MOJOK.CO – Tasikmalaya bikin malu. Ia bukan lagi kota santri, tapi kota terbelakang. Sembarangan menuduh Hindia memuja setan, tapi pencabulan didiamkan.
Sudah kesekian kali Tasikmalaya membuat saya malu. Iya, kota tempat saya lahir dan tumbuh besar itu memang memalukan.
Padahal, dulu, saya sangat bangga menyandang status lahir di Tasikmalaya. Ketika merantau, saya selalu menolak disebut orang Bandung hanya karena saya orang Sunda. Saya selalu bangga mengaku berasal dari sana.
Namun sayangnya, kebanggaan itu ternyata bertepuk sebelah tangan. Pasalnya, berita-berita buruk tentang daerah kelahiran saya jauh lebih banyak beredar. Malu rasanya kini membawa status tempat kelahiran.
Ada saja kejadian memalukan di sana. Mulai dari korupsi, jalan rusak yang sudah berpuluh-puluh tahun tidak diperbaiki, tawuran, teror pelemparan sperma, begal payudara, pencabulan kiai kepada santriwati. Dan terbaru, Tasikmalaya menolak konser Hindia. Alasannya, mereka menggap Hindia itu pemuja setan. Ya ampun!
Tasikmalaya kota santri
Saya lahir di Kabupaten Tasik. Setelah lulus SD, saya merantau ke Kota Tasik. Saat itu saya masuk pesantren selama 6 tahun.
Tasikmalaya itu terbagi menjadi 2 wilayah, yaitu kota dan kabupaten. Tidak banyak perbedaannya, kecuali kesenjangan sosial ekonomi dan infrastrukturnya. Julukan keduanya juga sama, yakni kota santri.
Julukan tersebut memang tervalidasi karena di setiap sudut kota maupun kabupaten banyak pesantren berdiri. Dari pesantren inilah perjuangan melawan penjajah terlahir.
Sosok pahlawan nasional seperti K.H Zaenal Mustofa adalah kiai dari Tasikmalaya yang lantang melawan kolonial. Kebanggan itu terpatri sampai sekarang.
Akan tetapi, lain dulu lain sekarang. Tasik yang dulu pernah menjadi sentra pendidikan agama Islam, sekarang hanyalah slogan doang. Tidak ada kemajuan, terjebak tanpa pembaharuan.
Bayangkan saja, nggak usah bawa masalah korupsi atau kesenjangan sosial ekonomi dan infrastruktur. Di kota santri ini, justru terjadi masalah teror pelemparan sperma, begal payudara, hingga pencabulan kiai kepada santriwati.
Tercatat, selama 2025, sudah ada 5 kasus pencabulan. Sialnya, kota santri ini justru malah lebih galak ke band Hindia karena dianggap pemuja setan yang dapat merusak moral masyarakat!
Iman kok lemah banget. Gampang banget goyah hanya karena mendengarkan lagu-lagu Hindia? Kalau gini, Tasikmalaya bukan kota santri, tapi kota terbelakang.
Hindia pemuja setan?
Rencananya, Hindia akan tampil di konser yang diselenggarakan oleh EO Ruang Bermusik pada 19-20 Juli 2025 di Lanud Wiriadinata. Hindia kebagian manggung pada Line Up Day 2, bersama deretan musisi papan atas lainnya seperti Lomba Sihir, Nadin Amizah, Perunggu, dan Feast.
Namun sayangnya, euforia bernyanyi bareng Baskara Putra (vokalis Hindia) kemungkinan gagal total. Setidaknya sampai saya selesai menulis artikel ini.
Jadi, ormas Aliansi Aktivis dan Masyarakat Muslim Tasikmalaya (Al Mumtaz) mengecam keras kehadiran Baskara, baik ketika Baskara di Hindia, Feast, maupun Lomba Sihir. Alasannya adalah band ini merupakan sekumpulan pemuja setan.
Ormas tersebut bahkan sampai datang ke kantor Polres Tasikmalaya untuk menyampaikan penolakannya. Sayangnya, dialog yang terjadi hanya melibatkan satu sisi, yaitu kalangan ormas Islam saja.
Mereka menganggap Baskara ini kerap membawa simbol dan pemahaman satanik. Kata mereka, Baskara akan merusak norma masyarakat hingga melanggar syariat!
Asal Al Mumtaz tahu, tidak ada satanik yang main band. Satanik itu cuma ada di gereja setan!
Tudingan lainnya juga semakin liar. Al Mumtaz menganggap Hindia itu atheis karena membawa jargon freemason. Hilmi, selaku Ketua Al Mumtaz, juga mengatakan konser Hindia harus batal karena lirik lagunya membawa penonton untuk masuk neraka!
Justru bagi fans Hindia, termasuk saya, penolakan Hindia datang ke Tasikmalaya adalah neraka itu sendiri! Saya memang tidak akan menonton konsernya, karena sedang kerja di luar kota. Tapi saya ikut malu.
Aspirasi masyarakat Tasikmalaya? Mendukung Hinda tetap manggung
Pihak Al Mumtaz juga mengaku hanya menyampaikan aspirasi masyarakat. Lah, masyarakat yang mana? Justru sekarang banyak masyarakat sedang menyuarakan di Instagram dengan story bertuliskan “Konser Bukan Ancaman Keimanan”.
