Kabar kematian istri Bunali sampai juga pada Pak Lurah yang baru pulang dari umrah. Dia kaget dan lebih kaget lagi karena orang-orang membicarakan dirinya dan keluarganya. Menyalahkannya karena dianggap menelantarkan istri Bunali yang bekerja di rumahnya. Pak Lurah risih dan menolak anggapan semacam itu. Dia dan keluarganya merasa sudah cukup membantu almarhumah dengan mengangkatnya sebagai pembantu di rumahnya.
“Saya sebetulnya sudah punya dua pembantu, tapi karena kasihan pada istri Bunali, saya minta dia membantu di rumah. Padahal saya tak terlalu butuh. Kenapa orang-orang menyalahkan saya?”
Begitulah yang disampaikan Pak Lurah pada Mat Piti, ketika usai tarawih, Mat Piti berkunjung ke rumah Pak Lurah untuk menyampaikan selamat atas umrahnya. Istri Pak Lurah sesekali ikut menimpali omongan suaminya. Mat Piti hanya mendengarkan omongan keduanya. Dia tahu, pokok persoalan yang ingin disampaikan Pak Lurah adalah Cak Dlahom. Omongan dan tingkahnya.
Pak Lurah terus nyerocos. Pak Lurah baru jedah ketika para tamu semakin banyak berdatangan. Pak RT, Dullah, Warkono, Busairi, dan orang-orang dari kampung sebelah seperti Marja juga terlihat datang. Mereka semua menyalami Pak Lurah. Menyampaikan selamat untuk umrahnya. Umrah yang kesekian kali dilakukan Pak Lurah. Dia juga sudah berhaji.
Dan semakin malam, semakin banyak tamu yang datang. Mereka duduk-duduk di karpet yang digelar di teras depan yang luas.
Rumah Pak Lurah berukuran besar. Paling besar di kampung itu. Halamannya yang juga luas ditumbuhi pohon-pohon berdaun lebat. Dia punya berhektar-hektar sawah. Beberapa kambing yang dikandangi di dekat rumah reot yang pernah ditempati Cak Dlahom, hanyalah satu kandang penuh kambing dari sekian kandang penuh kambing lainnya milik Pak Lurah. Sapinya ditumpuk di satu kandang di dekat gapura desa. Setiap lebaran haji, hari raya kurban itu, hanya Pak Lurah satu-satunya orang di kampung yang berkurban sapi. Lalu dia akan selalu kebagian daging bagian paha belakang. Dua paha.
Pak Lurah memang seperti punya semuanya: harta, keturunan, dan jabatan. Tiga anaknya bersekolah di kota. Sekolah tinggi. Kecantikan istrinya hanya bisa disaingi oleh Romlah, istri Sunody Abdurrahman. Dia juga dianggap mewarisi perbawa dari orang-orang yang dianggap penting di kampung.
Buyutnya adalah lurah pertama di kampung. Pembabat alas. Buyutnya digantikan oleh kakeknya. Kakeknya digantikan oleh bapaknya. Bapaknya digantikan Pak Lurah. Dan Pak Lurah sudah dua kali jadi lurah. Sudah hampir 10 tahun. Bisik-bisik di kampung sudah ramai: Pak Lurah sedang menyiapkan anak laki-laki tertuanya untuk juga jadi lurah.
“Saya tersinggung Pak Mat.”
“Cak Dlahom tidak bermaksud menyinggung Pak Lurah…”
“Tapi dia bertingkah seolah saya tidak bertanggungjawab. Anti-sosial. Begini-begini saya juga ngerti ilmu agama. Sebisa mungkin menaatinya Pak Mat.”
“Saya minta maaf Pak Lurah atas nama Cak Dlahom…”
Pak Lurah meneruskan ocehannya. Orang-orang saling berpandangan. Mereka tahu Pak Lurah sedang marah, dan itu karena ulah Cak Dlahom. Orang yang dianggap sinting yang kadang mengharu biru. Kadang mereka rindukan. Kadang mereka tidak suka.
