MOJOK.CO – Takabur adalah band spesial dari Wonosobo. Lagu-lagu mereka adalah obat kuat untuk melawan hujan kabar buruk dari pemerintah.
Mungkin kita semua sepakat kalau Wonosobo itu indah. Mengingat daerah ini berada di lereng Gunung Sumbing, Sindoro, dan Prau. Tapi indahnya Wonosobo tidak lantas membuat semua orang bertahan di sini.
Tidak sedikit orang, khususnya anak-anak mudanya yang memilih merantau. Karena ketika mau bertahan di kampung halaman, lapangan pekerjaan tidak begitu beragam. Kalau tidak jadi petani, buruh pabrik, guru, PNS, ya pedagang. Pekerja kreatif terbilang sangat sedikit di daerah ini.
Saat memutuskan untuk merantau, entah itu bekerja atau kuliah, Jogja menjadi opsi. Apalagi kalau orang itu ingin sekali berkecimpung di dunia kreativitas, Jogja saya kira adalah tempat yang cocok untuk meniti karier.
Untuk lingkup kreativitas tentu ada banyak pilihan di Jogja. Misalnya dalam dunia musik, Jogja menjadi sedikitnya kota yang selalu menghasilkan banyak band. Meski tidak sedikit pula yang kemudian bubar lantaran para personilnya pulang kampung.
Nah, saya mengenal salah satu band yang sampai hari ini masih bergeliat di Jogja. Adalah Takabur. Ketiga personil Adika Gilang Satria (vokal & bass), Bayu Adhi Laksono (gitar), dan Abam Virga (Drum) merupakan orang Wonosobo.
Takabur, band spesial dari Wonosobo
Pas saya tanya sebenarnya mereka ini band mana? Jawaban Bayu salah satu personil Takabur mengatakan kalau, Takabur adalah band Wonosobo yang tinggal di Jogja. Baiklah saya hormati jawaban itu. Dan saya tidak akan terlalu panjang memperdebatkannya.
Tapi saya pikir ada satu hal yang pantas disyukuri oleh Takabur. Tidak banyak lho, band yang berkarya di Jogja dengan beranggotakan personil yang satu daerah.
Biasanya masing-masing personil meskipun memiliki ketertarikan dalam bermusik yang sama tapi berbeda-beda daerah. Inilah yang kemudian ketika masa merantau di Jogja sudah habis mereka akhirnya pulang dan membiarkan band yang didirikan hiatus atau malah bubar.
Berani dalam bermusik
Takabur belum sebesar FSTVLST, Majelis Lidah Berduri, KLA Project, apalagi Sheila on 7. Personil Takabur juga bukan para orator ulung yang selalu unjuk gigi setiap kali aksi massa. Satu itu.
Yang kedua, bukan kesehatan mental atau tema-tema percintaan yang Takabur hadirkan. Mereka mengambil sikap untuk membawa keresahan personal dan kolektif. Bahwa kita hidup menjadi WNI selalu mendapat kiriman kabar buruk dari pemerintah yang mau tidak mau mesti kita tanggung. Suara-suara itu lahir dari orang-orang biasa yang berasal dari Wonosobo.
Saya bisa melihat mereka berani dalam bermusik. Sebagai band yang berdiri di tahun 2022, mereka terus memberanikan diri untuk merilis karya yang berapi-api. Tidak hanya sekedar single, tapi album. Sebuah sikap yang menegaskan bahwa mereka ini sebenarnya serius dalam bermusik.
Kalau sudah mengeluarkan album saya kira sudah pantas menyandang gelar musisi. Ya sama halnya dengan penulis yang sudah menerbitkan buku.
Suara orang biasa dari album Mantra Petaka
Takabur sudah melahirkan dua album, yaitu Suara Rakyat Kecil dan Mantra Petaka. Membaca dua nama album itu, jiwa mudanya sangat terasa. Meledak-ledak. Berapi-api.
Untuk Suara Rakyat Kecil belum akan saya bahas. Mengingat karya ini juga belum muncul di banyak platform musik digital (kapan dirilis mas-mas Takabur??). Nah yang akan saya bahas adalah album Mantra Petaka.
Ada 8 nomor dalam lagu ini, “Intro”, “Revidivis”, “Harimau Reputasi”, “Mimpi Jadi Rockstar”, “Skandal Brutal” feat Ahmad Fandi, “Mantra Petaka”, “Persetan Nominal”, dan “Abad Anjing Tirani”. Secara keseluruhan, album ini saya nilai begitu energik. Musikalitasnya kuat. Lirik dari pemuda Wonosobo ini juga cukup tajam.
Membedah Mantra Petaka
Seperti yang saya paparkan sebelumnya kalau keresahan personal turut dibawa dalam album ini. Keresahan ini bisa kita lihat dalam lagu “Mimpi Jadi Rockstar” di mana lagu ini bercerita tentang seseorang yang bercerita ingin menjadi rockstar tapi berhadapan dengan realitas pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya.
Sisanya saya pikir masuk ke dalam kategori keresahan kolektif. Misalnya dalam lagu “Residivis”, “Persetan Nominal” dan “Skandal Brutal”. Ketiga lagu itu tidak jauh-jauh menyoroti masalah yang dari dulu masih menjadi persoalan. Adalah perilaku korupsi. Bahkan kita bisa dibilang sudah muak dengan perilaku ini. Karena terlalu sering dan membuat kita sebagai rakyat naik pitam.
Selain itu, Takabur juga menyoroti seorang pemimpin tiran dalam lagu “Abad Anjing Tirani”. Inspirasi itu berangkat dari literatur tentang tirani semasa Orde Baru. Tapi saya pikir sampai hari ini lagu itu masih memiliki relevansi.
Dari Wonosobo, membawa sikap untuk bertahan
Semua kebusukan itu terkadang membuat saya berpikir betapa kuatnya jadi WNI. Mencari kerja secara mandiri, habis kerja disuruh bayar pajak, uang pajak nggak tahu buat apa seringnya dikorupsi pula. Tapi rakyat Indonesia masih bisa terus hidup di tengah ke-chaos-an itu. Apa tidak hebat kita para WNI ini (mengetik sambil tersenyum getir).
Tapi, di tengah ke brengsekan itu, saya memilih sikap untuk tetap bertahan. Walau situasi semakin hari selalu tidak baik-baik saja. Tentu saja sambil mendengarkan musik yang selalu menyoroti realisme sosial adalah upaya untuk tetap menjaga bara api.
Dan lagu-lagu Takabur, menjadi salah satu alat. Di tengah pemerintah Indonesia yang selalu mengirim kabar buruk setiap harinya lagu-lagu Takabur bisa menjadi teman dalam menjalani hari-hari.
Terakhir, Anda boleh sepakat atau tidak, tapi saya cukup optimis bahwa Takabur dari Wonosobo ini akan semakin moncer dan beken. Tinggal menunggu orang-orang menemukan dan menyukainya saja.
Penulis: Khoirul Atfifudin
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Tanda Kalian Nggak Cocok Tinggal di Wonosobo, Pikir Dua Kali Sebelum Tinggal di Sini dan catatan menarik lainnya di rubrik ESAI.












