MOJOK – Tidak semua nastar harus jadi nastar sempurna. Remah-remahnya pun juga berarti. Begitu pula dengan anak di waktu lebaran nanti. Berhentilah membanding-bandingkan mereka.
Hai, kalian para mahasiswa gerakan “Aku Cinta Kampus” yang masih ingin bayar semesteran ke-9, 11, atau 13. Hai, juga kalian emak-emak yang gelisah karena rapot anakmu enggak layak tayang di FB dan IG. Kemarilah kalian semua. Dengarkanlah kisah ini, sebagai bekal nanti. Ya, nanti tak lama lagi. Ketika Lebaran dan ditanyai sanak keluarga.
Ketahuilah, walau dibuat dari “bahan adonan” yang sama, kondisi kakak beradik tak akan sama. Jangan pernah lagi kamu banding-bandingkan rapot atau ijazah anak dengan ponakan. Kasihanilah mereka. Sebab sebagaimana nastar buatanmu, ada yang bulat sempurna dengan selai nanas tepat di tengah, ada pula yang distorsi, agak murudul, dan enggak “layak tayang di hadapan khayalak” sehingga terpaksa digerogoti sendiri.
Dibanding-bandingkan oleh orang tua dan saudara itu pahit nian. Seperti kisah ini. Syahdan, seorang ayah sedang di dalam mobil bertiga dengan istri dan anak perempuannya. Mereka baru saja pulang dari krematorium.
“Antara kamu, Aan, Albert, kamu yang… sebetulnya paling pinter. Paling brilian.”
Ada apa ini? Kok ujug-ujug? Begitu pikir si anak perempuan.
“Yang kedua paling pinter, Aan. Albert yang ketiga, tapi ketutup sama rajinnya.”
Si anak masih diam. Menyiapkan diri menghadapi “tikungan” percakapan ini.
Ternyata sang Ayah tidak meneruskan. Hanya menarik napas panjang. Ia tampak tua dan lelah.
Ending yang menggantung justru lebih mencekam. (Sebagaimana relationship status yang menggantung “it’s complicated”, ya kan?). Mungkin sang Ayah tenggelam dalam aura kesedihan krematorium. Khawatir akan masa depan si Bungsu yang dulu paling cemerlang itu. Apa yang akan terjadi, jika hari itu tiba. Giliran sang Ayah yang di dalam peti?
Si anak ingat-ingat masa lalu. Dari yang paling kecil, dia yang paling bagus rapotnya. Selalu masuk 8 besar. Jaman kuliah malah juara bertahan tanpa tanding. IPK 3.81 tanpa pernah ngulang kelas ataupun ngambil semester pendek. Yang dapat B hanya MKU. Kuliah rasanya terlalu mudah, kurang tantangan. Skripsi selesai di-ACC dalam 1,5 bulan. Tak ada drama sama sekali. Mulus.
Di kalangan teman satu geng, dia cukup luwes dan baik hati. Suka membantu kawan yang kurang mampu (mengikuti pelajaran). Dari memberikan contekan, hingga membuatkan skripsi dengan imbalan makan-makan all-you-can-eat di Hanamasa.
Life was good.
Dua koko-nya, IPK-nya biasa aja. Cuma 3 lebih tipis-tipis. Bukan kurang pinter. Bukan juga masalah absensi, kenakalan bolos kuliah, atau main kartu di kantin. Kebetulan saja keduanya kena fase… cobaan cinta.
Koko Albert yang paling down. Pacarnya sejak SMA, kuliah ke UGM. LDR satu tahun, meski diisi surat-menyurat yang militan, tak kuasa mencegah cinta lokasi. Mendadak saja pacarnya minta putus. Tanpa ada pertengkaran, tanpa ada tanda-tanda. Desas-desusnya, Cici itu jadian dengan kawan kampusnya. Anjlok sudah nilai satu semester itu, membuat Koko jadi anggota NASAKOM. Nilai Satu Koma.
Lulus kuliah, Koko Aan kerja di P&G. Koko Albert kerja di Medion, perusahaan obat ternak. Si Bungsu cewek satu-satunya itu? Dengan foto manis yang terpampang di buku wisuda halaman depan, di deretan sarjana terbaik semua jurusan, perusahaan-perusahaan besar di Jakarta langsung menelepon, minta masukin lamaran.
Dengan bangga dia tolak semua.
