Membandingkan Warteg di Singapura, Negara Tersehat di Dunia, dengan Indonesia: Perbedaan Kualitasnya Bagai Langit dan Bumi

Warteg Singapura vs Indonesia: Perbedaan Kualitas Langit-Bumi MOJOK.CO

Ilustrasi Warteg Singapura vs Indonesia: Perbedaan Kualitas Langit-Bumi. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COYang warga Singapura konsumsi di warteg sebenarnya mirip dengan Indonesia. Namun, kenapa kualitas hidupnya berbeda?

Setelah beberapa kali berkunjung ke luar negeri, saya mulai percaya dengan ungkapan, “You are what you eat.” Apa yang kita konsumsi, mempengaruhi kesehatan dan kesejahteraan kita seluruhnya. 

Ketika pergi ke Jepang, saya mendapati mayoritas warganya memiliki postur tubuh ideal. Setelah saya amati, mereka terbiasa dengan porsi makan kecil dan tinggi nutrisi seperti sushi dan sashimi. 

Kemudian saya pergi ke negara “terkurus” di dunia, yaitu Vietnam. Saya melihat rata-rata masakan Vietnam mengandung sayuran, memiliki protein, dan rendah lemak. Contohnya Pho, makanan ini terbuat dari tepung beras, lalu dihidangkan dengan kuah kaldu bening (clean/tidak berlemak) bersama sayuran dan daging. 

Di Vietnam, setelah memesan makanan, warteg setempat selalu menyediakan satu mangkuk sayuran (gratis). Sayuran segar di Negeri Gajah Biru sudah seperti kerupuk di warteg-warteg Indonesia, pelengkap di banyak menu makanan. 

Kemudian, saat berkunjung ke Malaysia, saya banyak bertemu restoran dan semacam warteg yang menjual nasi lemak, laksa, dan bebek peking. Dengan kebiasaan mengkonsumsi makanan tinggi lemak tersebut, Malaysia menjadi negara dengan obesitas tertinggi di Asia Tenggara.

Singapura, negara paling sehat di dunia

Sementara di Indonesia, yang terbiasa makan gorengan dan malas jalan, kita masuk dalam daftar 10 besar negara dengan tingkat obesitas tertinggi di dunia. Melihat kebiasaan makan di beberapa negara, saya beranggapan jika jenis makanan di suatu negara representatif dengan kondisi kesehatan warganya. Sampai kemudian saya datang ke Singapura dan melihat hal berbeda.  

Makanan khas Singapura itu kan chicken rice, roti prata, wanton mee, laksa, dan khaya toast. Sementara minuman favoritnya teh, susu, dan boba. 

Kamu bisa membaca dan mengenali bahwa makanan dan minuman sehari-hari warga Singapura tidak jauh beda dengan makanan orang Indonesia dan Malaysia. Namun, singapura justru menjadi negara tersehat di dunia versi Bloomberg Global Health Index 2025. 

Penasaran dengan hal tersebut, bulan lalu saat ke Singapura, saya sengaja banyak makan di warung pinggir jalan alias warteg. Saya sengaja mengamati kebiasaan makan warga lokalnya. Apa yang kira-kira yang membuat warga Singapura lebih sehat dibandingkan warga di negara kita? 

Membandingkan warung sederhana di Singapura dan warteg di Indonesia

Saya menyebut warung pinggir jalan atau warteg di food court di area permukiman sebagai warung sederhananya Singapura. Sebab, warga lokal sering mendatangi warung seperti ini. Makanan yang mereka sajikan mirip dengan wateg di Indonesia. Ada tumis buncis, tumis udang, ayam goreng, ikan kuah bening, ayam kecap, sup sayur, dan berbagai pilihan masakan khas Melayu lainnya.  

Konsep berjualannya juga sama dengan warteg. Kita membayar sesuai dengan jenis sayur dan lauk yang kita pilih. 