Setiap omongannya seperti melawan arus pendapat orang-orang kampung. Menyebalkan tapi mereka juga susah membantahnya, karena omongan Cak Dlahom sedikit-banyak ada benarnya. Lalu mereka merasa hidup mereka telah terpengaruh oleh Cak Dlahom. Tatanan sosial di kampung pun berubah sedikit-sedikit. Tapi mereka juga memaklumi jika Pak Lurah marah. Insiden selepas subuh di masjid, ketika Cak Dlahom menggotong beberapa karung berisi tanah dari makam istri Bunali lalu menumpahkannya di halaman masjid, bagaimanapun telah menempatkan Pak Lurah sebagai sosok yang tidak bertanggungjawab.
“Saya sudah menyampaikan maaf pada Cak Dlahom karena sebagai ketua RT, saya abai pada almarhumah istri Bunali, Pak Lurah…”
“Sampean itu tidak salah Pak RT, kenapa harus minta maaf?”
“Hanya agar Cak Dlahom tidak semakin kumat Pak…”
Orang-orang masih mendengarkan Pak Lurah mengoceh sembari menikmati hidangan kurma dan minum air zam zam, oleh-oleh Pak Lurah dari berumrah. Mereka tidak ada yang menyela. Tidak berani. Angin malam menerbangkan udara lembab. Sudah hampir tengah malam. Tiba-tiba… bruk…
Terdengar sesuatu seperti jatuh dari pohon. Orang-orang tersentak. Beberapa segera bediri dan bergegas mencari tahu asal suara. Dan mereka terkejut mendapati Cak Dlahom bersila di bawah pohon jambu.
“Loh Cak, sampean?”
“Sampean jatuh dari pohon?”
“Ndak apa-apa Cak?”
“Kok sudah bersila?”
“Wah kebetulan, Pak Lurah lagi ngrasani sampean…”
Silih berganti orang menanyai dan mengomentari Cak Dlahom tapi orang yang ditanya malah cekikikan.
“Ajak ke sini Cak Dlahom…”
Suara berat Pak Lurah terdengar, tapi orang-orang tidak ada yang berani mengajak Cak Dlahom. Cak Dlahom terus cekikikan. Dia berdiri. Berjalan ke teras tempat Pak Lurah, Pak RT, Mat Piti dan orang-orang kampung sedang cangkrukan. Sarungnya terangkat hingga betisnya yang kurus terlihat. Dia lalu duduk di pojok teras agak jauh dari orang-orang.
“Sehat Cak?” Pak Lurah membuka percakapan. Cak Dlahom tak menjawab. Matanya memandang penuh pada Pak Lurah. Orang-orang mulai dilanda perasaan kuatir.
“Begini loh Cak, sampean harus hati-hati ngomong untuk hal-hal yang sampean tidak tahu.”
“Apa yang saya tahu Pak Lurah? Saya memang tidak tahu apa-apa. Tidak pernah tahu…”
“Tapi sampean seolah menyalahkan saya untuk kematian istri Bunali Cak?”
Orang-orang kembali saling lirak-lirik. Mat Piti memandangi Cak Dlahom. Mereka merasakan udara lembab berubah menjadi hangat.
“Hehehe… Sampean merasa disalahkan toh?” Cak Dlahom membuka suara sambil cekikikan. Dia sudah tidak memandangi Pak Lurah.
“Ya jelas Cak. Gara-gara omongan sampean, saya jadi omongan orang-orang seluruh kampung. Saya dianggap tidak bertanggungjawab. Dianggap lalai. Dianggap tidak mengayomi…”
“Sampean takut omongan orang-orang?”
“Begini Cak. Saya memang tidak menjenguk istri Bunali ketika sakit karena banyak yang saya urus, tapi saya masih membayar dia. Sampean ndak tahu kan? Setiap tahun saya mengeluarkan zakat, infak dan sedekah untuk anak yatim dan fakir miskin karena itu hak mereka. Setiap tahun saya berkurban karena diwajibkan oleh agama. Saya menyumbang masjid. Gini-gini saya tahu hukum agama kok. Sampean jangan mentang-mentang…”
“Untuk apa sampean melakukan itu semua?”