Begitu pula temuan dari Gentra Data yang melakukan survei lewat Instagram. Berdasarkan survei tersebut, sebanyak 78% menyatakan setuju ada konser, sementara 11% menolak, dan sisana netral.
Tidak hanya itu, press rilis yang dibuat Al Mumtaz juga kontroversial. Pasalnya, mereka mencantumkan berbagai logo organisasi dalam penolakannya.
Akibatnya, setelah rilis tayang, banyak organisasi yang mengklarifikasi. Mereka menegaskan tidak terlibat sama sekali dengan Al Mumtaz. Bahkan dihubungi saja tidak. Aneh betul.
Menuding Hindia sebagai pemuja setan sekaligus perusak moral adalah fitnah yang kejam
Di sisi lain, sebetulnya, pihak EO pun sudah mencoba kompromi dengan mengurangi durasi penampilan Hindia menjadi 45 menit saja. Sialnya, mengutip dari Tempo, Al Mumtaz merespons dengan tudingan buruk.
“45 menit Anda jamin bersih dari miras? Yang mabuk-mabukan? Anda jamin enggak? Urusan ribut, urusan mabuk, kan bukan Anda yang capek, Pak Kapolres.”
Hilmi juga menegaskan bahwa penolakan mereka bukan terhadap konser musik. Yang mereka tolak adalah “dugaan” adanya simbol dan pemahaman menyimpang dari Hindia.
Penolakan yang dilakukan Al Mumtaz justru mempertontonkan hal yang buruk dari Tasikmalaya. Memangnya iya Hindia pemuja setan? Kalau ternyata tidak, berarti jatuhnya sudah fitnah.
Apakah fitnah lebih kejam daripada pembunuhan sudah tidak berlaku lagi?
Kalau boleh becanda, daripada Hindia disebut sebagai pemuja setan lebih baik ia disebut sebagai “nabinya” Gen Z. Lirik-lirik yang sering disuarakan Baskara justru menyoal keresahan anak muda yang jiwanya porak-poranda.
Saya sendiri, sebagai pendengar Hindia, tidak pernah berpikir barang 1 kali saja untuk murtad hanya karena mendengar nyanyian Baskara. Saya juga belum pernah mendengar berita ada yang murtad karena Hindia. Masa hanya karena lagu, iman Tasikmalaya bisa goyah? Malu sama status kota santri, dong! Santri kok lembek.
Padahal, menilik ke 2023, Hindia dan Feast justru pernah konser di Tasikmalaya. Saat itu, tidak ada isu seperti sekarang. Lantas kenapa sekarang ramai?
Usut punya usut, pada November 2023, Baskara pernah menghibur penonton dengan berpose seperti baphomet dan simbol mata satu. Sontak videonya viral dan dia mendapat tuduhan sedang melakukan ritual.
Baskara sudah memberikan klarifikasi bahwa itu hanyalah gimmick semata demi hiburan. Lagipula, lantas adakah yang murtad karena aksinya tersebut atau moralnya langsung merosot? Tidak ada buktinya sampai sekarang.
Tasikmalaya menolak Hindia tapi kalau dangdut dan cabul boleh
Begini. Anggap Hindia memang bisa merusak moral Tasikmalaya. Saya balik tanya, apakah dangdutan adalah contoh konser yang sesuai ajaran syariat?
Pasalnya, Kementerian Agama Kabupaten Tasikmalaya, menyambut tahun baru Islam 1 Muharram 1447 H dengan dangdutan. Iya, mereka berjoget ria sambil mendendangkan lagu “Kopi Dangdut”.
Tidak tanggung-tanggung, dangdutannya juga memakai speaker besar. Akibatnya, kegiatan pawai obor, tadarus, hingga pengajian akbar kalah riuh dengan alunan musik “Kopi Dangdut” dari kantor Kemenag.
Bukan saya bermaksud menjelekkan dangdut. Akan tetapi, Kemenag sebagai lembaga keagamaan justru melanggar norma setempat karena mengganggu lingkungan sekitar. Bahkan menodai tradisi tahun baru Islam.
Sekarang kita coba kilas balik ke berita pencabulan kiai kepada santriwatinya. Apakah para kiai jahat itu atau pelaku teror pelemparan sperma di Tasikmalaya adalah pendengar musik Hindia hingga moralnya merosot? Apakah benar banyak kasus bejat dan kemerosotan moral di Tasikmalaya disebabkan pengaruh Hindia?
Dari kejadian ini saya menilai, Al Mumtaz terlalu berlebihan, merasa sebagai juru keadilan. Padahal, urusan konser ini seharusnya bisa mudah selesai dengan dialog terbuka.
Saya memang bukan ustaz. Sudah nyantri 6 tahun saja ilmu agama saya masih kurang. Namun, bukan berarti iman saya gampang goyah hanya karena sebuah lagu.
Apakah sekarang saya jadi cabul dan tak bermoral karena mendengarkan Hindai? Nggak juga. Makanya, sebagai warga asli Tasikmalaya, saya jadi malu.
Penulis:
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Baskara ‘Hindia’ Putra dan Lagu-lagunya yang Diklaim Menyembuhkan Depresi dan catatan menarik lainnya di rubrik ESAI.












