MOJOK.CO – Umroh saya dan keluarga jadi agak “berwarna” setelah harus berurusan sama polisi Arab yang ternyata menyebalkan.
Dalam beberapa pekan terakhir, kata kunci polisi cukup ramai di lini masa Twitter. Hal ini terkait dengan dua kejadian yang menewaskan rakyat sipil dengan melibatkan polisi di dalamnya. Lalu, muncul keriuhan karena orang yang meninggal justru menjadi tersangka. Aneh bin ajaib.
Lantas, timbul di benak saya. Apakah institusi yang kemudian kita kenal sebagai pawang humanis memang suka berperilaku unik, untuk tidak menyebut angkuh? Dan apakah rekan-rekan sejawatnya di seluruh dunia juga berperilaku seperti itu?
Saya punya kisahnya saat berkesempatan mengunjungi Mesir, Madinah, dan Mekkah dalam rangka ibadah umroh beberapa bulan yang lalu.
#1 Mesir, Kota Firaun
Sebelum mulai menjalankan ibadah umroh, saya dan keluarga mampir di Mesir. Nah, di sana, sepengetahuan saya, ada dua jenis polisi. Pertama, yang berurusan sama pariwisata. Mereka tidak mengenakan seragam hitam dan putih melainkan memakai jas biru layaknya businessman.
Sepintas memang tidak terlihat mereka itu polisi. Namun, begitu tangannya bergaya, ditaruh di pinggang, dan menyibakkan jasnya, nah, baru terlihat ada senjata laras panjang. Seakan memberi tanda, “Ini, lho, saya polisi.”
Kebetulan, selama di Mesir, rombongan kami dikawal oleh mereka itu. Mereka bahkan naik ke dalam bus. Selain itu, ada satu mobil patroli yang juga ikut mengawal ke mana saja kami pergi.
Menjaga rombongan umroh dari Indonesia
Patwal semacam itu memang sudah jadi aturan di Mesir, terutama bagi orang asing dengan jumlah banyak, yang sedang berwisata. Sebab, jika tidak menggunakannya, kata seorang petugas hotel setempat, kami akan diganggu oleh warga lokal.
Entah benar atau tidak, seorang teman yang bertugas di KBRI setempat mengatakan hal yang sama. Bahkan, ketika bertemu saya, dia mengatakan sekitar tiga hari yang lalu terjadi perampokan di jalan layang. Dan yang mengejutkan, katanya, itu sudah biasa terjadi. Makanya, itulah pentingnya fungsi patwal di Mesir.
Sayangnya, saya tidak mampu berkomunikasi dengan baik ketika berkesempatan duduk di samping polisi pariwisata Mesir. Dia hanya bisa bicara Bahasa Arab sedangkan saya hanya mampu berbahasa Inggris.
Pada dasarnya, mereka baik. Melayani dengan ramah. Dan memang tidak begitu banyak bicara dengan kami. Hanya sesekali mengucapkan kata “Yalla, yalla,” ketika kami terlambat masuk bus.
Ada saja oknum kayak di Indonesia
Sayangnya, pada hari terakhir sebelum umroh, kami mendapati seorang polisi, kita sebut saja oknum biar terasa akrab, yang kurang bersahabat. Dia meminta uang tambahan sebagai balas jasa.
Guide kami mengingatkan kami untuk tidak perlu memberi uang tambahan. Mereka sudah mendapatkan jatahnya masing-masing. Sayangnya, sebagian kecil di antara kami memiliki sifat pemurah.
Saya juga demikian. Mereka meminta uang tambahan kepada saya. Tak kehilangan akal, saya mengambil sebungkus rokok Djarum Black Cappuccino milik seorang teman dan menawarkan kepada polisi, eh oknum itu.
Dia hanya bilang, “No kretek. It’s hard.”
Lah, kok bisa Bahasa Inggris, ya? Asem!
#2 Madinah, kami beruntung
Dan, mulailah prosesi umroh. Ketika sampai Madinah, saya menyaksikan keberadaan polisi yang jumlahnya cukup banyak, khususnya di area dekat Masjid Nabawi. Mereka berseliweran di mana-mana. Hampir sebagian besar menggunakan kaca mata hitam. Jadi, saya tak tahu apakah mata mereka awas atau tidak.
Dan ternyata, mata mereka awas sekali!
Ini terlihat ketika seorang polisi meniupkan peluit, membentak, kemudian memanggil salah seorang dari kami. Saya bingung kenapa dia dipanggil.
Saat diceramahi, teman saya terlihat bingung. Namun, dari bahasa tubuh polisi tersebut, dia cuma pengin mengingatkan untuk jangan merokok di sekitar sini. Saya pikir larangan merokok itu saklek. Ternyata tidak juga. Tampaknya dia lupa menambahkan kalimat berupa saran.
