Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Menjadi Guru yang Berpihak

Fawaz Al Batawy oleh Fawaz Al Batawy
25 November 2016
A A
guru yang berpihak
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

“The educator has the duty of not being neutral.” —Paulo Freire

Sekali waktu, saat pertama kali bertugas di Sokola Asmat, Papua, saya memperkenalkan diri dengan singkat saja seperti ini: “Selamat pagi teman-teman, nama saya Fawaz, saya berasal dari Jakarta, ibu kota Indonesia. Mulai hari ini saya akan belajar bareng teman-teman di sini. Nama saya tadi Fawaz, ya. Teman-teman boleh panggil saya Fawaz, Faway, Pawas, atau apa saja sesuka teman-teman, tapi jangan panggil saya Pak Guru.”

Sesaat setelah saya selesai memperkenalkan diri, Tadius Bisaka, 6 tahun, langsung protes, “Ah, Pak Guru, itu tidak baik itu, tidak boleh itu. Jangan ajar buruk kita orang. Kamu kan guru, jadi kita orang harus panggil kamu Pak Guru.”

Maka jadilah mulai saat itu semua murid dan semua masyarakat di lokasi saya bertugas menyapa saya dengan panggilan Pak Guru, atau mereka yang sudah tua menyapa saya dengan Anak Guru. Hanya dua orang yang tak memanggil saya Pak Guru atau Anak Guru. Mereka adalah Pastor Hendrik dan Tadius Bisaka.

Di hari pertama belajar, kabut tipis menyelimuti kampung Mumugu Batas Batu, Distrik Sawaerma, Kabupaten Asmat, Papua. Langit mendung, hawa dingin mengepung. Belasan anak duduk melingkar di selasar bangunan berbentuk rumah panggung yang diperuntukkan sebagai ruang belajar. Berbekal papan berukuran 60 sentimeter kali 50 sentimeter dan 5 buah kapur tulis, saya belajar bersama anak-anak Mumugu Batas Batu.

“Kalian sudah cukup lancar membaca dan menulis to, sekarang kita belajar huruf besar dan huruf kecil supaya tulisan kita bagus,” ujar saya membuka pelajaran.

“Ah Pak Guru, sudah pernah dulu itu, buat apa diulang lagi. Lagi pula sama saja to, mau itu huruf besar atau huruf kecil, dibacanya sama saja, kan. Jadi belajar yang lain sudah!” protes Titus Taima.

“Iyo, benar itu, Pak Guru. Trada guna kita belajar itu. Yang lain sudah. Belajar matematika lagi saja sudah. Tambah, kurang, kali, bagi, itu saja sudah, bagus itu. Supaya kami orang bisa hitung baik, tidak lagi dapat tipu-tipu kalau hitung uang bayaran kerja di pelabuhan,” Sempa Pui menambahkan.

“Kalau tetap belajar itu yang besar dan kecil padahal sama saja, baik kita main sepak bola saja sudah.” Kali ini Tadius Wenera mengancam.

Pada akhirnya kami sepakat untuk belajar matematika dasar. Karena mereka mengungkapkan contoh kasus langsung di pelabuhan, kami pun bergegas ke pelabuhan, belajar di sana, tidak di kelas atau di gedung sekolah.

Di lain tempat, di tengah hutan Taman Nasional Bukit 12, Jambi, bersama murid-murid di Sokola Rimba, kami mengulang-ulang perkataan Peniti Benang—salah seorang murid senior di Sokola Rimba—sebelum memulai pelajaran, “Bagaimana kami yang baru belajar baca tulis ini mau menjaga hutan, sedang orang pemerintahan saja tidak bisa?”

Sekali waktu, Becayo mengomentari perkataan Peniti Benang, “Yang benar, kita yang jaga hutan, orang-orang pemerintahan yang bikin hancur.” Gelak tawa pecah di antara kami.

Selama bertugas di Sokola Rimba, Jambi, kami lebih sering belajar di tengah hutan, di tepi sungai, dan di batas antara hutan dan perkebunan milik warga transmigran. Seluruh pelajaran yang dipelajari selalu dihubungkan dengan konteks menjaga hutan dan wilayah hidup Orang Rimba. Baik di Sokola Asmat dan Sokola Rimba, kami berkompromi, kami bermusyawarah untuk menyepakati lokasi belajar dan, yang paling utama, materi yang akan dipelajari.

Anak-anak di Mumugu ditipu dalam transaksi keuangan atas jasa yang mereka berikan sebagai kuli angkut di pelabuhan. Anak-anak di Komunitas Orang Rimba harus menerima kenyataan hutan yang menjadi wilayah hidup mereka terus-menerus berkurang luasannya. Dalam kondisi seperti ini, sebagai seorang pengajar, saya sepakat dengan apa yang dikatakan Paulo Freire di atas. Tak ada netralitas untuk semua ini. Guru harus berpihak.

