MOJOK.CO – Selain para orang tua dan siswa, guru adalah entitas yang tak boleh dikesampingkan dalam pembelajaran jarak jauh. Guru juga punya cerita.
Sebelum masa pandemi korona, kita sudah akrab dengan ragam berita memprihatinkan terkait dunia pendidikan. Mulai dari kepedihan guru honorer yang gajinya kalah telak dari anggota DPR (yang doyan bolos dan tidur di tengah rapat), bangunan-bangunan sekolah yang ambruk, hingga kisah-kisah perjuangan siswa di pedalaman yang mesti menyeberangi sungai melewati lembah bak Ninja Hatori demi berangkat ke sekolah.
Semua berita itu nyata di depan mata kita. Sekalipun Mendikbud yang sekarang menggembar-gemborkan slogan “merdeka belajar”, tetap saja masih banyak anggota masyarakat yang terkukung oleh keterbatasan dalam mengakses pendidikan. Sedih kalo diceritain semua mah, Bos.
Masa pandemi yang mengharuskan pembelajaran dilakukan dari jarak jauh (daring) kian menegaskan betapa kualitas pendidikan di negeri ini masih kelewat kwerew. Ada siswa yang mesti pinjam hape tetangga buat ikut kelas, siswa naik atap untuk mendapat sinyal, hingga orang tua yang nekat mencuri laptop agar anaknya bisa ikut pembelajaran jarak jauh. Itu cerita pendidikan atau cerita horor, ya? Ngeri gitu.
Terkait pembelajaran pada masa pandemi, saya berkesempatan berbincang dengan tiga orang guru guna mendapatkan perspektif tambahan dari mereka. Selain para orang tua dan siswa, guru adalah entitas yang tak boleh dikesampingkan. Mereka juga punya keluh kesah, cerita, dan kegelisahan tersendiri mengenai pembelajaran pada masa pandemi.
Rizki Aji adalah orang pertama yang saya ajak berbincang. Guru sejarah di SMA Future Gate Bekasi ini menyebut bahwa pembelajaran jarak jauh pada masa pandemi tidak mengenakkan.
“Mengajar via daring itu ibarat seorang pembalap MotoGP yang seharusnya main di kelas 1000 cc terpaksa main di Superbike 250 cc. Mungkin substansi mengajarnya sama, tapi kedekatan dengan siswa, prinsip untuk menanamkan karakter, kepribadian, dan adab sebagai asas pendidikan menjadi hilang,” ujar Rizki.
Meski begitu, Rizki tidak menampik sejumlah dampak positif pembelajaran jarak jauh. Misalnya ia jadi memiliki banyak waktu untuk bercengkerama bersama keluarga. Selain itu, sebagai guru ia juga mengaku jadi lebih banyak belajar lagi dan mengulang masa-masa indah saat masih menjadi mahasiswa, salah satunya dengan mengikuti webinar-webinar yang belakangan marak kayak gulali di pasar malam. Wah, tampaknya beliau tipe guru penyayang keluarga dan rajin belajar. Idaman banget.
“Kendalanya ada di waktu, sulit mengatur prioritas waktu saat di rumah. Ketika (proses mengajar bisa dilakukan) di rumah, pikiran jadi bukan tentang mendidik semata,” kata Rizki.
“Macam-macam pikirannya. Kadang-kadang melihat kok ada yang nggak beres sama saklar, dapur, kamar mandi, pipa toilet, hingga gembok pagar. Waduh, jadi banyak banget yang harus diurus.”
Yunita, guru di SMPN 10 Bengkulu Tengah punya kegelisahan lain soal pembelajaran jarak jauh. “Dalam hal penyampaian materi pelajaran, umpan balik siswa masih jauh dari harapan. Banyak kendalanya. Mulai dari sinyal yang kadang-kadang kurang bagus, keterbatasan kuota internet, memori ponsel yang tiba-tiba penuh, banyaknya siswa yang tidak memiliki gawai, hingga anak-anak dan orang tua yang tidak kooperatif dengan tugas-tugas sekolah.”
Ia menuturkan reaksi para anak didiknya mengenai pembelajaran jarak jauh amat beragam. Ada yang antusias, ada yang sering curhat merindukan belajar seperti biasa, dan ada juga yang kegirangan karena bisa belajar santai di rumah.
