[MOJOK.CO] “Selfie bukan kode untuk minta dinikahi.”
Sungguh tidak mudah menjadi Ukhti jaman now. Mau mengunggah selfie saja, mesti menerima komentar absurd para akhi dengan pola pikir wow.
Kalau ukhti-ukhti upload foto ke medsos, berarti sudah kebelet nikah kaya Salma-Taqy.
Ew. Ingin sekali berteriak gemas, “Kenapa antum berpikir semua hal di dunia ini hanya tentang pernikahan, ya Akhi?” Tapi saya sadar kalau tidak boleh berlaku gemas pada sembarang orang. Apalagi kepada jenis teman yang hanya bisa membicarakan pernikahan tapi nggak berani menjalankannya.
Lagipula komentar itu lemah. Kalau si ukhti memang sudah niat menikah, daripada mengunggah selfie ke medsos untuk dihina-tapi-disimpan akhi macam itu, lebih baik mencetaknya untuk proposal taaruf biar diproses dalam forum bersama calon imam yang lebih barokah.
Bagaimana kalau foto itu jadi bahan konsumsi para ikhwan? Semakin banyak pandangan ikhwan tergiur, semakin bertumpuk dosamu. Padahal mungkin niat awalmu bukan demikian.
Nah, ini! Antum pasti tahu kalau ada banyak hal yang ketika kita lakukan, orang menanggapinya dengan berbeda. Kita tidak bisa jelaskan semua maksud kita ke semua orang, karena persepsi dan reaksi masing-masing orang akan dibentuk oleh world view dan pengalaman mereka. Jangankan perbuatan seorang ukhti dhaif ini, perbuatan manusia suci sekelas Nabi SAW saja dipersepsikan beda oleh manusia. Sampai kapanpun kita tidak akan pernah bisa mengontrol reaksi orang lain.
Jangankan selfie seorang ukhti, orang yang gemar mengunggah foto makanan atau jendela pesawat saja disebut butuh pengakuan sebagai orang berada. Padahal bagaimana kalau makanan yang difoto cuma nasi kucing seribuan? Bagaimana kalau mereka memotret jendela pesawat karena memang pemandangan lautan awan itu bagus sekali? Apakah mereka melakukannya karena kebelet nikah, eh kebelet dibilang kaya? I don’t think so. Dan untuk hal-hal beginian, saya kira antum tahu dari perspektif apa harus melihat: niat.
Jangan protes dulu, Akh, saya juga nggak bisa baca isi hati orang. Jadi saya akan kasih sedikit bacaan tentang tujuan foto diri dalam dunia psikologi fotografi. Menurut John Suller, profesor yang fokus di bidang cyberpsichology, ketika memotret diri manusia nggak hanya membidik bentuk wajah atau tubuh tetapi proses refleksi diri.
Kenapa foto diri bisa jadi medium untuk mencari tahu siapa kita? Karena kita jadi sadar bagaimana kita ingin mengekspresikan diri kita atau bagaimana kita ingin orang lain melihat kita. Seperti ketika antum hobi mengunggah foto diri ketika orasi, ya mungkin antum ingin dilihat ukhti-ukhti, eh orang lain, sebagai koordinator lapangan. Istilahnya, self branding.
Bahkan jenis-jenis foto diri yang berbeda akan mempengaruhi kondisi psikologis para penontonnya secara berbeda juga. Mengenai perbedaan ini antum bisa baca sendiri riset tentang fotografi dan psikologi, di Google banyak. Jangan malas baca Akh, nanti tambah baperan.
Oke, silahkan foto diri. Tapi nggak perlu dibagikan lah. Tujuan upload begitu buat apa, Ukh?
Begini Akh, sebenarnya fungsi foto kan buat komunikasi. Nah kalau foto diri apa yang mau dikomunikasikan? Kecantikan, katamu? Hmpf.
Dari sekian bentuk foto diri, ada satu yang sering kita lupakan; foto diri simbolis. Secara filosofis sebenarnya semua foto yang kita ambil adalah foto diri, baik foto keluarga, kerjaan, bahkan pemandangan. Foto yang kita unggah, apapun itu, menjelaskan sesuatu tentang minat kita, gaya hidup kita, sosok kita dimata orang-orang di sekitar kita, pengalaman yang membentuk siapa kita, dan aspek lain yang penting bagi kita sebagai manusia.
