Saya kerap mendengar olok-olok bahwa siapa pun yang main ke Jogja tapi belum nyelonong ke gang-gang Sarkem, maka orang itu belum bisa dikatakan sah main ke Jogja. Olok-olok tersebut tentu sangat berlebihan, meski dibalik olok-olok itu tersirat ajakan luhur untuk menengok ulang sejarah Jogja dan tentu saja sejarah kota-kota lain dimana terdapat rumah pelacuran di sana.
Saya yakin, tak perlu menggunakan statistik untuk membuktikan bahwa dimana pun ada rumah pelacuran, di sana pasti ada sejarah kesepian yang panjang dan bagaimana sebuah kota didirikan. Nabi Muhammad pernah bersabda “perempuan adalah tiang negara”. Jika mau nakal dan kurang ajar, maka sabda Nabi itu mungkin bisa diganti dengan “rumah pelacuran adalah tiang kota”. Tiang artinya penyanggah, pokok kekuatan yang menahan keseimbangan. Seperti sholat yang menjadi tiang agama Islam.
Mari kita buktikan. Saya punya beberapa contoh, dan nanti dapat anda tambahkan sendiri.
Sebagaimana semua tahu, Sarkem mulanya terbentuk secara alamiah, karena para pekerja pembangunan rel kereta api butuh teman perempuan untuk menghilangkan kesepiannya. Lelah bekerja mengumpulkan uang, harus bergulat dengan kerasnya hidup, dan jauh dari istri. Itu terjadi di awal abad ke-19.
Dulu para tentara Jepang pun mengalami hal yang sama ketika mereka berkuasa di Indonesia. Pahitnya perang mengajari mereka untuk butuh teman sebagai “tempat kencing”. Pemerkosaan terjadi karena alasan ini. Tentara Jepang butuh pelampiasan. Bayangkan, antara Jepang dan Indonesia terbentang jarak yang sangat jauh, sementara tempat kencing mereka terpacak di negerinya. Itu pun kalau punya tempat kencing. Akhirnya, atas inisiatif pimpinan mereka, dibangunlah sebuah rumah pelacuran. Bagi pimpinan-pimpinan tertinggi dipilihlah perempuan-perempuan yang bagus, yang elok, yang sintal. Sementara bagi tentara pangkat rendahan cukup perempuan seadanya saja.
Setelah Jepang minggat, rumah pelacuran peninggalan mereka kemudian dilanjutkan oleh orang setempat.
Jauh di belahan bumi lain, pada tahun 1849, ketika tersebar kabar ditemukannya emas di California, banyak para pencari peruntungan dari berbagai negara berbondong-bondong ke sana. Tentu para penambang ini adalah kaum lelaki, sehingga hal tersebut dimanfaatkan oleh perempuan-perempuan yang melihat ada kesempatan mendapat uang banyak dari kesepian para penambang. Mereka benar-benar perempuan yang memanfaatan kesepian, bukan malah merenunginya. Maka, lahirlah rumah pelacuran nomaden bin portabel. Di mana terdapat daerah dengan penghasil emas yang banyak, maka ke sanalah mereka mangkal.
Dan sampailah pada suatu masa ketika California perlahan berdiri menjadi kota besar. Industri tumbuh besar dan semakin luas, tak lagi melulu soal tambang emas. Tapi toh, nyatanya, pelacuran tetap lestari.
Sejarah Doly pun tak jauh berbeda. Maka siapa yang akan menyanggah bahwa perkembangan kota berseiring dengan naik-turunnya rumah pelacuran, atau setidaknya perdagangan manusia?
Sejarah mencatat, tempat-tempat pelacuran memang identik dengan pendatang dan kelas pinggiran. Sebutan pendatang tentu bukan hanya untuk perempuan-perempuan yang didatangkan dari luar daerah, tapi juga para pelanggannya. Misalnya sopir truk antar kota, pelancong, ataupun pekerja bangunan yang kebetulan sedang dapat proyek borongan.
Biasanya pendatang mayoritas berasal dari kelas-kelas pinggiran. Dan kelas-kelas pinggiran inilah yang sebenarnya meramaikan sebuah kota, walaupun perannya tidak seberapa dibanding kelas yang lebih tinggi. Tidak terbayangkan bagaimana sebuah kota tumbuh tanpa para pendatang. Para pendatang-lah poros sebuah kota. Tidak ada cerita para pendatang kalah sama penduduk asli. Baik di Jogja, Jakarta, Palembang, Lampung, sebut kota mana saja, tidak tertera kisah unggulnya penduduk asli di tempat-tempat mereka. Sehingga keadaan ini membikin penduduk asli terpinggirkan, dan menjadi kelas pinggiran baru, bergabung dengan para pendatang yang statusnya masih kelas pinggiran (karena tidak semua pendatang yang naik kelas).
Nah, dimana posisi rumah pelacuran? Rumah pelacuran adalah ruang indah yang mempertemukan dua kutub kelas: Pendatang yang telah naik kelas dan kelas pinggiran. Sebab selalu terjadi perebutan ruang antara keduanya.
Bedanya, di rumah pelacuran tidak ada istilah kalah dan menang antar dua kutub ini. Meskipun di luar rumah pelacuran kelas atas begitu dominan, ketika Doly dinonaktifkan, hal ini tidak bisa dianggap sebagai lanjutan dominasi kelas pemenang. Karena rumah pelacuran bukan urusan menang kalah, tapi soal tiang kota yang harus selalu tegak.