“Nah, kabar baiknya, pembelajaran jarak jauh ini memberikan saya kesempatan untuk lebih dalam mempelajari dan memahami penggunaan teknologi informatika yang sebelumnya tak terlalu saya pedulikan. Misalnya, saya jadi mempelajari penggunaan Google Classroom. Bagi saya yang terbiasa dengan pembelajaran konvesional, itu menjadi wawasan baru yang cukup berharga,” sebut Yunita.
Sementara itu, Firdaus Rahmatullah, seorang guru Bahasa Indonesia di SMAN 1 Panarukan Situbondo mengaku pembelajaran jarak jauh pada masa pandemi penuh dengan tantangan.
“Saya jadi mempelajari berbagai macam aplikasi untuk PJJ. Itu menjadi tantangan tersendiri buat saya. Adapun halangannya juga macam-macam, mulai dari koneksi internet yang lemot, rumah siswa yang tidak terjangkau internet, hingga ada siswa yang tidak punya gawai atau punya gawai tapi tidak mampu membeli kuota internet.”
Terkait peran pemerintah untuk menyokong pembelajaran baru ini, Firdaus mengatakan pihak pemerintah setempat sebatas menyediakan subsidi pulsa untuk membeli kuota internet. Tapi, itu pun tak seberapa.
Soal partisipasi siswa, Firdaus menyebut masih ada siswanya yang kaku dalam menghadapi PJJ ini. “Ya, karena mereka baru mengenal PJJ seperti ini, dan tak sedikit juga yang tak acuh.”
Saat saya mengajukan pertanyaan soal mana yang akan mereka pilih, apakah mereka lebih sreg dengan pembelajaran jarak jauh atau metode pembelajaran tatap muka seperti biasa; Rizki dan Yunita lebih suka metode pembelajaran tatap muka.
“Tentu saja pembelajaran tatap muka lebih efektif digunakan. Dengan tatap muka semua aspek pembelajaran, baik pengetahuan, keterampilan, dan aspek sikap dapat diukur,” kata Yunita.
Adapun Firdaus berpendapat lain. “Sesuai sikon saja. Kita harus adapatif, sesuai tuntutan zaman. Belajar dan belajar lagi. Salah satu hikmah pandemi kita jadi mengenal istilah PJJ beserta aplikasi-aplikasi pendukungnya,” ucap guru yang juga aktif menulis puisi dan cerpen di berbagai media itu.
Pada akhirnya pembelajaran pada masa pandemi menyajikan tantangan bagi seluruh elemen, mulai dari pemerintah, siswa, orang tua, hingga guru-guru di berbagai penjuru negeri yang kemampuan dan latar belakangnya berbeda-beda.
Namun, berhubung kita tinggal di suatu negara berdaulat, bukan di rawa-rawa Planet Namec; patut rasanya kita meminta pemerintah untuk lebih serius dalam mengatasi berbagai sengkarut yang terjadi terkait pembelajaran pada masa pandemi ini.
Kita berharap “merdeka belajar” bukan jadi pencuci mulut belaka, tapi bisa menjadi sesuatu yang betul-betul terwujud. Iya dong, ya, Mas Menteri?
Mengenai peran pemerintah, layak kita simak tanggapan aduhai dari Rizki Aji di sela-sela perbincangan, “Sampai hari ini saya belum bisa melihat peran pemerintah secara signifikan (dalam mendukung pendidikan pada masa pandemi). Listrik makin naik, biaya kuota data tidak bisa dikendalikan, dan penyediaan bahan belajar semisal dalam bentuk PowerPoint yang terstruktur dan integratif pun tidak ada.”
Kemudian ia melanjutkan, “Jadi, saya nggak perlu menyampaikan apa-apa sama pemerintah. Begini aja sudah cukup, saya menjadi pemerintah bagi diri saya sendiri aja. Karena pemerintah yang ada, juga sibuk dengan dirinya sendiri mungkin ya, sama pikirannya kayak saya.”
Mantap betul, Pak.
BACA JUGA Menjadi Guru di Pelosok: Sedikit Lucu, Banyak Nggaplekinya atau tulisan LIPUTAN lainnya.