Iklan

Apa guna belajar beda huruf besar dan huruf kecil, menghitung jarak antara bumi dengan matahari dan planet-planet lainnya, mengkaji angka desimal hingga 13 angka di belakang koma, atau integral berlapis-lapis tetapi di waktu yang sama, anak-anak peserta belajar dan komunitas tempat mereka berasal sedang mengalami sebuah permasalahan pelik menyangkut hal-hal paling mendasar dalam kehidupan mereka.

Bukan, saya sama sekali bukan hendak menyepelekan pelajaran-pelajaran yang saya sebutkan di atas. Dalam tataran dan disiplin ilmu tertentu, pengetahuan-pengetahuan di atas jelas dibutuhkan. Tetapi, tidak semua murid benar-benar membutuhkan semua itu. Karena anak-anak bukan ember kosong yang bisa diisi dengan apa saja sekehendak hati. Mereka punya minat, memiliki keahlian dan bakat, juga terkait langsung dengan komunitas tempat mereka tinggal. Guru sebagai pengajar yang berhubungan langsung dengan murid-murid sudah semestinya memahami semua ini dan mengakomodasi kebutuhan murid-muridnya.

Sebab, apa guna sekolah jika mencerabut peserta didik dari realitas kehidupan sehari-hari. Apa guna pendidikan jika mengalienasi peserta didik dari adat istiadat dan kebudayaan komunitas mereka. Sekolah dan pendidikan harus berjalan beriringan, berpilin berkelindan dengan realitas keseharian dan adat istiadat serta kebudayaan komunitas tempat peserta didik berasal. Dan, pendidikan harus bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari, berguna sebagai alat bantu memecahkan permasalahan yang dihadapi oleh peserta didik dan komunitasnya. Untuk semua ini, guru menjadi ujung tombak untuk mewujudkannya.

Terakhir diperbarui pada 26 November 2019 oleh

Tags: hari guruhari guru 2016Netralpaulo freiresokola asmatsokola rimba
Fawaz Al Batawy

Fawaz Al Batawy

Artikel Terkait

guru honorer, pns.MOJOK.CO
Aktual

Kualitas Tenaga Pendidik Rendah: Jangan Salahkan Guru, tapi Benahi Sistemnya

25 November 2025
Prabowo Nangis Saat Umumkan Kenaikan Gaji Guru, Guru Honorer Lebih Nangis karena Tetap Terpinggirkan MOJOK.CO
Ragam

Prabowo Nangis Saat Umumkan Kenaikan Gaji Guru, Guru Honorer Lebih Nangis karena Tetap Terpinggirkan

2 Desember 2024
Ketulusan Guru Honorer yang Kuliah Sambil Mengajar Siswa Difabel di Surabaya. MOJOK.CO
Ragam

Ketulusan Guru Honorer yang Kuliah Sambil Mengajar Siswa Difabel di Surabaya

25 November 2024
Jika Bukan karena Guru, Saya Tak Kenal Tuhan MOJOK.CO
Esai

Jika Bukan karena Guru, Saya Tak Kenal Tuhan

26 November 2023
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Gen Z fresh graduate lulusan UGM pilih bisnis jualan keris dan barang antik di Jogja MOJOK.CO

Gen Z Lulusan UGM Pilih Jualan Keris, Tepis Gengsi dari Kesan Kuno dan Kerja Kantoran karena Omzet Puluhan Juta

2 Desember 2025
Relawan di Sumatera Utara. MOJOK.CO

Cerita Relawan WVI Kesulitan Menembus Jalanan Sumatera Utara demi Beri Bantuan kepada Anak-anak yang Terdampak Banjir dan Longsor

3 Desember 2025
S3 di Bandung, Istri PNS Makassar- Derita Jungkir Balik Rumah Tangga MOJOK.CO

Jungkir Balik Kehidupan: Bapak S3 di Bandung, Istri PNS di Makassar, Sambil Merawat Bayi 18 Bulan Memaksa Kami Hidup dalam Mode Bertahan, Bukan Berkembang

1 Desember 2025
pendidikan, lulusan sarjana nganggur, sulit kerja.MOJOK.CO

Overqualified tapi Underutilized, Generasi yang Disiapkan untuk Pekerjaan yang Tidak Ada

5 Desember 2025
banjir sumatra.mojok.co

Kelumpuhan Pendidikan di Tiga Provinsi, Sudah Saatnya Penetapan Bencana Nasional?

4 Desember 2025
Para penyandang disabilitas jebolan SLB punya kesempatan kerja setara sebagai karyawan Alfamart berkat Alfability Menyapa MOJOK.CO

Disabilitas Jebolan SLB Bisa Kerja Setara di Alfamart, Merasa Diterima dan Dihargai Potensinya

2 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.