Sekali lagi, kebijakan “melarang warga inainu” itu sudah paling pas untuk warga Jogja dari Pemda. Jangan kebanyakan protes, nanti kamu ditanyain NPWP.
Maka dari itu, kita harus bersyukur bisa hidup seperti di dalam kamp penjara. Lha wong demi kebaikan kita sendiri. Misalnya ya soal larangan keluar rumah kala musim liburan. Kita tahu kalau akar masalahnya itu di kondisi jalanan dan transportasi. Tapi itu kan Pemda pasti butuh ribuan tahun untuk mengatasinya. Makanya, yang simpel saja dan bisa diterapkan, yaitu melarang warga. Titik. Kamu kan ya nggak mau kena macet lalu misuh-misuh, kan?
Kamu protes karena sudah bekerja sepanjang tahun dengan upah full senyum tapi nggak boleh piknik? Saya gantian tanya. Memangnya duit yang kalian sisihkan untuk piknik itu berapa? Mending ditabung, kan.
Yah, itung-itung buat beli kaveling kuburan, yang mana sekarang harganya meroket. Iya, beli kaveling tanah kuburan, toh kalian juga nggak mampu beli tanah perumahan, kan? Itu tugasnya orang-orang kaya dari luar Jogja. Kamu yang miskin mending merenung di rumah terus nanti jadi penunggu kos-kosan atau kontrakan milik orang kaya.
Mari bersyukur kehidupan kita sebagai warga Jogja jadi seperti budak. Upah sudah dapat, bisa menerima semuanya dengan lapang dada dan ikhlas, katanya semua biaya masih murah. Mau minta apa lagi? Itu ganjarannya sudah surga, lho.
Akar masalah
Kembali ke soal liburan tadi ya….
Seperti yang saya bilang. Kalau kita runut lagi, semua pangkal permasalahan ada di sistem transportasi Jogja yang nggak memadai. Mulai dari halte yang, aduh, bahkan saya nggak tega buat menjelaskan, sampai trayek yang nggak memenuhi keinginan para warga dan wisatawan. Trayek Trans ssaja nggak sampai menyentuh teritori tempat wisata yang jauh di luar pusat kota.
Padahal, subsidi Trans pada 2022 mencapai Rp100 miliar. Kalau Anda baca beberapa portal berita, banyak yang menuliskan bahwa tingkat keterisian bus ini mencapai 100 sampai 200 persen. Padahal, kalau dilihat secara langsung, Trans hilir mudik seperti kapsul kosong yang hanya membawa angin.
Ya, mungkin ada belasan penumpang, namun apakah itu sebanding dengan mampatnya kota Jogja yang diserbu pelancong? Mereka pun pasti ogah pakai bus hijau yang beberapa asapnya seperti tinta gurita walau subsidi untuk penumpang mencapai Rp78 miliar, jika masalah jadwal saja belum bisa tepat. Jangankan bisa tepat, ada jadwal kedatangan dan keberangkatan saja enggak.
Trans Jogja yang aneh
Apa bedanya pakai Trans Jogja, kalau akhirnya ikut memeriahkan kemacetan di jalanan? Rute terluar trayek pun (jika ke arah selatan) hanya ke daerah Palbapang, Bantul. Artinya, kalau pelancong pakai jasa Trans Jogja, harus nambah ongkos untuk ke spot wisata pantai. Kalau ditanya meneruskan pakai transportasi apa, saya nggak punya jawaban selain ojek online. Astaga, ke pantai pakai ojek online.
Belum lagi spot wisata yang menarik lainnya di Gunungkidul dan Kulonprogo, belum ada trayek Trans yang menyentuh sedalam itu. Kalau ada, pasti akan terjadi pro dan kontra. Seperti trayek Palbapang, Trans Jogja bergesekan dengan penghuni lama rute tersebut, yakni Bus Abadi. Hadirnya Trans Jogja rute tersebut dianggap merebut penumpang bus rute Palbapang-Pojok Beteng.
Jogja itu lucu, melabeli dirinya kota wisata, namun mengelola para wisatawan malah banyak celanya. Itu pun masih mengorbankan kebahagiaan warga aslinya. Katanya sih mensejahterakan warganya dengan cara mendatangkan para pelancong sebanyak-banyaknya, namun Pemda lupa bahwa nggak semua warga Jogja bekerja di bidang pariwisata.
Warga itu anak baik
Untungnya ya, seluruh warga Jogja itu anak baik. Mereka nggak pernah demo besar-besaran, meskipun Pemda terang-terangan kehabisan akal mengurai permasalahan menjelang dan pasca-liburan ini.
Selanjutnya, satu pertanyaan akan muncul, sebenarnya mendatangkan pelancong hingga memenuhi Jogja ini tujuan aslinya apa, sih? Menengok kesiapan pengaturan jalanan dan tata kota, duh Jogja itu parah sekali. Macet bukan saja terjadi di pusat kota, namun juga jalanan arteri yang mengelilinginya. Memfasilitasi para pelancong juga nggak bisa dikatakan memuaskan.
Lantas, jawabannya apa? Nggak mungkin kan pemerintah bermaksud hanya memikirkan diri sendiri dan memperkaya sanak famili? Iya, sih, Raja Jogja punya bisnis hotel, mal, lahan parkir, wahana bermain, dan lain-lain. Makanya, nggak mungkin Raja setega itu mengorbankan rakyatnya yang 24/7 mati di pabrik, lantas saat liburan mati dan menua di jalan.
Katanya, sih, takhta itu untuk rakyat. Masih berlaku nggak ya?
BACA JUGA UMR Jogja Harusnya Berapa? Percobaan Bikin Hitungan Realistis dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.
Penulis: Gusti Aditya
Editor: Yamadipati Seno