“Gimana rasanya sekarang?”
“Alhamdulillah. Saya plong sekarang. Lega.”
“Syukurlah.”
“Namanya juga hidayah. Bukan kita yang menentukan.”
“Anda sudah lama mengenal Islam?”
“Cukup lama. Sampai SMP saya bersekolah di sekolah Islam. Kalau dulu boleh ikut pelajaran mengaji, saya mungkin sudah hafal Al-Quran.”
“Oh ya?”
“Saya hafal beberapa surat.”
“Termasuk Al-Maidah ayat 51?”
“Belum. Saya tahu ayat itu saat saya masuk politik.”
“Saat mau jadi bupati itu?”
“Sekitar-sekitar itu.”
“Anda bukan hanya sekali mengutip ayat itu, iya kan?”
“Betul. Sudah sejak 2008. Sudah berkali-kali.”
“Kenapa ayat itu menarik perhatian Anda?”
“Sebagai politisi saya kan harus terpilih.”
“Hanya karena itu?”
“Itu sudah berlalu. Sudah selesai.”
“Anda sempat minta maaf, tapi tak mau mengaku salah.”
“Saya sudah minta maaf.”
“Kenapa tak mengaku salah?”
“Sekarang saya sudah masuk Islam.”
“Kenapa Anda masuk Islam?”
“Saya bilang tadi: ini soal hidayah.”
“Bukan karena untuk politik lagi dan pengakuan bersalah Anda?”
“Bukan. Bukan….”
“Waktu menjabat Anda mengerahkan konsultan intelijen bernama Tranada, apa betul?”
“Itu kumpulan anak-anak muda. Kasihan mereka butuh makan.”
“Mereka yang memasok laporan agar melawan aksi 4 November?”
“Saya tak bisa menjelaskan. Sekarang hubungan saya baik semua.”
“Dengan siapa?”
“Saudara-suadara umat Islam. Mereka sudah menerima saya.”
“Apa karena Anda masuk Islam?”
“Saya tidak tahu. ”
“Hubungan dengan yang lain?”
“Tetap baik. Ada kekecewaan. Kenapa saya begini, kenapa begitu.”
“Anda menyesal telah menggusur kampung dan rumah-rumah orang-orang itu?”
“Saya harus melakukannya demi tata kota dan tata hidup harus lebih baik.”
“Anda menyesal?”
“Tahu bahwa sebagian dari mereka kemudian kehilangan tempat tinggal dan tercabut dari kampungnya, iya, saya menyesal.”
“Hanya dalam setahun, Anda melakukan 113 penggusuran dan dilakukan dengan sadis….”
“Saya melakukannnya atas nama negara.”
“Kalau atas nama negara boleh melakukan apa saja?”
“Mestinya tidak boleh.”
“Anda mengabaikan putusan pengadilan.”
“Tapi saya harus melakukannya.”
“Kenapa?”
“Saya tak bisa menjelaskannya. Lagi pula itu sudah berlalu.”
“Reklamasi juga atas nama dan demi negara?”
“Itu rencana lama. Sudah ada sejak zaman Orde Baru.”
“Anda yang merealisasikannya.”
“Itu juga atas nama negara.”
“Kenapa Anda selalu bilang atas nama kepentingan negara?”
“Karena saya pejabat negara.”
“Bukan atas nama kepentingan cukong dan elite pengambil rente?”
“Sekarang saya menerima semua tuduhan.”
“Sebetulnya tak banyak yang Anda perbuat untuk warga bukan?”
“Saya tak mungkin menyenangkan semua orang.”
“Problemnya, Anda membuat imaji seolah Anda telah berbuat sesuatu. Memukau. Seolah Anda paling bersih?”
“Nanti akan ada pengakuan terbuka dari saya.”
“Apa yang ada di benak Anda saat bilang mau membunuh 2 ribu untuk menyelamatkan 10 juta orang?”
“Saya emosional saat itu.”
“Ucapan Anda ucapan seorang fasis dan pertama diucapkan oleh pejabat di sini. Kenapa Anda seperti ingin melawan kemanusiaan?”
“Saya tak benar-benar mau melakukannya.”
“Sebagai pejabat, Anda beruntung karena dilindungi oleh….”
“Itu rahasia saya dengan Pak… (off the record)”
“Rahasia apa?”
“Itu masa lalu. Sudahlah.”
“Apa rencana Anda ke depan setelah masuk Islam?”
“Saya mau naik haji.”
“Hanya itu?”
“Saya mau jadi anggota FPI.”
“Loh? Sebetulnya Anda siapa sih?”
“Gue yang mestinya nanya: elu siapa?”
“Elu enggak usah marah-marah gitu dong. Gue kan cuma nanya.”
“Elu tuh para wartawan, ngambil keuntungan dari gue. Besar-besarin isu gue. Elu pada yang membesarkan nama gue. Elu pada yang membuat gue jadi kayak gini. Taik elu pada. ”
“Dasar lu, Hok, emang kagak pernah berubah.”
“Hak Hok Hak Hok. Elu kira gue Ahok, hah?”
“Bukannya elu emang Ahok?
“Makanya jadi wartawan jangan sok tahu. Gue ladenin elu karena gue ingin tahu siapa elu.”
“Jadi elu bukan Ahok?”
“Gue Ahok kek, gue nenek elu kek, elu mau apa?”
“Jadi elu siapa?”
“Bego. Gue panitia hari jamban internasional tauk.”
“Hari jamban?”
“Dasar wartawan bego lu. Kemarin tuh hari toilet internasional tauk.”
“Ada hari taik?”
“Madekipe lu. Kita memang taik semua.”
“Elu raja taik dong?”
“Kalau gue raja taik, elu mau apa?”
*(Tulisan terlambat untuk peringatan Hari Toilet Internasional 20 November)