Misalnya, tumis wortel 1 SGD, tumis buncis 1 SGD, ayam goreng 8 SGD, kalau kita pilih ketiganya berarti 10 SGD. Nasi dihitung terpisah (nasi putih 2 SGD per piring) dan totalnya 12 SGD (Rp154 ribu). Harga tersebut memang terasa mahal bagi standar UMR Indonesia, tapi murah meriah untuk standar gaji Singapura.

Saya mencoba berbagai menu di warteg Singapura. Kadang makan ayam goreng, kadang hanya tumisan dan sayur sop, sering juga makan ikan kuah bening dan nasi goreng. Ini jenis makanan yang biasa saya makan juga di Indonesia.

Baca halaman selanjutnya: Kenapa warteg Singapura lebih sehat?

Warteg mereka “lebih sehat” 

Secara tampilan, makanannya sama saja. Tapi, untuk rasa, sedikit berbeda. Di Singapura rasa makanannya cenderung lebih hambar. Mungkin mereka sengaja mengurangi garam dan bahan penyedap agar lebih sehat.

Secara konsep, warung sederhana di Singapura sama dengan di Indonesia. Bedanya ada pada kualitas bahan baku dan alternatif menu. Kalau di warteg Indonesia, kita kesulitan mencari makanan rendah lemak. Maklum, rata-rata warteg menggoreng lauk sementara sayurnya dimasak dengan santan.

Sementara di Singapura, setiap warung masih menyediakan pilihan makan sehat seperti steam ikan atau sup asparagus. Ketika harus menggoreng, mereka menggunakan minyak goreng dengan kualitas baik. Saya tidak pernah melihat ada warung yang menggoreng ayam dengan minyak menghitam yang sudah dipakai puluhan kali. 

Apakah para semua pemilik warteg di Singapura memang kesadaran akan kesehatan? Kalian salah besar. Sebab, pemerintah Singapura memiliki peran penting dalam mengontrol penggunaan bahan makanan dan minyak goreng di kedai, restoran, sampai kelas warteg.

Kontrol ketat negara terhadap kualitas makanan

Saat berkunjung ke warteg di Singapura, saya melihat banyak meja yang ditempeli stiker (barcode) yang bisa di-scan. Tujuan dari barcode ini adalah supaya pengunjung bisa memeriksa jumlah kalori dalam seporsi makanan. Hal ini memudahkan warga mengatur asupan nutrisi yang masuk ke dalam tubuhnya. 

Singapura juga mengontrol kualitas bahan makanan di restoran sampai warteg. Tempat makan tersebut akan mendapatkan stiker dari pemerintah jika menggunakan minyak mutu tinggi dan bahan masak alami. 

Tidak hanya makanan, pemerintah mereka juga mengontrol produk minuman (susu dan minuman kemasan) di supermarket. Pemerintah mewajibkan semua produsen menempelkan label nutri-grade (huruf A, B,C,D). 

Jadi, label A untuk minuman dengan kadar gula paling rendah. Label B, lebih tinggi gula dari A. Lalu, C lebih tinggi gula dari B, dan seterusanya. Jika ada produk minuman mendapatkan label D, produk tersebut tidak boleh diiklankan.

Kontrol ketat bahkan sampai ke kafe

Nutri-grade tidak hanya berlaku untuk minuman kemasan, tapi juga minuman di kafe. Misalnya Starbucks Singapura, di mana semua minumannya memiliki label nutri-grade. Mereka bahkan menuliskannya di papan menu.

Misalnya, Salted Caramel Macchiato Starbucks yang saya minum nyaris setiap hari di Surabaya ternyata mendapatkan label C (tinggi gula). Sungguh mengerikan.  

Nutri-grade membuat produsen dan penjual minuman di kafe berlomba menawarkan minuman yang lebih sehat. Sebab, kalau minumannya tinggi gula, mereka tidak bisa mengiklankan minuman tersebut di media dan tempat umum lainnya. Dengan label nutri grade, warga Singapura yang awam kesehatan bisa memilih minuman yang lebih rendah gula. 

