MOJOK.CO – Demokrat bentar lagi akan berubah haluan secara radikal di tangan Moeldoko. Lantas apa saja hal-hal yang bakal hilang?
Polemik yang melanda Partai Demokrat masih jauh dari kata akhir. Setelah wanti-wanti dari Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang menduga adanya gerakan untuk melengserkan dirinya, publik dikejutkan dengan KLB Deli Serdang yang ternyata beneran terlaksana.
Dan prank yang kelewat serius ini akhirnya menunjukkan hasil yang sudah dapat ditebak. Moeldoko beneran jadi Ketua Partai Demokrat hasil KLB Deli Serdang.
Kejadian itu bikin publik menduga-duga bahwa kisah dramatis Demokrat ini akan berakhir dengan kemenangan pihak Moeldoko, mengingat tren yang terjadi pada PPP dan Golkar, sebelumnya.
Jika memang itu yang terjadi, tentunya kita akan disuguhi tampilan Partai Demokrat yang beda betul dengan Demokrat era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Dan sebelum perbedaan itu bakal muncul, setidaknya kita akan kehilangan tiga hal ini dalam waktu dekat.
Singkatan nama
Partai Demokrat sangat kental dengan singkatan nama tokoh yang biasanya terdiri dari tiga huruf. Susilo Bambang Yudhoyono disingkat SBY. Agus Harimurti Yudhoyono disingkat AHY. Edhi Baskoro Yudhoyono disingkat EBY.
Saya sampai berpikir, bahwa untuk dapat menjadi ketua umum partai biru berlambang Mercy itu, syaratnya adalah harus memiliki nama yang terdiri dari tiga kata. Pokoknya ya harus tiga. Tidak bisa dikorting.
Toh nyatanya, Marzuki Alie dulu pernah nyalonin diri jadi ketua gagal, namanya disingkat cuma jadi dua huruf. Atau Anas Urbaningrum, yang beneran pernah jadi Ketum Demokrat, kalau disingkat jadi AU. Tapi toh yang bersangkutan nggak lama jadi ketumnya karena keburu ketahuan korupsi dan janji gantung di Monas.
Kebiasaan-kebiasaan kasih nama singkatan ini bukan kebetulan. Selain ini kebiasaan dari klan SBY, kebiasaan bikin akronim begini bisa jadi karena ada pengaruh dari pemerintahan junta militer Orde Baru zaman Pak Harto. Apa-apa serba singkatan.
Dari istilah ABRI, GBHN, penataran P4, ketahanan sipil jadi hansip, poskamling, KB, bahkan nama rezimnya sendiri jadi singkatan: Orba.
Kebiasaan itu ternyata tanpa sadar juga terbawa ke Demokrat. Ya wajar, SBY kan purnawirawan TNI. Jiwa-jiwa bikin singkatan mungkin sudah jadi kebiasaan. Bahkan untuk nama sendiri.
Pun dengan Moeldoko, yang sama-sama juga seorang purnawirawan. Meski begitu, seandainya Demokrat pimpinan Moeldoko disahkan oleh Kemenkumham, tren singkatan tiga huruf akan punah dengan sendirinya. Pun demikian dengan tren penyingkatan nama.
Masak iya, nama sesingkat Moeldoko masih harus diinisial jadi “M” doang juga? Memang M itu apa? Mermaidman?
Prihatin di Demokrat
Demokrat adalah SBY, SBY adalah Demokrat.
Itu adalah pandangan masyarakat tentang Demokrat masa lalu. Tak ada yang dapat menyangkal kesahihan SBY dalam melakukan gestur dan merangkai kalimat. Sangat orisinil. Gestur dan kata-kata adalah dua persona SBY yang tidak dapat dipisahkan dari Demokrat.
Contohnya, saat SBY berkata, “Saya prihatin,” blio akan menyempurnakan kalimat tersebut dengan ekspresi sendu yang diwarnai kantung mata yang terlihat agak bengkak karena kurang tidur, serta telapak tangan yang diletakkan di dada area sekitar jantung berdetak.
Demokrat banget.
