MOJOK.CO – Alamat resmi PMI, Bawaslu, Kemenag, dan Polsek Sleman adalah contoh typo berjamaah soal penyebutan nama Jalan Radjiman. Salah semua.
Ada suatu ruas jalan di Sleman. Panjangnya sekitar 1,5 kilometer. Bentuk lintasannya sedikit melengkung seperti busur.
Ujung utaranya ada di daerah Wadas, bersua dengan Jalan Magelang dalam dua percabangan. Ujung selatannya ada di bilangan Paten dan Pangukan, tepatnya pada sebuah persimpangan sekaligus titik pertemuan dengan Jalan KRT Pringgodiningrat yang membujur dari timur, serta dengan Jalan Purboyo yang lanjut mengarah ke selatan.
Jalan sepanjaang 1,5 kilometer tadi tak seberapa jauh dari Kompleks Perkantoran Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sleman di Beran dan Denggung.
Dari Kantor Bupati Sleman (yang sekarang memiliki semacam menara kaca cantik bernama Atrium Parijotho Salak) atau dari Masjid Agung Wahidin Soedirohoesodo (yang sekarang dilengkapi sebuah minaret teramat jangkung, atau dari Lapangan Beran (yang merupakan tapak bekas sebuah pabrik gula besar zaman Belanda), ujung-ujung dari jalan tadi berada dalam jarak sekitar dua kilometer saja.
Ini berlaku baik lewat Jalan Magelang ataupun malah lewat Jalan KRT Pringgodiningrat. Menurut kalkulasi Google Maps, jalan itu memerlukan waktu tempuh 26 menit berjalan kaki, 4-5 menit bermobil, atau 3-5 menit saja bersepeda motor.
Jika bersepeda yang rata-rata berkecepatan 20 kilometer per jam, jarak dua kilometer tadi tentunya bisa dicapai dalam waktu sekitar 6 menit. Itu tadi juga hitung-hitungan bersepeda yang rata-rata saja, bukan dengan menunggang road bike yang konon baru terasa nikmatnya kalau dipancal dalam kisaran laju ideal 40-50 kilometer per jam.
Sejak 1984
Nama komplit dari jalan yang sedang dibahas ini adalah Jalan Dr. Radjiman Widyodiningrat. Demikianlah jika merujuk bunyi surat penetapan resminya oleh pihak Pemkab Sleman.
Penulisan sebagai Jalan Dr. Radjiman Wedyodiningrat atau Jalan Radjiman Wedyodiningrat mestinya dapat diterima pula, apalagi mengingat penulisan nama versi ini justru lebih lazim digunakan dalam penulisan sejarah seputar sang tokoh sumber penamaan jalan.
Penulisan lebih ringkas sebagai Jalan Dr. Radjiman, atau Jalan Radjiman, atau bahkan Jalan Rajiman, semestinya tetap bisa dimaklumi. Pasalnya Radjiman memang adalah nama asli sang tokoh sumber penamaan jalan sedari muda belia.
Perlu diingat bahwa sang tokoh sumber penamaan jalan ini lahir pada 1879, manakala orang Jawa masih setia menjalankan kebiasaan ganti nama, mengikuti peralihan tataran usia maupun peralihan kepangkatan dan jabatan.
Oh iya, penamaan resmi Jalan Dr. Radjiman Wedyodiningrat oleh Pemkab Sleman telah berumur hampir empat dekade. Surat penetapan resminya diteken pada 16 Juli 1984 oleh Bupati Sleman 1975-1985, Drs HS Prodjosujoto.
Sejarah singkat penamaan Jalan Radjiman Wedyodiningrat ini antara dapat diketahui dari unggahan akun Twitter resmi pihak Pemkab Sleman, @kabarsleman, pada 28 Januari 2020. Penetapan resmi penamaan Jalan Dr. Radjiman Wedyodiningrat tepatnya melalui Surat Keputusan Bupati Kepala Tingkat II Sleman Nomor 134/Kep KDH/1984.
Surat keputusan itu tidak hanya memuat penamaan ruas jalan dari daerah Pangukan hingga Wadas sebagai Jalan Dr. Radjiman Wedyodiningrat, tapi juga menetapkan nama bagi 22 ruas jalan lainnya di Kabupaten Sleman. Beberapa masih dipakai; beberapa lain sudah diganti dengan nama berbeda.
