MOJOK.CO – Sebagai pelaku hijrah, sayang sekali tak semua guru kayak Gus Miftah. Bisa santai diajak “berdebat” dengan rasional tanpa perlu emosional.
“Afwan, Taz. Penjelasan tadi bisa dibaca di kitab apa ya?” tanya saya pada sebuah kajian tertutup.
Sebagai anak baru hijrah saya memang suka menghadiri undangan pengajian terbatas seperti itu. Bukan apa-apa, rasanya minder kalau harus membaur dengan teman-teman yang keilmuan agamanya sudah tinggi sehingga untuk bertanya referensi bacaan saja menjadi sungkan.
Seingat saya ustaz tersebut tidak pernah menjawab pertanyaan itu hingga tulisan ini soal hijrah-hijrah ini dibuat. Tapi bukan berarti beliau tidak menjawab sama sekali. Ustaz tersebut justru berceramah panjang lebar tentang bahaya menanyakan hal-hal syubhat semacam itu.
Sedetik dua detik saya masih mencoba mencerna bagian mana dari pertanyaan saya yang mengandung syubhat, sebab istilah tersebut biasa dipakai untuk menjelaskan kondisi samar perihal halal-haram sesuatu atau kerancuan berpikir. Sementara saya hanya bertanya perihal referensi bacaan dari konsep ideologi yang ditawarkan ustaz tersebut.
Sepanjang perjalanan pulang pengajian saya menangis. Mungkin menurutmu lebay tapi ya memang lebay. Hehe. Rasanya sakit ketika keingintahuanmu akan ilmu keagamaan justru disebut syubhat yang berbahaya.
Pertanyaan yang kamu ajukan menjadikanmu dianggap tidak cukup loyal dan tsiqoh terhadap ulama. Hingga pada akhirnya keimananmu dipertanyakan. Bagaimana bisa berharap diskusi terbuka tentang ilmu sebuah ilmu jika bertanya buku sumber saja dianggap mempertanyakan kebenaran?
“Sami’na wa atho’na saja, Ukh,” kata sohibul hijrah lain mencoba menyemangati.
Untuk sementara waktu saya masih bertahan dengan kajian ideologi tertutup seperti itu—yang bahkan belakangan mulai saya ragukan konsep ideologinya. Sebab kami hanya diberikan doktrin-doktrin tanpa penjelasan what and how kebenaran itu bisa diterima akal manusia sebagai kebenaran. Tapi bagaimana mungkin saya bisa mempertanyakan itu? Bisa-bisa saya disebut sebagai Hamba Akal.
“Kita yang harus menundukkan akal,” kata murabbiyah suatu hari.
Tapi bagaimana bisa menundukkan akal jika berkenalan dan bermain-main dengannya saja tidak pernah?
Ketika kemudian saya ikut klub debat parlemen dan (mau tidak mau) berkenalan dengan ideologi dan pemikiran Barat kontemporer, saya yang ngeyelan tidak lagi bisa pura-pura kalem dalam setiap halaqoh.
Saya mulai bertanya-tanya bagaimana Islam melihat kapitalisme, feminisme, atau sosialisme. Tetapi bukannya mendapat pencerahan, saya justru ditegur murabbi karena mempelajari hal-hal seperti itu.
“Buat apa sih, Ukh?” tanyanya retoris sebelum menasihati perihal bahayanya ideologi tersebut di era ghozwul fikr alias perang pemikiran akhir-akhir ini.
Di titik itu saya justru merasa geli. Murabbiyah paham betul kalau kontestasi ideologi terus berlangsung hingga hari ini. Bangsa-bangsa tidak berperang dengan pedang tetapi pemikiran dan budaya, termasuk “isme-isme kafir” yang harus diakui terdengar lebih seksi bagi beberapa anak muda Islam daripada Islam itu sendiri.