Jadi ketika mengunggah foto di medsos, sebenarnya kita ingin bercerita tentang diri kita dalam berbagai dimensi itu pada orang lain.
Kalau menurutmu yang membuat orang berfantasi atas kita hanya foto diri, mungkin orang yang dimaksud kemampuan visualnya masih lemah. Everything you post is a symbolic representation of you. Bahkan ketika si ukhti cuma mengunggah foto masakan atau tiket bioskop, kalau si akhi baperan ya bakal langsung membayangkan seandainya itu dimasakkan untukku atau seandainya yang duduk nonton bersamanya adalah aku.
Saya sengaja membahas sisi personal saja, karena kalian para akhi tidak terima alasan kerja profesional atau bisnis, kan? Katamu, itu ukhti selebgram foto macam itu mau jual jilbab apa jual muka? Duh duh. Ya ‘afwan kalau kecantikan parasnya merusak kemampuan bertuturmu, Akh. Tapi ketika seorang ukhti mengunggah fotonya, ada banyak hal yang ingin disampaikan selain wajahnya. Fokusmu itu lho, Akh, tolong diperbaiki.
Beberapa ukhti selebgram yang saya ikuti terbukti nggak hanya jual kecantikan. Dalam fotonya, mereka bercerita tujuan, impian, peran yang diinginkan, bahkan menyampaikannya sebagai ikhtiar dakwah populer. Nggak percaya? Coba cek akun Dewi N. Aisyah atau Nadhira Arini. Mereka aktif, berprestasi, dan cantik (sebenarnya malas banget harus menyebutkan ini, tapi kan yang sering antum permasalahkan hanya ukhti-ukhti yang menurut antum cantik).
Di medsos mereka, ukhti-ukhti ini tidak mengunggah foto diri dengan caption baper menunggu jodoh. Soal ukhti baper begini, mau pake foto atau enggak saya juga nggak sepakat. Tapi jangan sampai karena satu dua ukhti baperan, antum langsung menyamaratakan mereka yang upload foto pasti kebelet nikah. Atau menganggap bahwa semua ukhti ingin segera dinikahi karena terinspirasi sosok Salma-Taqy.
Selain manfaat eksternal, membagikan selfie juga baik untuk lebih mengenal diri kita secara internal. Sebab kita terbentuk salah satunya dari persepsi orang lain atas kita. Jadi bagaimana kita menanggapi tanggapan orang atas foto kita, membentuk siapa kita. Karena manfaatnya itu di dunia psikologi bahkan ada konsep phototherapy yang diperkenalkan Judy Weiser.
Ukhti macam saya masih mending dikomentari kebelet nikah. Banyak yang harus berjuang melawan body shaming ketika membagikan foto diri pada orang lain. Lalu kenapa hal menyakitkan begini justru dianjurkan? Ya karena darinyalah kita belajar bagaimana menerima diri kita. Jadi alih-alih emosi ketika ditanya “Ukh, kok upload foto sih?” kita bisa dengan santai menjawab, “Mau upload video nggak ada kuota, Akh.”
Jadi, anggaplah ini ujian hati buat ikhwan jaman now agar bisa lebih menjaga hati di tengah derasnya gelombang paras akhwat meneduhkan. Kita tentu membantu kalian dengan tidak mengunggah foto baperan yang merusak marwah diri seorang ukhti. Tapi kalau harus anti upload foto hanya biar tidak dibilang kebelet nikah, ya ‘afwan.
Kalau dengan foto nggak baperan itu antum masih susah fokus, cari kesibukan lah. Strategi ikhwan zaman dulu tentu beda. Biar mata atau pikiran nggak jelalatan, beberapa menjaganya dengan menyediakan pemandangan halalnya. Nah, antum sudah punya belum?
Eh tapi sudah punya belum tentu cukup sih. Kalau pikirannya ummat, eh akhwat melulu yaa… sampai artikel ini jadi buku juga tetap nggak selesai. He he.