Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Wisuda Adalah Momok Menakutkan dengan Segala Selebrasi Konyol nan Mahal untuk Mahasiswa Perantau Kantong Pas-Pasan Seperti Saya

Ifana Dewi oleh Ifana Dewi
25 Juli 2025
A A
Wisuda: Momok Menakutkan Penuh Selebrasi Konyol dan Mahal MOJOK.CO

Ilustrasi Wisuda: Momok Menakutkan Penuh Selebrasi Konyol dan Mahal. (Mojok.co/Ega Fansuri)

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Prosesi wisuda bukan hanya soal kebahagiaan tapi juga kemalangan bagi mahasiswa pas-pasan.

Perasaan inilah yang sedang saya rasakan saat ini. Saya adalah mahasiswa akhir yang tengah menunggu wisuda bulan depan, tepat di 14 Agustus 2025. 

Umumnya, pelaksanaan wisuda merupakan hal yang dinanti-nantikan oleh setiap mahasiswa. Sebagian dari mereka, bahkan secara berlebihan, menganggap wisuda adalah momen sakral. Sebuah puncak perjuangan panjang, katanya. 

Bagaimana tidak, mereka telah berhasil melewati serentetan ujian penuh pengorbanan. Tak hanya ujian menghadapi pertanyaan “kapan lulus”, tapi juga menghadapi revisian berkali-kali. Belum lagi ketika ujian menghadapi dospem yang suka ghosting, staff TU jutek, sampai administrasi yang ribet dan panjang. 

Oleh sebab itu, tak dapat dimungkiri, wisuda menjadi sebuah momen kebahagiaan. Dan tak ayal, jika prosesi wisuda sering dirayakan dengan euforia penuh keberhasilan. Bahkan tak jarang perayaan ini sudah berlebihan dan tentunya menguras biaya yang tak sedikit. 

Ragam gaya perayaan wisuda

Biasanya, setiap fakultas dan mahasiswa punya gaya dan tradisinya masing-masing untuk merayakan wisuda. Di beberapa fakultas misalnya, selebrasi wisuda dilaksanakan dengan cukup meriah dan unik. 

Ada yang memeriahkannya dengan nyanyian yel-yel dan iringan marching band oleh adik tingkat. Ada juga yang para wisudawannya diarak mengelilingi komplek kampus. 

Bahkan ada juga yang diarak dengan kendaraan tempur, yang diundang dari satuan Brimob. Sungguh berlebihan. Dan semua berlebihan itu merupakan selebrasi yang dimeriahkan untuk para wisudawan secara umum.

Kalau selebrasi yang dilakukan secara personal, lain cerita. Ada yang mentraktir rekan sejawat, cosplay menjadi pengantin dadakan dan rela berdiri berjam-jam untuk dimintai foto, ada juga yang rela berlama-lama menunggu dengan harap kawan dari berbagai organisasinya datang untuk sekedar memberikan selamat.

Di balik euforia wisuda yang glamor itu, ada sebuah kemalangan. Khususnya bagi mahasiswa perantau kantong pas-pasan seperti saya. 

Sejak awal menjadi mahasiswa, saya sudah bertarung menanggung kerasnya kehidupan selama di perantauan. Termasuk menanggung biaya kuliah. Maka, saat pengumuman wisuda itu terbit di laman sistem akademik, kepala saya langsung terasa pening. 

Pasalnya, sudah ada adat, tradisi, atau apalah itu sebutannya. Jadi, para wisudawan harus tampil memukau, terlebih wisudawan perempuan. 

Seperti ada standar umum jika wisudawan perempuan harus tampil sempurna dari ujung kepala hingga kaki. Harus proper, kata mereka. Tentunya harus instagramable mulai dari outfit, pose, hingga printilan lainnya. Semua itu jelas memerlukan biaya yang tak sedikit.

Rincian harga untuk sebuah pose cantik nan aesthetic

Beberapa hari lalu saya sempat berbincang dengan senior terkait persiapan wisuda. Yang dalam perbincangan tersebut, saya tidak menemui hal krusial yang wajib disiapkan wisudawan. Semua wejangannya nyaris mengarah kepada pemenuhan standar sosial. Dia menyarankan saya untuk mempersiapkannya jauh-jauh hari. “Biar ga kedandapen,” ujarnya. 

Iklan

Terakhir saya cek, umumnya, harga make up wisuda di sekitaran Rp200 sampai Rp300 ribu, bahkan hingga Rp500 ribu. Tentu mahal-murahnya tergantung kualitas yang ditawarkan masing-masing MUA. 

