“The educator has the duty of not being neutral.” —Paulo Freire
Sekali waktu, saat pertama kali bertugas di Sokola Asmat, Papua, saya memperkenalkan diri dengan singkat saja seperti ini: “Selamat pagi teman-teman, nama saya Fawaz, saya berasal dari Jakarta, ibu kota Indonesia. Mulai hari ini saya akan belajar bareng teman-teman di sini. Nama saya tadi Fawaz, ya. Teman-teman boleh panggil saya Fawaz, Faway, Pawas, atau apa saja sesuka teman-teman, tapi jangan panggil saya Pak Guru.”
Sesaat setelah saya selesai memperkenalkan diri, Tadius Bisaka, 6 tahun, langsung protes, “Ah, Pak Guru, itu tidak baik itu, tidak boleh itu. Jangan ajar buruk kita orang. Kamu kan guru, jadi kita orang harus panggil kamu Pak Guru.”
Maka jadilah mulai saat itu semua murid dan semua masyarakat di lokasi saya bertugas menyapa saya dengan panggilan Pak Guru, atau mereka yang sudah tua menyapa saya dengan Anak Guru. Hanya dua orang yang tak memanggil saya Pak Guru atau Anak Guru. Mereka adalah Pastor Hendrik dan Tadius Bisaka.
Di hari pertama belajar, kabut tipis menyelimuti kampung Mumugu Batas Batu, Distrik Sawaerma, Kabupaten Asmat, Papua. Langit mendung, hawa dingin mengepung. Belasan anak duduk melingkar di selasar bangunan berbentuk rumah panggung yang diperuntukkan sebagai ruang belajar. Berbekal papan berukuran 60 sentimeter kali 50 sentimeter dan 5 buah kapur tulis, saya belajar bersama anak-anak Mumugu Batas Batu.
“Kalian sudah cukup lancar membaca dan menulis to, sekarang kita belajar huruf besar dan huruf kecil supaya tulisan kita bagus,” ujar saya membuka pelajaran.
“Ah Pak Guru, sudah pernah dulu itu, buat apa diulang lagi. Lagi pula sama saja to, mau itu huruf besar atau huruf kecil, dibacanya sama saja, kan. Jadi belajar yang lain sudah!” protes Titus Taima.
“Iyo, benar itu, Pak Guru. Trada guna kita belajar itu. Yang lain sudah. Belajar matematika lagi saja sudah. Tambah, kurang, kali, bagi, itu saja sudah, bagus itu. Supaya kami orang bisa hitung baik, tidak lagi dapat tipu-tipu kalau hitung uang bayaran kerja di pelabuhan,” Sempa Pui menambahkan.
“Kalau tetap belajar itu yang besar dan kecil padahal sama saja, baik kita main sepak bola saja sudah.” Kali ini Tadius Wenera mengancam.
Pada akhirnya kami sepakat untuk belajar matematika dasar. Karena mereka mengungkapkan contoh kasus langsung di pelabuhan, kami pun bergegas ke pelabuhan, belajar di sana, tidak di kelas atau di gedung sekolah.
Di lain tempat, di tengah hutan Taman Nasional Bukit 12, Jambi, bersama murid-murid di Sokola Rimba, kami mengulang-ulang perkataan Peniti Benang—salah seorang murid senior di Sokola Rimba—sebelum memulai pelajaran, “Bagaimana kami yang baru belajar baca tulis ini mau menjaga hutan, sedang orang pemerintahan saja tidak bisa?”
Sekali waktu, Becayo mengomentari perkataan Peniti Benang, “Yang benar, kita yang jaga hutan, orang-orang pemerintahan yang bikin hancur.” Gelak tawa pecah di antara kami.
Selama bertugas di Sokola Rimba, Jambi, kami lebih sering belajar di tengah hutan, di tepi sungai, dan di batas antara hutan dan perkebunan milik warga transmigran. Seluruh pelajaran yang dipelajari selalu dihubungkan dengan konteks menjaga hutan dan wilayah hidup Orang Rimba. Baik di Sokola Asmat dan Sokola Rimba, kami berkompromi, kami bermusyawarah untuk menyepakati lokasi belajar dan, yang paling utama, materi yang akan dipelajari.
Anak-anak di Mumugu ditipu dalam transaksi keuangan atas jasa yang mereka berikan sebagai kuli angkut di pelabuhan. Anak-anak di Komunitas Orang Rimba harus menerima kenyataan hutan yang menjadi wilayah hidup mereka terus-menerus berkurang luasannya. Dalam kondisi seperti ini, sebagai seorang pengajar, saya sepakat dengan apa yang dikatakan Paulo Freire di atas. Tak ada netralitas untuk semua ini. Guru harus berpihak.
Apa guna belajar beda huruf besar dan huruf kecil, menghitung jarak antara bumi dengan matahari dan planet-planet lainnya, mengkaji angka desimal hingga 13 angka di belakang koma, atau integral berlapis-lapis tetapi di waktu yang sama, anak-anak peserta belajar dan komunitas tempat mereka berasal sedang mengalami sebuah permasalahan pelik menyangkut hal-hal paling mendasar dalam kehidupan mereka.
Bukan, saya sama sekali bukan hendak menyepelekan pelajaran-pelajaran yang saya sebutkan di atas. Dalam tataran dan disiplin ilmu tertentu, pengetahuan-pengetahuan di atas jelas dibutuhkan. Tetapi, tidak semua murid benar-benar membutuhkan semua itu. Karena anak-anak bukan ember kosong yang bisa diisi dengan apa saja sekehendak hati. Mereka punya minat, memiliki keahlian dan bakat, juga terkait langsung dengan komunitas tempat mereka tinggal. Guru sebagai pengajar yang berhubungan langsung dengan murid-murid sudah semestinya memahami semua ini dan mengakomodasi kebutuhan murid-muridnya.
Sebab, apa guna sekolah jika mencerabut peserta didik dari realitas kehidupan sehari-hari. Apa guna pendidikan jika mengalienasi peserta didik dari adat istiadat dan kebudayaan komunitas mereka. Sekolah dan pendidikan harus berjalan beriringan, berpilin berkelindan dengan realitas keseharian dan adat istiadat serta kebudayaan komunitas tempat peserta didik berasal. Dan, pendidikan harus bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari, berguna sebagai alat bantu memecahkan permasalahan yang dihadapi oleh peserta didik dan komunitasnya. Untuk semua ini, guru menjadi ujung tombak untuk mewujudkannya.