Beberapa kantor dan bangunan penting milik Pemerintah di Sleman pun tercatat bertempat di Jalan Radjiman. Dari selatan ke utara kita antara lain bisa menemukan Gedung Olahraga (GOR) Tridadi, Kantor Dinas Pertanian, Pangan, dan Perikanan Kabupaten Sleman, Kantor Pertanahan Kabupaten Sleman, Markas Polsek Sleman, Markas Palang Merah Indonesia (PMI) Sleman, Kantor Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Kabupaten Sleman, Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Kabupaten Sleman, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sleman, serta Kompleks Pasar Sleman Unit II.
Tak cuma perkantoran, Jalan Radjiman Wedyodiningrat diramaikan oleh bermacam geliat usaha kecil dan menengah bersifat permanen maupun temporer. Ada mulai dari toko listrik sampai toko bangunan.
Lalu, sebagaimana banyak ruas jalan ramai di seputaran Yogyakarta, maka banyak tempat makan pun bisa ditemukan: angkringan, warung soto, warung bakso-mie ayam, warung bakmi jawa, dan tentu saja tak ketinggalan adalah kedai kopi kekinian serta gerai minuman boba.
Saban hari pasaran Pahing, kiri-kanan Jalan Radjiman Wedyodiningrat secara mengular bakal digelari lapak aneka dagangan: onderdil kendaraaan bermotor, alat-alat pertanian, hingga unggas.
Dari Radjiman jadi Radjimin
Namun, dari begitu banyak kios-pertokoan dan kantor-kantor pihak swasta maupun Pemerintah di sepanjang Jalan Dr. Radjiman Wedyodiningrat, papan nama yang mencantumkan penamaan alamat jalan secara tepat ternyata malah minoritas. Kebanyakan kios-pertokoan dan kantor-kantor di Jalan Dr. Radjiman Wedyodiningrat justru menuliskan alamat mereka sebagai Jalan Dr. Radjimin atau Jalan Radjimin.
Untuk mereka yang tidak mengetahui tentang isi Surat Keputusan Bupati Kepala Tingkat II Sleman Nomor 134/Kep KDH/1984, lalu sekadar berpedoman kepada apa yang tercantum pada papan nama sepanjang jalan, maka tentu akan berkesimpulan bahwa nama jalan tersebut adalah Radjimin, bukan Radjiman atau Radjiman Wedyodiningrat seperti resminya.
Contoh kios-pertokoan dan kantor-kantor yang tepat menuliskan alamat mereka sebagai Jalan Dr. Radjiman Wedyodiningrat—yang mana versi penulisan semacam Jalan Dr. Radjiman, Jalan Radjiman, dan Jalan Rajiman dianggap termasuk dalam kategori penulisan tepat ini—adalah Salon Mila, dan Asaf Tour & Travel di Wadas, BKSDA Sleman, Klinik Hitayuwana, dan GOR Tridadi di Pangukan.
Untuk yang mencantumkan alamat kios-pertokoan dan kantor sebagai Jalan Dr. Radjimin, Jalan Radjimin, atau Jalan Rajimin, dan semacamnya, seperti telah saya sebut di awal justru mendominasi alias pemandangan mayoritas sepanjang jalan.
Kantor-kantor yang memiliki afiliasi kerja dengan pihak Pemerintah pun tak luput dari fenomena “typo alamat berjamaah” semacam tadi. PMI Sleman, Bawaslu Sleman, Kemenag Sleman, dan Polsek Sleman adalah contohnya.
Dulu saya sempat berbaik sangka bahwa Dr. Radjimin yang menghiasi mayoritas papan nama jalan antara Pangukan dan Wadas itu adalah tokoh yang berbeda dari Dr. Radjiman Wedyodiningrat, sosok penting dalam sejarah Indonesia yang merupakan Ketua Dokuritsu Junbai Cosakai alias Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) pada 1945.
Waktu itu pikir saya Dr. Radjimin adalah seorang tokoh berjasa di level lokal Sleman yang belum saya ketahui kisah hidupnya. Saya dulu tak berani langsung menyimpulkan bahwa Dr. Radjimin ialah bentuk typo dari Dr. Radjiman.
Di dunia ini pemilik gelar doktor dan dokter bukan cuma Radjiman Wedyodiningrat seorang. Kan ada juga yang namanya Dr. Jekkyl, Dr. No, Dr. Zhivago, Dr. Octopus, Dr. Strange, hingga Dr. Kang Mo Yeon dan Dr Ji Sun Woo.
Namun, pemaparan akun Twitter @kabarsleman pada awal 2020 silam yang disertai unggahan gambar salinan Surat Keputusan Bupati Sleman menunjukkan tak ada tokoh bernama Dr. Radjimin. Penulisan Dr. Radjimin maupun Radjimin di berbagai papan nama sepanjang Jalan Dr. Radjiman Wedyodiningrat nyata adanya sebagai suatu fenomena typo berjamaah yang sudah laten.