“Itu ajaran agama Cak. Gimana sampean ini?”
“Tujuannya Pak Lurah. Tujuan sampean. Untuk apa?”
“Sedekah dan berkurban itu akan dibalas berlipat-berlipat oleh Allah, dan menghindarkan manusia dari api neraka.”
“Jadi yang mana yang sampean mau? Diberi balasan berlipat-lipat oleh Allah, atau sampean takut neraka?”
“Apa ndak boleh manusia berharap? Apa sampean berani masuk neraka?”
Cak Dlahom cekikikan. Pak Lurah melotot. Mat Piti mulai menggeser pantatnya. Orang-orang tetap membisu.
“Neraka itu ada di mana Pak Lurah?”
“Ya sampean pikir sendiri. Neraka kok ditanya ada di mana…”
“Apa sampean sekarang tidak merasa sedang masuk neraka?”
“Gimana sampean ini? Neraka itu ada di akhirat Cak. Nanti di hari pembalasan…”
“Terus kenapa sampean tersinggung hanya karena merasa orang-orang membicarakan keburukan sampean?”
“Nama baik dan harga diri saya dan keluarga saya jadi rusak! Hancur. Dan itu karena tingkah sampean…”
“Lalu sampean kepanasan?”
“Karena semua omongan tentang saya dan keluarga saya tidak benar. Fitnah! Tingkah sampean tidak benar…”
“Di bagian apanya dari sampean yang panas Pak Lurah?”
Tiba-tiba Pak Lurah berdiri. Dia bercekak pinggang. Cak Dlahom tetap duduk dan tetap cekikikan.
“Kalau mau tahu di bagian mana dari saya yang panas, saya jawab di sini! Di sini yang terbakar! Di sini..! Paham sampean?!”
Pak Lurah menunjuk-nunjuk dadanya. Matanya semakin melotot. Suasana tegang tak terhindarkan. Orang-orang tidak ada yang berani menengadah. Cak Dlahom juga sudah tidak cekikikan. Dari mulutnya, terdengar seperti orang sedang berkidung.
“…Celakalah para pengumpat dan pencela. [Mereka] yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya. [Mereka] yang mengira hartanya dapat mengkekalkannya. Tidak. [Mereka] akan dilemparkan ke dalam Huthamah. Dan tahukah kamu apa Huthamah itu? Ia adalah api yang menyala-nyala. Membakar hingga ke dada…”
Orang-orang kembali saling pandang. Mereka seperti tersihir oleh suara Cak Dlahom. Suara Cak Dlahom yang sedang mengaji. Lirih. Pak Lurah pun terlihat mulai mengendorkan tangannya. Mat Piti mencuri pandang ke arah Pak Lurah. Dia melihat Pak Lurah duduk kembali dan tertunduk. “Ya Allah, saya keliru Cak. Saya sombong, saya hanya merasa… Saya sudah terbakar…”
Pak Lurah membuka suara.Tepat pada saat itu, suara Cak Dlahom yang semula mengaji lirih juga terhenti. Dari mulutnya keluar suara yang berbeda. “Huek, huek…”
Seperti ada sesuatu yang menyangkut di batang tenggorokannya. Orang-orang memperhatikan Cak Dlahom. Dan benar, sesaat kemudian dia memuntahkan sesuatu. “Saya yang salah Pak Lurah. Saya yang keliru. Saya yang minta maaf. Saya mengaji sambil makan kurma. Bijinya nyaris tertelan…”
Pak Lurah tetap tertunduk. Dua pembantunya keluar dari dalam rumah membawa dua ceret berisi kopi panas. Orang-orang mulai mesam-mesem. Dua tiga jam lagi menjelang waktu sahur.
[Diinspirasi dari kirah-kisah yang disampaikan Syeikh Maulana Hizboel Wathany Ibrahim]