Tidak sedikit anak muda Islam yang kemudian menyebut diri sebagai muslim sosialis atau muslim feminis atau muslim dengan spirit teologi pembebasan lainnya. Terhadap mereka-mereka ini biasanya murabbi kami hanya menertawakan dan menganggap anak-anak hijrah bau kencur tersebut hanya puber ideologi dan korban konspirasi Yahudi. Tapi setiap kali ditanya bagian mana dari ideologi-ideologi itu yang salah dan konspiratif, beliau justru balik bertanya.
“Anti nggak usah mikirin yang begituan, Ukh. Nggak baik lho buat keimanan. Fokus perbaiki ibadah saja biar nggak futur. Hayo, qiyamul lail-nya apakabar? One Day One Juz masih jalan?” begitu kata murabbiyah setiap saya mengejar penjelasan pada setiap jawaban “konspirasi Yahudi”.
Bukannya ritus ibadah tidak penting, tapi mempelajari agama sebagai ilmu juga tidak kalah penting. Bagaimana saya bisa meyakini Islam adalah satu-satunya ideologi yang benar kalau membedakan Komunisme, Sosialisme, dan Ateisme saja saya tidak bisa?
Bagaimana saya bisa menyetujui konsep Tiada Tuhan Selain Allah dalam syahadat yang saya baca setiap salat jika membedakan Allah dengan Tuhan-Tuhan (agama) lain saja saya tidak bisa? Lalu ketika ideologi-ideologi yang “lebih rasional” itu lebih populer kita justru semakin menutup diri dari kontestasi.
Atau jangan-jangan selama ini kita tidak benar-benar meyakini agama kita sebagai kebenaran, sehingga untuk membandingkannya dengan ideologi lain saja kita tidak berani dan selalu bersembunyi dalam zona nyaman bernama “keimanan”?
Padahal Rasulullah melalui hadisnya telah mewajibkan setiap muslim (perempuan dan laki-laki) untuk mencari ilmu. Dalam salah satu kajiannya bersama Keluarga Islam Indonesia di Britania Raya (KIBAR), Ustaz Syamsudin Arif menjelaskan makna tholabul ‘ilmi sebagai finding out dalam bahasa Inggris alias mencari tahu dalam bahasa kita. Sehingga karakteristik umat Islam mestinya adalah penuh keingintahuan dan rasional.
“Aku berislam maka aku berpikir,” kalau kata Descartes versi syariah.
Makanya nggak heran di Barat sana beberapa ilmuwan seperti Maurice Bucaille atau Jeffrey Lang justru menjadi mualaf karena bagi mereka Islam sangat rasional. Kalau di Indonesia, ya meskipun bukan ilmuwan, Deddy Corbuzier bisa menjadi contoh bagaimana rasionalitas dan keimanan adalah saudara kandung dalam Islam.
Sayangnya tidak semua guru ngaji seperti Gus Miftah yang sangat percaya diri dengan kebenaran agamanya sehingga begitu santai ketika diajak “berdebat” teologis dengan rasional tanpa perlu menjadi emosional.
Beliau tidak menolak keingintahuan murid-murid yang datang dengan kehausan pengetahuan akan Rabb mereka dan dengan sabar membimbing akal manusia menuju Tuhan. Bukannya justru mematikannya dengan bersembunyi di balik “pseudo-keimanan”. Seolah-olah Al-Quran diturunkan tanpa dasar keilmuan yang bisa dipelajari dengan pemikiran manusia.
Sebenarnya saya hendak mengusulkan kajian hijrah kami agar tidak hanya menawarkan permainan emosi dengan bumbu-bumbu konspirasi tetapi juga benar-benar mengajak berpikir mengenai kebenaran hakiki dan bagaimana kita meyakininya dengan ilmu.
Dengan begitu insyaallah cita-cita mengembalikan kejayaan peradaban Islam bisa lebih mudah diamini bukan saja oleh kader hijrah mbeling macam saya, tetapi juga para netizen yang suka ngatain anak hijrah cuma punya semangat tanpa ilmu. Tapi apa boleh buat, selepas bertanya perihal referensi kitab yang konon syubhat itu, saya tidak lagi menerima undangan kajian terbatas.