Ngomong pakai bahasa tubuh
Ya, ketika usai salat Asar, kami melihatnya bersama rekannya sedang merokok di pinggir toko. Saya pun bergegas menghampirinya dan, dengan bahasa tubuh, bertanya, “Kok antum merokok?”
Dia hanya tertawa, dan menepukkan buk, semacam dudukan, sebanyak dua kali. Ohh, I see. Maksudnya, kalau merokok, duduk saja. Jangan berdiri.
Sejak kejadian itu, saya memberitahu teman-teman rombongan umroh, apabila merokok, duduk saja. Dan tentunya, harus jauh di luar area Masjid Nabawi.
#3 Mekkah, yalla-yalla
Kata yalla tampaknya hampir setiap saat selalu terlontar dari mulut para polisi. Turun dari bus, berangkat menuju serambi masjid, hingga saat salat. Untuk yang terakhir, saya mangkel dan dongkol sekali.
Mereka, lima sampai enam personel, saya agak lupa, mengingatkan dengan keras, agar segera meninggalkan tempat, yang semestinya boleh untuk salat. Kami, yang saat itu sedang menjamak Isya-Magrib, terlihat kurang tenang dalam menjalankan salat.
Lha, gimana? Kami sedang menjalankan rukun Islam kedua di masjid. Kok dengan entengnya, mereka ingin mengusir kami. Saya nggak tahu penyebabnya. Apalagi bapak mertua saya yang ikut umroh, yang kebetulan pernah ke sini beberapa kali, tapi baru sekali itu diusir ketika menjalankan ibadah salat.
Tapi, beliau hanya bilang, “Yawes sabar. Suka-suka mereka, lah. Wong ini tempat tinggalnya mereka.”
“Yalla!”
Ada cukup banyak polisi di sekitar Masjidil Haram. Barangkali, karena saat itu keran kuota umroh selepas pandemi dibuka lebih lebar. Atau, mungkin sedang menjaga pembangunan Masjidil Haram, yang konon, dari tahun ke tahun, tidak pernah selesai.
Oh, iya, kamu jangan bayangkan polisi di sana tinggi, gagah, dan besar, ya. Kalau kamu berada di lantai utama, baik umroh maupun ibadah haji dan berdekatan dengan Ka’bah, hampir sebagian besar polisi bertubuh kurus, untuk tidak menyebutnya ceking.
Tapi, karena bermodal seragam dan suara lantang, mereka berani-berani saja. Yang penting nyaring sembari berteriak, “Yalla!” berulang kali.
Namun, melihat tubuhnya kurus itulah, saya dan seorang teman umroh agak berani dengannya. Suatu kali, saya dan seorang teman berkeliling Masjidil Haram yang ternyata luar biasa luas. Sampai capek kalau mengelilingi semuanya.
Lantaran sudah capek, kami mencoba mengambil jalan alternatif untuk segera balik ke tempat penginapan. Nahas, itu hari Jumat. Artinya, seluruh jalan alternatif dijaga ketat bahkan ditutup, kecuali kamu perempuan maka diperbolehkan lewat. Seluruh orang hanya boleh melalui satu jalan dan langsung diarahkan masuk ke dalam masjid.
Galaknya minta ampun
Saya dan seorang teman yang khawatir tidak bisa balik ke tempat semula, mencoba masuk ke jalur alternatif. Yah, namanya juga coba-coba. Siapa tahu berhasil.
Eh, beneran bisa. Saya berhasil nyelonong, tetapi tidak dengan teman saya. Kerah belakangnya ditarik hingga hampir terjungkal. Kemudian, dia dibentak-bentak oleh polisi.
Oleh karena tidak mengerti bahasanya, dia hanya berkata, “Wes-wes. Iyo-iyo. Ngerti.”
Saya ngakak dan kemudian berucap kepada polisi tersebut, “Afwan, la takallam bi lughatul Al Arabiyah.”
(Maaf, saya nggak bisa bicara Bahasa Arab).
Entah pengucapannya benar atau tidak, yang jelas mereka kaget dan mengernyitkan dahi. Saya pikir mereka akan memberi jalan setelah saya mengucapkan kalimat itu. Nyatanya nggak juga. Kami harus tetap mengikuti arus.
Yawes. Mau gimana lagi.
Katanya sih mereka pawang yang humanis
Nggak ada kesimpulannya utuh dalam kisah para polisi di atas. Saya cuma menuturkan pengalaman dan bertemu mereka ketika umroh. Tentu setiap polisi pasti ada yang berperilaku baik dan ada yang berperilaku buruk. Sama halnya kayak rakyat sipil.
Tetapi, melihat berbagai peristiwa belakangan ini, mbok, ya, tolong. Buktikanlah polisi sebagai pawang yang humanis, bukan menjadi polusi bagi masyarakat.
BACA JUGA Culture Shock Orang Jawa ketika Pertama Kali ke Mekkah dan Madinah dan kisah menarik lainnya di rubrik ESAI.
Penulis: Moddie Alvianto W.
Editor: Yamadipati Seno