Itu karena dia sudah mulai banyak ngejob. Enggak bisa ninggalin base camp di Bandung. Bayangkan, tahun 2004 itu UMR DKI Jakarta hanya 671.000. Hasil ngejob (dan ngelesin) dia? Rata-rata 2,3 juta/ bulan. Kerja hanya setengah minggu. Gimana enggak merasa di atas angin, dia? Iseng masukin lamaran di dalam kota, buat cari tambahan kerjaan untuk weekdays, eh lusanya langsung dihubungi untuk interview. Mulai kerja minggu berikutnya. Ngajar Bahasa Inggris di English First.
Fast forward, 12 tahun kemudian. Penghasilan si Bungsu itu… yang paling kecil.
Koko Aan kerja 12 tahun. Menabung. Buka beauty clinic bersama istrinya. Sekarang sudah 6 cabang. Rumahnya tiga. Koko Albert kerja 6 tahun, nikah, bantu baby shop istri, nabung, lalu buka Factory Outlet di Kaliurang. Tanah dan bangunan 3 lantai punya sendiri. Si Bungsu? Masih ngejob. Rumahnya? Perumahan Papa Indah.
Karier ngajar Inggris sudah 8 tahun dia tinggalkan. Karier ngejob masih bertahan, dengan bantuan para Juragan Bakul Job. Salah satu langganan terbesar dia, justru teman kuliah yang dulu IPK-nya jauh di bawah (dan sampai sekarang masih sering bikin player lain ketawa, tiap denger beliau ngomong Inggris, “Beneran dulu kuliah bareng Cici di Sastra Inggris?”).
So, what went wrong, di perempatan jalan hidup si Bungsu yang cemerlang? Sangat mengherankan, hasil mereka bertiga kini begitu jauh. Padahal semua memulai dengan bantuan modal usaha yang sama dari sang Ayah. Sama-sama dari nol.
Yang salah hanyalah perspektif. Bahwa anak yang berprestasi di sekolah bakal lebih sukses di masa depan. Kenapa begitu banyak yang ternyata sebaliknya?
Ketahuilah, nilai rapot dan ijazah itu enggak bisa mencerminkan karakter anak sesungguhnya, karena konten mata pelajaran yang seringkali enggak relevan dengan kenyataan.
Contoh sederhana, si Bungsu dan Juragannya, sama-sama masuk kuliah Sastra Inggris karena enggak ada kampus musik yang bagus di kotanya. Kalaupun ada kampus keguruan musik, dan kampus jurusan musik di Bandung, tetap enggak menjamin lulusannya akan sukses dalam karier entertainment. Sudah terbukti. Kok bisa?
Karena di kampus musik enggak pernah ada mata kuliah teori atau praktik latihan menghadapi klien yang rudet. Apalagi rudet dan pelit. Bagaimana caranya mengambil hati klien itu, supaya bisa suportif dan kondusif, memberikan pengertian pencairan fee tepat waktu dan tepat jumlah?
Atau mendamaikan dua keluarga pengantin yang saling keukeuh punya selera musik (dan selera budget) berbeda. Atau mencari jalan tengah dari prahara istri tua dan istri muda yang ngotot pengen naik ke pelaminan mendampingi pengantin. Belum urusan manajemen marketing di bridal expo, manajemen finansial, HRD, dll.
Demi Dewa Kwan Kong, itu hal-hal yang luar biasa penting! Lebih penting daripada bisa lancar memainkan musik birama 7/16.
Bagaimana anak muda bisa mengeksekusi itu semua kalau enggak pernah ada pelatihan praktek soft skill dari para senior praktisi? Dosen-dosennya aja kebanyakan enggak eksis di entertainment kok. Tak jarang pula dosennya pelit ilmu.
Dengan kurikulum kampus yang kurang tepat sasaran seperti itu, (kecuali kalau kamu masih enggak tahu diri ngebet jadi dosen atau PNS) masih layakkah kita menaruh puja-puji pada gelar sarjana?
Ceritakanlah kisah nyata ini pada sanak saudaramu nanti. Jangan lupa sambil bawa remahan nastar satu toples. Tutuplah dengan kalimat:
“Enggak semua anak harus jadi nastar sempurna. Remahan nastar bukan aib. Ia tetap berguna. Tetap enak, membahagiakan, dan tetap melengkapi. Yang terpenting bukanlah gelar. Gelar, IPK, prestasi akademik, juga jumlah rumah, semua itu hanya jubah luar. Enggak perlu saling membandingkan. Memangnya lagi studi banding apa?”