Saat SBY menahan amarah, gesturnya sangat jelas. Blio akan menyilangkan kedua tangan di dadanya, sambil menarik nafas panjang, sembari melihat tajam ke arah orang yang membuatnya marah. Kemampuan mengontrol emosi yang baik ini bisa jadi bikin kalimat-kalimat yang terlontar dari SBY juga tertata dengan sangat rapi.
Jika SBY ngomong suka tanpa nada dan flat aja, Moeldoko justru selalu punya kebiasan membuat penekanan nada pada kata-kata tertentu. Agak berbanding terbalik sih.
Lebih menggebu-gebu, to the point, dan lugas. Kadang sih suka agak terbawa emosi, meski dibungkus dengan senyuman atau tawa kecil yang bisa bikin preman Tanah Abang ketakutan.
Mungkin kalau diibaratkan kayak main layangan, SBY suka main alusan, Moeldoko suka main gelasan. SBY yang bikin layangan, biar Moeldoko yang pegang senar.
Rambut klimis
Sekarang, mari kita bandingkan SBY-AHY dan Moeldoko.
Sebagai mantan prajurit beda generasi, wajar saja jika kita melihat beda gaya dari para putra terbaik bangsa tersebut. Namun, kita dapat melihat adanya kesamaan dari SBY dan AHY. Keduanya kerap muncul ke publik dengan rambut klimis.
Mau apapun gayanya, rambut klimis tampaknya jadi style yang tipikal bagi bapak-anak tersebut. Hampir selalu rambutnya Mas AHY ini mengkilap yang kalau di kampung-kampung istilahnya “rambut coro”.
Keklimisan ini sebenarnya menandakan betapa settle kondisi keluarga SBY (sebelum Moeldoko datang menyerang). Sudah lah mantan presiden, keluarga purnawirawan TNI, bisnis di mana-mana. Sudah. Cukup. Kurang apalagi kehidupan keluarga SBY?
Sementara, untuk Moeldoko, blio yang lebih urakan kalau soal gaya rambut (dibanding keluarga SBY) juga menandakan situasinya. Moeldoko kerap membiarkan rambutnya disisir belah pinggir dengan cara biasa saja dan terkesan tanpa perawatan.
Barangkali ini karena Moeldoko masih punya mentalitas prajurit lapangan. Ya maklum, kondisi Moeldoko kan belum settle amat dari dulu. Riwayat politiknya mobat-mabit. Agak nggak jelas.
Moeldoko sempat dianggap sebagai salah satu ancaman untuk Jokowi ketika Pilpres 2014. Lalu tiba-tiba namanya diisukan jadi pendamping Jokowi di 2019, sebelum akhirnya diputuskan bahwa ternyata Jokowi lebih butuh back-up untuk menghadapi umat ormas ketimbang tentara.
Dan ketika Jokowi beneran menang, Moeldoko adalah kandidat Menko Polhukam dan Menteri Pertahanan. Dua posisi kemudian yang diambil oleh senior-senior politiknya: Mahfud MD dan Prabowo.
Di tengah tuna-jabatan itu, Kepala Staf Presiden (KSP) bukan lah posisi yang cukup mentereng untuk sosok purnawirawan TNI seperti Moeldoko. Posisinya sudah mentok. Nggak akan bisa naik lagi. Yah, bakal cuma di situ-situ aja kalau dibiarkan begini aja.
Dalam situasi “bertarung” untuk punya jabatan yang lebih tinggi (ketika Luhut, Prabowo, sampai SBY sudah merasakan manisnya kursi politik), wajar kalau Moeldoko tak begitu peduli dengan penampilannya.
Beruntung akhirnya proses pengambilalihan Demokrat berhasil dia lakukan. Tanpa perlu repot bikin partai, Meoldoko kini bisa mengelola partai untuk memenuhi ambisi politiknya menyuarakan aspirasi rakyat.
Kalau nanti Moeldoko beneran jadi Ketum Demokrat yang diakui negara, dan—entah kapan—bisa mengajukan diri jadi capres (atau minimal cawapres) dari Demokrat, baru urusan rambut klimis ini sepertinya baru bakal diperhatikan.
Diperhatikan doang tapi, dipillih jadi presidennya sih kagak.
BACA JUGA Moeldoko Pantas Percaya Diri Hadapi AHY atau tulisan Yesaya Sihombing lainnya.