Angkatan kedua yang tidak terduga
Sebagai angkatan kedua di jurusan, tentu saja, banyak hal yang tidak terduga. Salah satunya, adalah kurikulum. Sebagai contoh. Saya melewatkan mata kuliah A di semester ganjil karena Sistem Kredit Semester (SKS) tidak cukup. Lalu, saya hendak mengambilnya pada semester ganjil berikutnya. Eh, ternyata mata kuliah tersebut sudah tidak ada alias dihapus.
Akhirnya, kamu bingung dan ngedumel, tetapi apa boleh bikin. Kamu tidak bisa berbuat apa-apa. Mau demo ubah kurikulum akan menjadi sia-sia. Ya sudah, ikut saja mata kuliah yang sejenis, yang tetap bisa melanjutkan ke babak berikutnya (baca: skripsi).
Belakangan, setelah sempat menjadi salah satu pengajar tidak tetap di kampus swasta Jogja era pandemi, dan mendapat amanah untuk bikin kurikulum, memang ternyata tidak mudah. Sehingga, kalau dulu saya ngedumel ke UB, barangkali ini karma saya.
Seakan, dalam imajinasi saya saat bikin kurikulum, para pengajar saya di kampus itu akan bilang, “Gimana rasanya bikin kurikulum? Susah, kan?”
Itu baru kurikulum. Ada yang lebih tidak terduga lagi, yaitu mencocokkan jadwal empat pengajar untuk menguji skripsi. Dengan jumlah mahasiswa yang tidak sedikit sedangkan jumlah pengajar UB yang tidak banyak, maka menjadi ajaib apabila kamu bisa mencocokkan jadwal mereka dalam waktu 3×24 jam.
Satu saja tidak cocok, ya, tidak bisa bisa lanjut ujian. Bingung, bukan? Maka, di sinilah keahlian negosiasi dibutuhkan. Maka, kalau ada teman-teman seangkatan, atau di atas saya, atau bahkan di bawah saya pintar bernegosiasi, percayalah mereka terlatih sejak pengajuan ujian skripsi.
Sekarang, setelah saya kembali ke UB dua bulan yang lalu, semuanya berubah. Mulai dari beautifikasi hingga sistem yang terukur. Tidak ada lagi stiker parkir dan tidak ada lagi keribetan untuk mengurus ujian skripsi. Semuanya mudah. Semuanya telah terintegrasi ke dalam Building Up Noble Future sebagai motto UB.
Dari entrepreneur masuk ke UGM, kampus akademisi
Suasana yang amat jauh berbeda ketika saya melanjutkan kuliah di UGM. Entah karena auranya atau memang di kampus tersebut telah terbangun nuansa akademik. Sepertinya, tiap hari teman-teman kuliah saya membaca jurnal atau buku, pergi ke perpustakaan, atau diskusi ilmiah.
Jarang ada yang mampir ngopi atau main PS. Entah karena lingkungan yang berbeda atau saya keliru dalam memilih teman.
Ketika saya bertanya kepada teman satu almamater di UB yang kebetulan melanjutkan kuliah di UGM, ternyata dia merasakan hal serupa. Oh, mungkin memang mahasiswa UGM nantinya akan menjadi akademisi.
Konon, jika kamu hendak menjadi pengajar, cukup berbekal ijazah UGM. Para penyeleksi sudah yakin kalau kamu adalah orang yang pintar.
Oleh karena nuansa akademik terbangun dengan mudah di UGM, alhasil mau tidak mau saya mengikuti alur dan cara berpikir teman-teman saya. Menurut saya, orang-orang yang pernah berkuliah di UGM, setidaknya cara berpikirnya runtut, terstruktur dan sistematis.
Tidak heran apabila kemudian IPK saya cukup berbanding terbalik antara di UB dan UGM.
Setelah lulus dari kedua kampus tersebut, saya mengambil hipotesis. Kalau ingin belajar menjadi entrepreneur atau/dan akademisi, kamu bisa memilih salah satu kampus ini.
Selain karena pengalaman pribadi, hal ini diperkuat pula dengan persaingan ketat kedua kampus tersebut menjadi juara Pekan Ilmiah Nasional (PIMNAS). UGM meraih sepuluh kali, sedangkan UB enam kali.
Hal yang kontradiktif bagi alumni UB dan UGM
Ada hal unik ketika saya bisa merasakan kuliah di kedua kampus tersebut. Di UB, ketika memasuki pemilihan eksekutif dan dewan perwakilan mahasiswa kampus, mendadak semuanya menjadi politisi kampus.
Bicara fa-fi-fu-was-wes-wos seakan-akan bisa menarik suara mahasiswa dalam jumlah banyak. Belum lagi, negosiasi jumlah menteri apabila nantinya terpilih. Wah, heboh, lah, pokoknya.
Sebaliknya, ingar bingar pemilihan eksekutif dan dewan perwakilan mahasiswa di UGM terkesan adem ayem. Meskipun ada baliho, tetapi tidak ada kampanye keliling kampus yang sangat meriah seperti di UB. Mungkin, karena nuansa akademis sehingga lebih sering belajar daripada obral omong kosong.
Anehnya, meskipun sebagian kecil mahasiswa UB terlatih kampanye politik sejak dini, toh, nyatanya setelah lulus jarang yang sampai menjadi menteri apalagi presiden. Sebaliknya, UGM yang menurut saya gejolak politik kampus begitu-begitu saja, justru banyak alumninya menjadi menteri bahkan presiden.
Tentu saja, ini banyak faktor, ya. Relasi alumni salah satunya. Bukan begitu, Fufufafa?
Penulis: Moddie Alvianto
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Culture Shock Mahasiswa UM Pertama Kali Masuk ke Universitas Brawijaya, kayak Beda Universe! dan pengalaman menarik lainnya di rubrik ESAI.