Kalau sudah membayar mahal make up, maka ada perasaan “eman”, jika tidak dipotret oleh fotografer andal. Lagi-lagi biaya untuk mengundang jasa fotografer tidaklah murah. 

Kira-kira, per satu jam, ongkos fotografer profesional bisa tembus Rp400 ribu bahkan lebih. Belum lagi satu set pakaian atau kebaya, baik menyewa maupun beli, di sekitaran harga Rp300 sampai Rp400 ribu. Juga heels yang kurang lebih di harga Rp200 ribu. Total untuk penampilan saja kurang lebih sudah Rp1 juta.

Eits, masih belum selesai. Sebagaimana sudah menjadi bagian dari upacara wisuda, pihak kampus turut mengundang keluarga wisudawan. Jelas, kayak gini butuh biaya untuk mendatangkan keluarga. 

Setelah saya hitung, biaya perjalanan yang akan dihabiskan sekurangnya Rp2 juta. Sungguh bukan uang yang bisa saya dapatkan dalam sekejap. Maka, lengkap sudah kemalangan mahasiswa petarung tunggal seperti saya menjelang prosesi wisuda. 

Bukan sebuah keharusan, tapi tetap ada tekanan sosial 

Entah sejak kapan dan siapa yang menetapkan standar tak tertulis itu. Rasanya saya ingin memaki orang yang kali pertama membangun standar sosial tersebut. 

Apalagi, setelah saya baca ulang tata tertib pelaksanaan wisuda, saya tidak menemukan standar di atas. Mungkin itu “akal-akalan” sebagian oknum mahasiswa atau pebisnis event seperti MUA, fotografer, dan lainnya. Entah. 

Saya sadar dan yakin kalau itu semua bukan kewajiban. Setiap orang berhak memilih jalan dan gayanya tersendiri untuk merayakan wisuda. Namun, tetap saja ada tekanan sosial. Halus tapi nyata. Yang tekanan itu membuat saya (sebagai manusia pada umumnya) merenung akan hal itu.

Pasalnya, tekanan itu datang dari berbagai pihak. Misalnya, sesaat setelah saya bilang akan pakai sneakers, bukan heels, teman-teman menertawakan pilihan ini. “Ngawur! Wisuda ki pantese nganggo heels,” begitu petuah mereka. 

Kejadian sama terjadi lagi ketika saya memilih tidak menyewa jasa MUA. Saya akan mengandalkan kemampuan merias diri sendiri. Olokan itu semakin membahak. “Iki wisuda lho, udu meh dolan.”

Hidup adalah pilihan, dan setiap pilihan memiliki konsekuensi

Seorang bijak bestari pernah bilang gini: “Hidup adalah pilihan.” Cukup lama saya mempertimbangkan kalimat tersebut. Khususnya ketika terjadi ujian kepada prinsip hidup saya. 

Pilihannya ada dua. Pertama, mengikuti arus gaya wisuda pada umumnya. Konsekuensinya adalah menguras tabungan yang telah saya siapkan untuk kehidupan selanjutnya. Kedua, berpendirian teguh menciptakan gaya sendiri dengan menjadi wisudawan malang, tetapi tabungan dan dompet aman. 

Hingga pada akhirnya, setelah melewati banyak malam perenungan yang berujung ketiduran. Tentunya juga dengan menampik perasaan iri yang lebih dulu menyelinap, saya putuskan untuk memilih jalan realistis. 

Saya memilih untuk menutup mata saat wisudawan lain berpose bahagia dikelilingi keluarga. Saya juga bersedia menutup kuping rapat-rapat saat ada keluarga besar atau kawan yang berkomentar sumbang. 

Maka dengan diiringi istighfar, saya tega membohongi mamak saya. Kami berjarak 500 kilometer dan saat itu dia menelepon untuk memastikan wisuda saya. 

“Dek, mamak perlu ke sono, nggak? Teman-temanmu yang lain didampingi orang tua nggak?”

Saya menjawab dengan mantap dan lugas “Gosah ke sini, Mak. Temen-temenku yang rumahnya deket Jogja doang, yang orang tuanya dateng,” kata saya menenangkan Mamak.

Selesai sudah obrolan singkat soal wisuda. Karena tak ingin memunculkan pertanyaan lanjutan, saya buru-buru menutup telepon dengan salam dan sebaris alasan, “Ya udah, Mak, aku lanjut kerja dulu.”