Meski warga Singapura sama-sama hobi minum boba mirip dengan orang Indonesia, tapi mereka bisa tetap sehat. Semua berkat kebijakan pemerintah Singapura yang berpihak pada kesehatan warganya. 

Pejabatnya tidak sekedar koar-koar tentang pentingnya makanan sehat. Namun, mereka berperan aktif menciptakan budaya sehat tersebut melalui regulasi bahan pangan dan memberikan fasilitas pendukung kesehatan.

Contoh paling sederhana. Air minum adalah kebutuhan vital dan penting untuk kesehatan tubuh. Masalahnya, Singapura tidak memiliki sumber air sendiri dan mereka harus impor dari Malaysia. Bahkan Aqua kemasan 750 ml di Singapura dibandrol dengan harga 3 SGD (Rp37 ribu). 

Namun, alih-alih ribut soal air minum kemasan yang luar biasa mahal, mereka justru sibuk membuat mesin penyuling. Hasilnya, warga bisa minum air secara gratis dari kran di rumah masing-masing secara gratis. 

Deteksi dini kesehatan mudah dan murah

Surabaya menjadi kota yang warganya banyak bepergian ke Singapura. Tidak hanya untuk keperluan bisnis atau liburan saja, melainkan untuk berobat. 

Maklum, rumah sakit di Singapura memiliki pelayanan yang efisien, teknologi canggih, dan biayanya lebih murah daripada Indonesia. Yang membuat saya kagum dan berfikir kalau Menteri Kesehatan Singapura benar-benar bekerja adalah sistem deteksi dini kesehatan yang mudah diakses serta gratis. 

Kita bisa memeriksa kadar kolesterol, asam urat, dan berat badan (semacam MCU basic) di mesin gym yang ada di pusat perbelanjaan secara cuma-cuma. Saya pernah mau mencoba mesin tersebut, tapi gagal karena saya bukan warga lokal. Hmmm. 

Di Singapura, saya banyak melihat lansia masih aktif bekerja. Pembuat kopi di kedai, penjual makanan, pekerja kebersihan, bahkan petugas bandara sekalipun banyak yang sudah lansia. 

Saya juga pernah mengobrol dengan petugas kebersihan di Bandara Changi. Usianya sudah lebih dari 65 tahun tapi masih cekatan. Kakek tersebut bilang kalau di Singapura pemeriksaan kesehatannya online. Dengan sistem online, para lansia akan diprioritaskan saat melakukan cek kesehatan sehingga mereka tidak perlu mengantre. 

Gabungan antara kualitas bahan makanan yang baik, dari restoran sampai kelas warteg, memberi dampak positif. Kampanye kesehatan mereka begitu efektif dan kebijakan yang dikontrol dari atas ke bawah membuat warga Singapura memiliki angka harapan hidup yang tinggi. Inilah yang menjadikan mereka sebagai negara tersehat di dunia.

Artinya, makanan sehat itu memang penting. Tapi, masyarakat tidak mungkin mengkonsumsi makanan sehat kalau harganya mahal dan ketersediaannya terbatas. 

Kebiasaan warga untuk hidup sehat harus didukung oleh negara dengan membuat regulasi yang memihak warga. Minimal memberikan akses kesehatan yang murah dan mudah bagi warga. 

Selain tentu saja terus menerus menginformasikan dan mengkampanyekan tentang gaya hidup sehat. Sebuah pelajaran penting, tapi sebetulnya mudah ditiru oleh Indonesia. Tapi, niat apa nggak? Itu masalahnya.

Penulis: Tiara Uci

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Singapura Memang Semenyenangkan Itu, dan Memang Bikin Betah Banget, Wajar kalau Pada Pindah dan pengalaman menarik lainnya di rubrik ESAI.

Exit mobile version