Dokter Pribadi Pakubuwana X
Sayang sekali bahwa typo alamat secara berjamaah di Jalan Radjiman Wedyodiningrat tadi masih dibiarkan terjadi hingga hari ini. Sependek pengamatan saya, belum ada koreksi tentang masalah tadi.
Hal tersebut boleh dibilang menciderai kesempurnaan penghormatan terhadap sosok mendiang Dr. Radjiman Wedyodiningrat. Padahal Dr. Radjiman merupakan tokoh besar yang kiprahnya dalam merintis kemerdekaan Indonesia dapat dibanggakan oleh warga Sleman maupun Yogyakarta selebihnya.
Radjiman lahir di Yogyakarta 142 tahun silam dari keluarga priyayi rendahan. Ayahnya seorang tentara berpangkat level tamtama yang lantas beralih kerja sebagai centeng toko—jadi lebih jadi semacam satpam atau sekuriti pada masa sekarang.
Namun, encernya otak Radjiman kecil membuatnya berkesempatan mengenyam pendidikan yang sangat baik untuk seorang Bumiputera pada masanya. Ia dibiayai sekolah dari tingkat ELS hingga Sekolah Dokter Jawa alias STOVIA di Batavia oleh pamannya yang tak lain adalah dr Wahidin Soedirohoeesodo.
Lulus dari STOVIA pada 1898, Radjiman muda lantas merasakan pengalaman menjadi dokter yang berdinas di berbagai daerah di Jawa Timur. Satu di antaranya adalah menjadi dokter Rumah Sakit Jiwa di Lawang.
Pada 1906-1936, Radjiman meniti karier sebagai dokter di Kraton Kasunanan Surakarta. Mumpuninya Radjiman sebagai seorang dokter membuat Susuhunan Pakubuwana X, Raja Kasunanan Surakarta 1893-1939, tak keberatan untuk menyokongnya menempuh pendidikan kedokteran lebih lanjut ke Eropa dan Amerika.
Antara 1910-1930, Radjiman antara lain tercatat merasakan pendidikan kualifikasi dokter Eropa di Amsterdam, spesialisasi ginekologi dan bedah di Berlin, spesialisasi radiologi di Amsterdam, kursus di tiga rumah sakit di Paris, serta tur kemajuan layanan medis di Amerika Serikat.
Semuanya ini rasanya masih bakal sanggup membikin iri orang zaman sekarang. Cerita lebih lengkap tentang rekam jejak pendidikan dan karir Dr. Radjiman Wedyodiningrat antara lain dapat dibaca dalam utas unggahan akun Twitter @potretlawas pada 23 Januari 2020.
Sepanjang 1910-an hingga 1930-an, Dr. Radjiman dipercaya Pakubuwana X untuk menjadi dokter pribadinya. Pada kurun tadi, Dr. Radjiman boleh dibilang sekaligus mengampu posisi “menteri kesehatan de facto” Kasunanan Surakarta.
Dia berkesempatan menginisiasi sejumlah kebijakan perbaikan layanan kesehatan bagi warga Kraton Kasunanan maupun warga Kota Solo selebihnya. Salah satu contohnya adalah pendirian Panti Rogo, klinik yang lantas berkembang menjadi rumah sakit, di Kadipolo, Solo. Panti Rogo adalah embrio dari RSUD Dr. Moewardi yang eksis di Kota Solo kini.
Hasil kerja Dr. Radjiman sangat diapresiasi positif oleh Pakubuwana X. Ini dibuktikan dengan penganugerahan angkat kebangsawanan yang terhitung tinggi bagi Dr Radjiman, yakni Kangjeng Raden Temenggung (KRT). Disertai penyematan nama belakang Wedyodiningrat yang dapat diterjemahkan sebagai “Ia yang menghadirkan pencerdasan bagi Dunia”.
Dengan rekam jejak pendidikan dan karier sementereng tadi, tak mengherankan jika Dr. Radjiman begitu dihormati para tokoh bangsa Indonesia, khususnya pada masa persiapan Kemerdekaan Indonesia pada 1945. Itu pula lah mengapa Dr. Radjiman menempati kursi Ketua BPUPK.
Dr Radjiman sendiri wafat tujuh tahun setelah Indonesia Merdeka, tepatnya pada 20 September 1952. Raganya dimakamkan di Mlati, Sleman, dalam satu kompleks pekuburan yang sama dengan paman sekaligus ayah angkatnya, dr. Wahidin Soedirohoeesodo.
BACA JUGA Cinta Tujuh Lelaki Kalah dalam Sejarah Peradaban Menye-menye dan esai Yosef Kelik lainnya.