.
Apalagi larangan ini berlaku untuk kedai kopi atau restoran yang jelas-jelas berada di ruang publik. Ada banyak mata yang awas, sehingga indikasi pelanggaran syariat Islam nyaris mustahil akan terjadi.
Saya pikir kalau mau menegakkan syariat Islam yang kaffah, pemerintah seharusnya melakukan reformasi mulai dalam institusi pemerintahan dahulu. Misalnya, setiap kantor pemerintahan harus dipisahkan antara antara pria dan wanita.
Seperti Hadih Maja Aceh; Meu nyoe tabloe bajèe, taukö bak badan droeteu dilèe (Kalau membeli baju, ukurlah di badan sendiri dahulu).
Ukur dulu diri dan kemampuan sendiri, jangan cuma sibuk menyalahkan orang lain bermodal syariat Islam. Saya bukannya membenci syariat Islam, saya malah sangat mendukung ditegakkannya aturan syariat Islam, tapi aturan-aturan yang mengundang perpecahan dengan tafsir berasas pada praduga semata ini rasanya perlu dikaji ulang. Pikè, Bang!
Poin 14: Pelayanan kafe dan restoran dibuka pada jam 06.00 dan berakhir pada 24.00
Bireuen merupakan daerah yang sebagian besar kawasannya terus berdenyut 24 jam. Daerah ini yang berada di tengah jalur darat antara Medan (Sumatra Utara), dan Banda Aceh, juga Takengon (Aceh Tengah). Hal ini menjadikan Bireuen sebagai tempat transit utama bus-bus malam.
Di beberapa kawasan macam kota Bireuen, Matang Geulumpang Dua, Batéé Iliék, dan juga Geurogok, lampu restoran juga depot-depot makan lampunya tidak pernah padam sepanjang malam.
Dari sini saja sudah dapat dilihat betapa rancunya aturan ini terhadap perekonomian masyarakat. Saya yang mempercayai kepemimpinan Bireun ke tangan Pak Bupati berharap beliau akan membawa kemaslahatan, bukannya makin menyulitkan rakyat seperti ini.
Tidak jelas sama sekali apa yang menjadi pertimbangan larangan jam pelayanan kafe/resto ini. Pak Bupati juga pasti tahu kalau tidak kurang 25 persen roda ekonomi Bireuen berputar pada tempat-tempat istirahat yang beroperasi sepanjang malam. Bila peraturan ini tetap berlanjut takutnya hal ini akan membunuh usaha ekonomi masyarakat Bireuen dengan dalih lagi-lagi supaya tidak ada indikasi terjadinya pelanggaran syariat Islam.
Ketimbang membikin peraturan yang membatasi warganya sendiri, ada beragam masalah di Bireuen seharusnya lebih diperhatikan dulu. Kasus korupsi mobil dinas, kredit fiktif, pembangunan infrastruktur kemasyarakatan yang lesu, juga tingkat kemiskinan yang tinggi. Ada banyak hal yang seharusnya mendapat atensi lebih ketimbang membuat aturan-aturan atas asas-asas praduga yang keabsahan kebenarannya masih bisa diperdebatkan.
Terakhir saya harus mengakui sangat prihatin. Bukan saja dalam posisi sebagai bagian dari masyarakat Bireuen, tapi juga insan yang percaya syariat islam adalah kondisi yang menjadi rahmatan lil alamin.
Bukan malah sebagai alat permainan pelegalan kekuasan oleh sejumlah oknum dengan maksud pribadi, apalagi bila sampai dikendarai untuk kepentingan kelompok-kelompok tertentu. Harapan saya semoga Pak Bupati sadar, jangan sibuk mematikan usaha masyarakat dengan dalil-dalil atas nama agama.
Kalau misal masyarakat Biruen sudah makmur, mungkin aturan ini tidak akan banyak yang protes, tapi bagaimana mungkin seorang ayah berhak menuntut anaknya macam-macam kalau kebutuhan anaknya saja belum terpenuhi?