Penulis: Ifana Dewi

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Wisuda Hanya Sebuah Seremoni, Rayakan Secukupnya Tak Perlu Berlebihan dan catatan menarik lainnya di rubrik ESAI.

Terakhir diperbarui pada 25 Juli 2025 oleh

Tags: biaya wisudakebaya wisudamakeup wisudasyarat wisudawisuda
Ifana Dewi

Ifana Dewi

Hamba amatir, suka ngopi.

Artikel Terkait

Mahasiswa PTN pura-pura lulus kuliah padahal sudah DO, demi fokus kerja untuk bantu ibu dan buatnya bangga karena gelar sarjana MOJOK.CO
Kampus

Mahasiswa PTN Rela Bohongi Ibu: Ngaku Sudah Lulus Kuliah Bergelar Sarjana padahal DO, Demi Fokus Kerja Bantu Hidupi Keluarga

13 Agustus 2025
Wisuda.MOJOK.CO
Ragam

Saat Anak Wisuda dan Bangga Jadi Sarjana, Ortu Berpura-pura Ikut Bahagia padahal Hatinya Tersiksa karena “Buang-Buang Uang”

7 Agustus 2025
Mahasiswa semester tua pura-pura wisuda sampai bawa orangtua ke kampus MOJOK.CO
Kampus

Mahasiswa Semester Tua Pura-pura Wisuda padahal Belum Lulus, Demi Senangkan Orangtua Foto Bareng di Kampus

6 Mei 2025
Wisuda.MOJOK.CO
Kampus

UTBK Ditemani Bapak Naik Bus 7 Jam ke Jogja, Nyesek Gelar Cumlaude Tak Ada Artinya karena Tak Bisa Membanggakannya

24 April 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Drama sepasang pekerja kabupaten (menikah sesama karyawan Indomaret): jarang ketemu karena beda shift, tak sempat bikin momongan MOJOK.CO

Menikah dengan Sesama Karyawan Indomaret: Tak Seperti Berumah Tangga Gara-gara Beda Shift Kerja, Ketemunya di Jalan Bukan di Ranjang

17 Desember 2025
Busur Panah Tak Sekadar Alat bagi Atlet Panahan, Ibarat "Suami" bahkan "Nyawa" Mojok.co

Busur Panah Tak Sekadar Alat bagi Atlet Panahan, Ibarat “Suami” bahkan “Nyawa”

19 Desember 2025
Slipknot hingga Metallica Menemani Latihan Memanah hingga Menyabet Medali Emas Panahan Mojok.co

Slipknot hingga Metallica Menemani Latihan Memanah hingga Menyabet Medali Emas Panahan

21 Desember 2025
Kuliah di universitas terbaik di Vietnam dan lulus sebagai sarjana cumlaude (IPK 4), tapi tetap susah kerja dan merasa jadi investasi gagal orang tua MOJOK.CO

Kuliah di Universitas Terbaik Vietnam: Biaya 1 Semester Setara Kerja 1 Tahun, Jadi Sarjana Susah Kerja dan Investasi Gagal Orang Tua

15 Desember 2025
Atlet panahan asal Semarang bertanding di Kota Kudus saat hujan. MOJOK.CO

Memanah di Tengah Hujan, Ujian Atlet Panahan Menyiasati Alam dan Menaklukkan Gentar agar Anak Panah Terbidik di Sasaran

19 Desember 2025
UMP Jogja bikin miris, mending kerja di Jakarta. MOJOK.CO

Menyesal Kerja di Jogja dengan Gaji yang Nggak Sesuai UMP, Pilih ke Jakarta meski Kerjanya “Hectic”. Toh, Sama-sama Mahal

17 Desember 2025

Video Terbaru

SD Negeri 3 Imogiri Bantul: Belajar Bergerak dan Bertumbuh lewat Sepak Bola Putri

SD Negeri 3 Imogiri Bantul: Belajar Bergerak dan Bertumbuh lewat Sepak Bola Putri

18 Desember 2025
Ketakutan pada Ular yang Lebih Dulu Hadir daripada Pengetahuan

Ketakutan pada Ular yang Lebih Dulu Hadir daripada Pengetahuan

17 Desember 2025
Undang-Undang Tanjung Tanah dan Jejak Keadilan di Sumatera Kuno pada Abad Peralihan

Undang-Undang Tanjung Tanah dan Jejak Keadilan di Sumatera Kuno pada Abad Peralihan

14 Desember 2025

Konten Promosi



Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.