MOJOK.CO – Syarat masuk mal harus vaksinasi itu ide brilian sih. Lebih brilian lagi kalau itu dikembangkan ke pelaku korupsi. Kapan lagi kita bisa tahu koruptor diumumin di mal?
Suatu ketika pada 2035, Pak Juliari Batubara bersama istri dan dua anaknya sedang semringah jalan-jalan ke Surabaya. Hari itu Galaxy Mall adalah tujuan utama keluarga kecil mereka. Biasa, shopping habisin uang halal.
Seperti pengunjung lain, Pak Juliari dan satu keluarga harus scan barcode untuk memastikan status vaksinasi dan tes Covid mereka aman.
Tak dinyana tak disangka, speaker di alat scan itu berbunyi.
“Selamat malam Pak Juliari, selamat Anda bebas covid, selamat Anda sudah vaksin. Tapi Anda sejatinya tidak selamat, karena pada masa lalu Anda adalah seorang koruptor. Jangan diulangi lagi ya Pak!”
Muka Pak Juliari memerah, dia malu semalu-malunya. Semua orang yang mengantre di belakang dan beberapa di depannya terkejut. Mereka langsung memandang dengan cermat siapa sosok yang sampai bikin alat scan membunyikan speaker-nya.
“Oh, jancok, ternyata si Juliari!” teriak seorang pengunjung lain yang kebetulan lewat. Anak-anak Pak Juliari pun bersembunyi malu di belakang punggung ibunya.
Kamu tak perlu buru-buru mengecek berita seperti itu di mesin pencari. Itu tadi hanya simulasi atau kemungkinan yang saya bayangkan terjadi di masa depan kalau Indonesia berani menerapkan deteksi koruptor layaknya deteksi status vaksin dan tes covid di PeduliLindungi.
Memang kalau dipikir-pikir lebih dalam. Kita ini tidak cocok kalau diberi kebijakan yang hasilnya gaib alias tidak kasat mata. Sesuatu yang sifatnya abstrak itu nggak cocok babar blas. Mau itu soal pemberantasan korupsi atau soal kebijakan vaksinasi.
Walaupun bibir nakes dan pemangku jabatan sudah nyonyor gara-gara kasih tahu siang malam ke semua lapisan masyarakat agar mereka bergegas vaksin, tapi respons beberapa masyarakat? Duh, duh. Masih banyak juga ternyata yang nolak-nolak.
Ada yang bilang bakal ditanam microchip lah, ada yang bilang jadi attack titan lah, ada pula yang berpikiran lebih baik kena covid langsung daripada harus vaksin.
Walaupun kita sama-sama tidak tahu ada beberapa orang yang beneran takut vaksinasi karena KIPI, tapi, ayolah, kalau takut gara-gara mau ditanam microchip. Emang negara mana sih yang ikhlas ngabisin banyak duit buat mata-matain warga negara yang pe-a-nya kayak gitu?
Terus, yang cocok buat rangorang Indo itu yang gimana? Ya yang hasilnya langsung keliatan mata, kalau perlu sampai bikin mata tercolok dengan sensasi instan.
Ibarat orang sedang sikat gigi, masyarakat kita emang punya kecenderungan bakal percaya kalau gigi mereka bersih lewat sensasi sejuk dari produk pasta gigi yang mengandung mint. Padahal, siapa yang tahu cara mereka menggosok tadi sudah betul atau belum?
Sebagai bukti, coba Anda hitung mana yang lebih laku antara pasta gigi dengan mint dengan pasta gigi tanpa mint? Dari survei kecil-kecilan di lingkungan saya, pasta gigi dengan mint lebih cenderung dipilih sebagai opsi pertama.
Sama seperti pasta gigi dengan mint, banyak produk-produk yang memberikan sensasi instan sebagai salah satu strategi menarik pelanggan. Sebut saja efek berbusa dari produk pembersih baju (biasanya ada embel-embel “busa banyak” di kemasan atau di iklannya), bau wangi dari produk hand sanitizer, atau sensasi lega dari produk rokok.
Tiap-tiap produk yang bombastis, selalu berusaha memberikan sensasi instan bagi pelanggannya. Dan kita sama-sama membuktikan, vaksinasi sebagai syarat masuk mal adalah kebijakan yang bisa kasih efek instan itu.
Melihat kebijakan itu cukup efisien, lantas saya jadi mikir, kalau pemerintah mau berpikir dengan keras dan menerapkan sensasi instan tadi ke setiap kebijakan-kebijakannya. Saya yakin, masyarakat kita akan mudah untuk diatur lagi ke depannya untuk hal-hal lain.
Mau masuk mal? Gampang, status di PeduliLindungi harus hijau.
Jika vaksinasi jadi syarat masuk mal, selanjutnya, cara pandang seperti ini bisa dikembangkan lagi ke hal-hal lain. Seperti sudah punya BPJS atau belum, sudah membayar pajak atau belum.
Bahkan, kalau perlu, di masa depan nanti hal kayak gini bisa saja dibikin sistem agar seorang koruptor dilarang masuk mal selama-lama-lama-lamanya.
Lebih keren lagi, kalau pemberlakuan khusus mantan naripada korupsi ini bukan cuma buat masuk mal, tapi masuk tempat pariwisata, masuk gerbang sekolah, bandara, dan kalau perlu buat masuk Holywings juga.
Oke, oke, mungkin ide ini terkesan mencerabut hak asasi manusia para koruptor-koruptor itu. Apalagi, mereka itu kan namanya penyintas korupsi kalau bebas dari penjara. Artinya mereka berhak dong kembali menjadi warga negara tanpa dosa. Boleh berkegiatan sehari-hari. Nggak kayak maling ayam yang begitu keluar penjara tetep dianggap maling ayam oleh warga sekitar.
Baiklah, kalau sistem kayak gitu terlalu kejam untuk para koruptor. Saya ngerti, koruptor kita terlalu suci. Oleh sebab itu, demi memperlunak saran saya tadi, sistem ini tetap bisa kok diberlakukan bukan sebagai syarat masuk mal, melainkan untuk diumumin di speaker pemberitahuan aja. Persis seperti yang saya contohkan di awal tadi.
Karena terlalu bulshit kalau kita mencegah perilaku korupsi dengan kata-kata petuah macam: “Korupsi berawal dari hal-hal kecil,” atau, “Mari bebaskan negeri ini dari korupsi melalui hal-hal sekitar kita.”
Hash taek, nggak instan blas.
Bayangkan. Bayangkan betapa serunya kalau tiba-tiba alat scan barcode bunyi di mal, dan ndilalah ada Bupati Banjarnegara, atau Jaksa Pinangki mengantre di depan kita. Rakyat merasa puas bisa “menghukum” koruptor secara langsung dan ini cukup efisien buat bikin kuapok pelaku korupsi.
Kenapa saya yakin? Ya karena itu tadi: efeknya instan.
Mau lebih nendang lagi? Coba terapkan kebijakan speaker koruptor tadi kepada anak-anak pelaku korupsi.
“Selamat malam Junior, selamat Anda bebas covid dan selamat Anda sudah vaksin. Tapi Anda sejatinya tidak selamat, karena di masa lalu bapak Anda adalah seorang koruptor. Korupsi duit sarden bansos lagi. Jangan dicontoh ya Nak!”
BACA JUGA Jasa Cetak Kartu Vaksin Adalah Penegasan Indonesia Payah Soal Digitalisasi dan tulisan Prima Ardiansah lainnya.